Tuesday, February 27, 2007

politea

Pilkada 2007; Omong Kosong untuk Rakyat

Sebuah catatan pinggir saat mengikuti Training Hukum,
HAM dan Politik HMI MPO Cabang Makassar


Setiap manusia adalah pemimpi. Anak cucu Adam alaihissalam menebar benih-benih cinta dan membangun peradabannya di atas bebongkahan artefak hasrat yang menyejarah dalam setiap buncahan imajinasi dan kreasi mimpi. Mimpi menyimpan berjuta pesona dan kenikmatan khayali yang sangat potensial diaktualisasikan dalam bentuk inspirasi pemerkaya varian-varian motif peradaban. Mimpi yang menjadi pengalaman eksistensial manusia sebagaimana dilukiskan oleh Henry Bergson mengalir ibarat fluida dinamis dalam durasi yang melintasi aspek ruang dan waktu, mengakibatkan semua adegan yang merona di layar mimpi terasa funtastic dan bahkan menolak logika tempat tidur. Mimpi menjadi dirinya sendiri. Ia melengkingkan suaranya dalam kesenyapan yang dalam, membentangkan sayap hud-hud dan semakin menjauh dari kesadaran tapak kaki menuruti kafilah burung Attar. Bagai pungguk merindukan bulan. Begitulah guratan nasib yang dialami oleh berjuta rakyat kita. Harapan untuk mewujudkan kemerdekaan sejati hanyalah menuai buah simalakama. Hanyalah sekepal mimpi. Sekerat bunga tidur. Kemerdekaan menjadi idiom keramat tatkala bola mata kita menerawang nasib yang menggunung pahit. Mata hati teriris bak sembilu melaburi racunnya di saat ratapan kemiskinan sistematis itu semakin menggelegar, ditambah berjuta ironi keadilan dan paradoks kemanusiaan dipertontonkan oleh para pembajak kepentingan rakyat dengan dalih demokrasi. Kini semua adegan itu dilakonkan di hadapan mata kita yang nyaris memerah dan berdarah karena air mata tak tega mengering.

Untuk menelisik bentangan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yanag diperhelatkan di tahun 2007 ini, khususnya Sulawesi selatan, dibutuhkan konsistensi di dalam merajut benang-benang kusut yang saling berjalin ko-eksistensi dan ko-transformasi di dalam labirin problema ke-Indonesiaan, mulai dari pemahaman konstelasi perang kepentingan dan ketidakadilan global, struktur anatomi sistem ke-Indonesiaan dalam konteks ketidakadilan global (neoliberalisme), hingga fragmen-fragmen dinamika yang mengindikasikan proses dialektika teori strukturasi Anthony Giddens dalam setiap relung kemanusiaan. Mulai dari persoalan ideologi, ekonomi, sosial, budaya, politik dan lain-lain sebagai bercak-bercak historis Negara Kesatuan Republik Indonesia yang konon katanya sangat berlimpah ruah kekayaan alamnya dan manusianya sangat ramah kepada setiap bule yang mampir menikmati eksotisitas dunianya.

Tatanan global kontemporer (dari dulu juga), dalam terminologi hukum Islam, haram untuk diklaim berkeadilan dan berkeadaban, karena hal itu hanyalah omong kosong belaka ketika merunut kepada jargon-jargon para koboi dunia (Amerika Serikat beserta sekutunya plus lembaga-lembaga injektor kapitalisme-neoliberalisme). Mungkin ketidakadilan ini baru akan diperbarui atau dituntaskan di pengadilan Allah Swt ketika semua umat manusia dikumpulkan di hari kiamat. Pengadilan teradil.

Beralih kepada bagaimana para elite bangsa kita mengemudikan bahtera rakyatnya di segara yang penuh riak dan gelombang nafsu, penindasan, pemerasan, pembodohan, pemiskinan, penaklukan, perampokan dan seterusnya segala manifestasi kejahatan. Sudah menjadi rahasia umum bahwasanya negara (baca: elite eksekutif, elite yudikatif dan elite legislatif) telah terang-terangan tanpa rasa malu mengkhianati peran-peran kerakyatan dan nasionalismenya demi bersenyawa dengan kaum pemodal-cukong (kapitalis-korporatis), baik pemodal asing (via investasi, hibah dan lain-lain) maupun para kapitalis lokal yang menurut Revrizond Baswir (2001) bahwa piutang negara dari kapitalis lokal ini memakan bunga (riba) yang lebih besar daripada piutang asing. Manusia secara kodrati dianugerahi hasrat dan akal pikiran yang memanifestasikan kebebasan memilihnya. Kaum elite negara ini berhasil dalam mengoptimalkan potensi hasrat dan akal bulusnya untuk memenuhi tuntutan hasrat yang tak terbatas, seraya membukukan dan menghitamkan jiwa kemanusiaannya yang mestinya dioptimalkan juga sebagai pengimbang dan jendela spiritualitas.

Secara keseluruhan, bentangan anatomi ke-Indonesiaan kita hingga hari ini dipenuhi dengan tragedi kemanusiaan dan hanya menambah tegaknya pialang-pialang koruptor. Pembodohan rakyat berjalan sistematis. Kini borok-borok itu menempel pada batu nisan raksasa yang ditegakkan oleh anak-anak negeri ini yang sudah temaram jelaga, dipenuhi sekelebat hantu congkak dan serakah. Potret kelam itu mengada di setiap lekuk kerakyatan, mulai dari Sabang sampai Merauke dan dari tempo doeloe sampai hari ini.

Konteks demokrasi lokal sebagai sebuah solusi untuk merelaksasi sekian banyak ketegangan sosial dan kultural hingga politik dan ekonomi menemukan relevansinya untuk saat ini. Namun sebagai sebuah strategi atas pembacaan konteks, terkait dengan desentralisasi (Otonomi Daerah) yang dikuatkan sebagai solusi atas akar konflik dan penindasan yang berawal dari sentralisasi kehidupan kenegaraan, hal ini patut diberikan tanda tanya sebesar Gunung Bawakaraeng untuk selanjutnya direfleksikan secara kritis demi satu-satunya kepentingan, yakni keadilan kemanusiaan historis dan pasca historis (dun’yang hasanah wafil akhirati hasanah). . Kepentingan sangat berkorelasi dengan perjuangan yang dilandasi ideologi. Hal ini adalah penegasan demi transformasi yang akan diperhelatkan sebagaimana petuah Ali Syari’ati mengenai pentingnya keberpihakan setiap intelektual yang tercerahkan (raushanfikr).

Beranjak dari keberpihakan kepada kebenaran, dalam hal ini Islam adalah mata air alkautsar yang percikannya lugas dan tegas sejernih derasan salsabilah menyeruakkan kebenaran yang tidak menegasikan fitrah manusia serta berasal dari sumber rujukan yang mutlak dari segala eksistensi wujud di alam semesta ini. Penegasan mengenai keberpihakan yang diajarkan Islam ini meniscayakan dinamisasi historis sebagai upaya simultan meradikalisasi perubahan. Dalam konteks politik Indonesia, upaya pemihakan yang tersubordinasi hirarki sosial politik tiranik dan oppressed adalah bagian dari perjamuan mata air surgawi yang nikmat dan barakah itu—sebagai starting point pengawalan agenda transformasi sistem kehidupan yang penuh sengkarut hegemonik, dominatif dan rakus.

Negara tatkala memelototkan kekejamannya vis a vis rakyatnya, maka negara telah melakukan pelanggaran Hak asasi manusia (HAM) kategori berat sebagaimana diatur dalam Statuta Roma. Pelanggaran yang dilakukan, mulai dari pelanggaran atas hak-hak sipil, politik, hingga hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) rakyatnya. Hak-hak ekosob adalah yang terbanyak menyita derita batin dan fisik rakyat Indonesia dalam perjalanan hidupnya mengukir sejarah, merajut keluarga, membelai kekasih dan menyapa buah hati montok serta menanam padi dan seterusnya. Negara bermetamorfosis menjadi leviathan yang sangat kejam.Negara berwatak Hegelian. Ia bergelimang kemewahan, kesenangan dan kesombongan atas kediriannya yang sejatinya naïf. Di sisi lain, di bawah jurang yang penuh duri, rakyat terperangkap kedalam logika keserakahan akibat regulasi-regulasi yang ditelurkan negara. Rakyat dimandulkan untuk mengadakan resistensi. Alih-alih mau melawan, mereka harus berhadapan dengan mesin kekuasaan (polisi, tentara, jaksa, hakim dan penegak hukum lainnya termasuk satpol pamong praja) yang begitu mudah mementahkannya. Ironi, paradoks dan kejam! Fenomena sebagaimana di atas adalah potret rakyat Indonesia dalam ke-doeloean dan kekinian yang berurat berakar membentuk problema jaring laba-laba, mulai dari level nasional sampai lokal. Setiap hari, rakyat dipaksa menghirup ketengikan politik dan bau kentut para legislator mata duitan.

Hanya satu kata yang pas dengan kesemrawutan dan kebinalan perpolitikan kita yang telah lama terinjeksi libido politik bejat sehingga status quo ini tetap langgeng, yakni R.E.V.O.L.U.S.I. !!!!! Tentu dengan konsepsi revolusi yang berpihak kepada keadilan dan kebenaran sejati. Kesejatiannya itu adalah Islam. Kondisi empirik bangsa dan negara kita sudah memenuhi prasyarat keniscayaan revolusi sosial. Perubahan sebagaimana revolusi menginginkan tatanan sosial kehidupan bangsa dan negara kita adalah baru dan berkeadilan, berkeadaban atau istilah lain sebuah transformasi sosial profetik. Semua serba baru, mulai dari kultur, sistem dan substansi kehidupan bernegara. Sebaliknya akan mengenaskan bagi aspek keadilan dan rasa kemanusiaan tatkala yang dipilih adalah perubahan yang parsial dan lebih mementingkan aspek prosedural semata, maka yakinlah bahwa kita hanya akan menghabiskan energi historis kita berputar-putar di dalam lingkaran setan sistem ke-Indonesiaan kita yang hingga hari ini, akibat dari intervensi neokolonialisme modal, elite-elite negara --elite-elite negara memperkosa simbol-simbol negara dengan memanfaatkan jabatannya demi kepentingan dan privilege-nya--mengkhianati dan melupakan rakyatnya. Terbukti saat PP No.37 tahun 2006 dikeluarkan memanjakan para anggota dewan yang nyatanya malas, tukang tidur saat rapat, Mr.yes, Mr.hahaha dan tukang bolos rapat. Jurang diskriminasi sosial menganga lebar. Anggota dewan tambah mewah dan hidup serba wah, sementara sebagian rakyat terpaksa mengganjal perut dengan gaplek dan nasi aking. Keadilan macam apakah ini? Negara apakah yang menyia-nyiakan harapan rakyatnya? Begitu juga dengan privatisasi BUMN, pelanggaran UUD 1945 pasal 33 terkait dengan PT. Freeport, Blok Cepu dan lain-lain serta penggusuran, kekerasan fisik dan terror psikologis atas rakyat dan berbuih-buih dosa negara.

Olehnya itu omong kosong ketika berbicara mengenai pilkada sebagai solusi bagi bangkit dan tegaknya kedaulatan rakyat. Semuanya adalah busa yang akan lenyap terhempas gelombang. Politik jargon dan janji-janji lipstik Kita seharusnya tidak mengulangi kesalahan sejarah. Harus diingat bahwa kalau tidak dilakukan cut generation atas elite-elite busuk negara kita serta penggantian total sistem kenegaraan dan tentu saja kultur masyarakat diperkuat sehingga otonom dan mandiri dan sadar akan urgensi tauhid, maka pilkada hanyalah instrumen pelanggengan status quo ketidakadilan. Quo vadis transformasi? Memang harus disadari bahwa pilkada mau tidak mau, itu sudah ditetapkan oleh negara dan sudah dekat dengan mata rakyat. Karena itulah perlu adanya strategi jangka pendek untuk mentaktisi perhelatan “demokrasi” yang dipaksakan oleh negara dengan regulasi-regulasi yang intrakontradiksi serta melawan prinsip hukum lex superiore derogat lex inferiore seperti dalam UU No.32 tahun 2004 dan PP No.6 tahun 2005 tentang Pilkada ini. Tolak Pilkada!!!!!!Bentuk pemerintahan rakyat miskin yang berorientasi memandirikan rakyat serta merevitalisasi sektor-sektor riil rakyat seperti pertanian, perikanan, kehutanan rakyat, peternakan, perdagangan rakyat dan lain-lain mata pencaharian yang membawa maslahat serta mengeliminir ketergantungan donor. Tanah rakyat harus ditanami padi, umbi, jagung, sagu dst dan bukan ditanami besi, baja dan semen.

Barayyah, Januari 2007

Baca Selengkapnya...

Wednesday, February 14, 2007

Tanpa Coklat, Tanpa Mawar; Memaknai Valentine Day

Lembayung senja merona menyelimuti petala-petala langit menebar isyarat romantik menantang tatapan yang menusuk merobek parasut lazuardi nun biru dari setiap insan yang menggeleparkan naluri cinta dan kerinduan dari lapik-lapik kerak bumi. Sang mentari tak memedulikan jam tangan di ruas-ruas lengan para pekerja kantoran, mahasiswa, pelajar, ibu rumah tangga, maupun siapapun yang celilikan menginterupsi aktivitas rutinnya mengembarai jagad semesta sebagai konsistensi jabariahy zikr dan ketundukkan kepada Sang Pemilik Cahaya Cinta, interupsi untuk mengerem peredarannya, karena tak rela kehilangan momen-momen historis yang terpahat dalam kenangan batin sebagai kepingan peradaban manusia yang telah dicatat pula di masa baheuila. Sore hari, petang yang beraneka warna ceria, memijit-mijit detak edar menyulam malam yang berkelebat gelap. Sunyi. Merayap hingga larut, menubruk detak jam tangan yang melongo mewiridkan pukul 24.00 sebagai batasnya. Indahnya hari perlahan memudar, berhembalang dalam ketiak malam yang menelisik menjemput deraian subuh , jatah si kokok melantuntan irama-irama tasbih, tahlil dan tahmid paginya.

Tak sepenggal itu, titah sejarah telah membaiat masa yang mengulum momen insani terajut sedari malam harinya. Malam tanggal 13 Februari hingga penghujung malam tanggal 14 Februari. Balon-balon kesyahduan mengembang dalam bilik penikmat momen-momen yang membisikkan sensasi keajaiban hidup sebagai insan yang bernaluri cinta. 14 Februari adalah momen kasih sayang bagi segenap penikmat cinta yang meyakininya, entah berkesadarn tak sadar ataupun ideologis. Ialah Valentine Day, hari kasih sayang yang telah lama dirayakan dan telah berpose di etalase budaya negeri kita. Eksapansi dan dialektika antar budaya di desa buana sebagai efek perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan trend globalisasi yang kemudian mengkristal menjadi ideologi neokolonialisme/neoliberalisme yang memasung kesadaran pemilik budaya yang disapa dalam persinggungan budaya lintas batas dan sekat geografis, etnis, bangsa dan ideologi ini. Valentine Day sebagai sebuah produk sejarah dari sebuah lokalitas geografis atau milik dari sebuah konteks ruang dan waktu yang pernah mengada di muka bumi ini pada tempo dulu. Sebagai hasil dialektika konteks lokalitasnya yang kemudian membuncahkannya kedalam prosesi simboliknya, Valentine Day akan menjadi wajah baru yang mengalergikan sensasi kultur lokalitas yang berpermanai penuh daya-daya kreatif unik dan endemik yang dalam batas-batas ekstrim prinsipil tertentu, dapat menyebabkan antagonitas, sikap reaktif dan perlawanan, terutama dengan argumen ideologis. Hal ini karena aspek ideologis senantiasa ditempatkan oleh masyarakat dalam hierarkhi suprastruktur, puncak piramid yang mengkonstruk nalar dan laku historisnya. Sikap perlawanan, dalam hal ini mesti ditempatkan sebagai hasil refleksi ideologis yang pada ghalibnya cenderung berwatak resisten, eksklusif serta berposisi antagonis ketika patner dialektika simbol-simbol budaya yang terbungkus ideologi tertentu itu terdefenisikan berpotensi patologis dan destruktif terhadap tatanan status quo kemasyarakatan yang dihabluri aura ideologis miliknya.

Nah, kalau pemaknaan Valentine Day pada konteks ini, tak berbeda jauh dengan eksplorasi wacana dan aksi sosial melawan hegemoni ideologi kapitalisme/neoliberalisme yang bersolek di balik jubah-jubah budaya eksentrik, fashion dan mode, televisi dan lain-lain sentuhan-sentuhan eksploitatif dengan jamahan soft dan santun, bahkan dengan jargon visi pro-sosial dan lingkungan hidup. Di samping itu adalah eksploitasi manusia dengan memanfaatkan sisi kelemahan atas pemenuhan hak-hak dasariah kemanusiaan, terutama kemiskinan, belum melek huruf, pengangguran, kelaparan dan lain-lain dengan strategi penggadaian bumi demi perut buncit dan mulut rakus atau meminjam istilah Sulhan Yusuf, inti masalahnya adalah perut dan di bawah perut. Keserakahan yang destruktif ini melembaga dalam bentuk badan-badan dagang dan keuangan serta bank transnasional dan multinasional. (TNc dan MNc) serta lembaga-lembaga internasional seperti World Bank, IMF, Paris Club dan lain-lain yang secara keseluruhan merupakan desain global penjajahan dan penindasan gaya baru. Makanya Valentine Day adalah anasir dari grand desain yang menyemburat dari sengkarutnya wajah dunia. Kalau pemaknaan biasa sebatas momen pengungkapan kasih sayang dan cinta eros antara dua sejoli yang sementara memadu kasih, merajut pualam keindahan, menukikkan kerinduan, menyibak tabu dan sungkan, alias cinta sebagai ekspresi buntalan puisi yang memendarkan rasa yang terdalam dari fitrah kemanusiaan yang termaknai sebagai sebuah anugerah terindah dan dahsyat. Cinta non platonik yang bisa merekomendasikan pegiatnya untuk menubruk tata etika dan nilai-nilai agung syariat langit yang dititahkan lewat bibir mulia dan laku pribadi suci Habib Allah Rasulullah Saw dan utusan-utusan Al Haq semenjak Adam as hingga mendiang yang terberkati di negeri surga, Isa alaihissalam, sang nabi yang membisikkan ajaran samawi dengan sentuhan cinta dan kasih. Menjadi musibah lagi ketika momen ini dimaknai sebagai prosesi berjamaah menginjeksikan emosi cinta dalam bentuk maksiat berjamaah. Bisa berpotensi sebagai momen perzinaan berjamaah dengan password coklat dan mawar. Ada potensi ke arah itu. Sampai di sini bisa disimpulkan bahwa setiap momen historis, yang menyeringai di pelupuk peraduan pagi kita, akan selalu ditashih oleh filter ideologis dalam jejaring dialektika ideologi yang terbalut simbolitas pernik dan praktik budaya. Filter itu adalah syariat Islam yang telah mendarah dan mendaging sebagai penghuni lekuk peradaban manusia di belahan Dunia Timur yang eksentrik, unik, endemik dan dalam sumur mistiknya. Setiap hari adalah momen kasih sayang. Nabi Cinta Saw telah meneladaninya dengan anjuran menebarkan salam ke setiap pelosok bumi. Semoga pendaran rasa yang memijari imajiku ini dapat dijadikan bahan refleksi bagi kita semua.

Baca Selengkapnya...

Tuesday, February 13, 2007

HMI

HMI MPO Cabang Makassar Raya; Mekar atau Makar?

Berawal dari Pembahasan Tatib dan Agenda Sidang

Malam pertama Konferensi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI MPO) Cabang Makasasar pada hari Ahad, tanggal 4 Februari 2007 diiisi dengan pembahasan Agenda dan Tata Tertib (Tatib) Persidangan yang dipimpin oleh pimpinan sidang sementara, Steering Committee (SC). Saat itu akhi Asranuddin yang bertugas mengendalikan forum ketika suasana wajar persidangan yang mulai menghangat oleh perang argumen diantara peserta. Yang menjadi poin serius untuk menjadi bahan perdebatan adalah ketika usulan mengenai dimasukkannya pembahasan tentang problema cabang baru di lingkup HMI Cabang Makassar, yakni HMI Cabang Tamalanrea yang pernah dimuat di HMINEWS dalam kategori isu hot. Saya melihat bahwa isu ini semakin memanas dan nyaris menggiring kepada polarisasi atau kubu-kubuan diantara kader HMI se-Cabang Makassar. Polarisasi dimaksud terbentuk dalam kristal-kristal geografis Koordinator Komisariat (Korkom), antara Korkom Unhas dengan Korkom UMI, UNM dan UIN Alauddin Makassar. Kader-kader komisariat terpetakan secara emosional dalam demarkasi korkom, namun tidak begitu signifikan untuk dikategorikan nyaris berbahaya bagi eksistensi lembaga. Karena di satu sisi, hal ini membawa implikasi positif bagi relaksasi spirit perjuangan dan pergerakan setiap kader HMI yang terkondisikan dengan isu ini. Memang ada riak yang mengarah kepada fanatisme Korkom, namun tidak mencederai solidaritas dan kekeluargaan ulil albab se-Cabang Makassar.

Kembali ke bentangan sidang. Malam itu, usulan saya untuk dimasukkannya pembahasan cabang baru itu disambut antusias dan seakan melepas aral polemik yang menggontaikan harapan teman-teman peserta, yang menurut saya hal ini sudah pasti akan diusulkan dan bahkan dipressure untuk dibahas nanti. Masih segar di memori jomblo ini, ada riak debat di sekitar soal apakah yang diagendakan adalah problema HMI cabang Tamalanrea doang, Isu Cabang Baru yang termasuk Cabang Tamalanrea, Cabang Alauddin Raya, Cabang Makassar Selatan (sempat dilontarkan nama ini) atau Cabang Parangtambung dan usulan pembahasan pemekaran cabang. Saat itu, selain saya sendiri, yang termasuk ngotot adalah akhi Makmuralto (UNM), akhi Akbar (UNM), akhi Supriadi (Unhas), akhi Fauzi (UNM), akhi Mukhlis Amin (UIN), akhi Andi Karman (UNM) dan ust. Sumarlin (UNM) yang menonjol. Saya beserta teman-teman dari Unhas sebenarnya menyepakati agar diplenokan, dengan harga mati bahwa yang kemudian disepakati diagendakan dalam Pleno III Konferensi ini hanyalah pembahasan isu cabang baru, titik. Tidak ada penambahan anasir-anasir perpecahan ataupun 'pembusukan karakter' yang mesti dilekatkan kedalam apriori peserta Pleno III, seperti pernyataan tegas akhi Makmuralto: "...hadirkan semua dedengkotnya...agar supaya jelas, yang mana kawan dan mana musuh!...". Masya Allah! Penilaian saya dan teman-teman dari Unhas yang mengikuti persidangan itu memang subyektif. Namun bukankah setiap peserta forum sebagai kader HMI yang berhak mengemukakan pendapatnya di forum yang 'mulia' itu mesti mengedepankan lontaran-lontaran vokal yang 'peacefull' dan bukanlah memengaruhi psikologi forum dengan aura 'perang' ataukah 'balas dendam'? Sekali lagi, subyektif, namun itulah yang refleks kami hadapi dan akhirnya berpengaruh terhadap keputusan menghadapi sidang Pleno III.

Dengan dideklarasinya pembentukan HMI Cabang Makassar Raya di forum konferensi itu, yakni pada tanggal 6 Februari 2007, maka persoalan baru beruntun menghentak keber-HMIan kader-kader se-Makassar, mulai dari anggota baru, pengurus komisariat hingga pengurus elite-elite di atasnya dan para alumni. Semuanya kebagian getaran yang menelisik jauh hingga memaksanya mempertaruhkan kekaderannya demi survive-nya bait-bait ...panji kemanusiaan tlah dikibarkan/ pena kebenaran tlah ditorehkan/ perisai keadilan tlah ditegakkan/ himpunan mahasiswa Islam/...menggema meruapkan cita-cita perjuangan risalah al-Mustafa Muhammad Saw di kota Anging Mamiri. Kader aktif mengencangkan imajinasi profetik serta tinju transformatiknya, di sisi lain para alumni melonggarkan katup-katup infak (wajib)-nya untuk logistik Basic Training, Intermediate Training dan lain-lain prosesi perkaderan dan perjuangan.

Mekar-Makar; Multiperspektif Interpretasi Konstitusi

Cabang baru sudah dideklarasikan dan kemudian konferensi pertamanya telah kelar. Tinggal menunggu pengesahan ust. Muzakkir Djabir selaku Ketua Umum PB HMI di Markas Pejaten Timur. Nama cabangnya konstitusional, yakni HMI Cabang Makassar Raya, bukan Tamalanrea yang adalah nama Kecamatan tempat Universitas Hasanuddin (Unhas Makassar), Universitas Islam Makassar (UIM), Akademi Komputer AIK AKBA, STMIK Dipanegara, STIK Nani Hasanuddin, STITEK Balik Diwa, STIK Tamalatea, UKIP, AMK Daya dan lain-lain berada. Hasil penelusuran pasal demi pasal, khususnya mengenai eksistensi dan legalitas konstitusional pada buku konstitusi HMI hasil Kongres HMI ke-25 di Palu, HMI Cabang Makassar Raya memenuhinya. Kini semangat ber-HMI di cabang baru ini, begitu juga dengan cabang lama (berdasarkan konfirmasi dengan ukhti Salmawati), menunjukkan emisi positif yang berpotensi menghablurkan pendaran libido gerakan yang telah otonom serta kesempatan menginjeksi secara maksimal desire of fighting di selonsongan organ-organ gerakan lain di wilayah Makassar bagian timur.

Jauh hitam dari putih. Cabang baru ini masih dianggap inkonstitusional oleh cabang lama. Lebih parah lagi, mungkin ini sebagai konsekuensi dari hasil pembacaannya atas konstitusi HMI (belum dikonfirmasikan kebenaran pembacaan atas pasal-pasal konstitusi serta masih diragukan kapasitas penguasaan konstitusi secara tuntas), forum konferensi cabang lama (HMI Cabang Makassar) yang bermarkas di Kompleks Abubakar Lambogo ini merekomendasikan untuk memecat para deklarator HMI Cabang Makassar Raya (kemudian telah dicabut kembali poin rekomendasi ini) serta membentuk tim investigator yang bertugas mengusut siapa otak intelektual di balik semua ini (kayak di acara TV saja), di balik 'mekar' atau 'makar'nya HMI Cabang Makassar Raya. Bisa ditebak, logika tim investigasi ini, so pasti dengan asumsi (?) mengenai inkonstitusionalnya cabang baru dan bahwa semua deklarator beserta semua yang pro cabang baru ini masih dianggap (diklaim) sebagai anggota HMI Cabang Makassar. Ini dia masalahnya. Makanya, marilah kita sama-sama secara objektif menelaah fenomena ini dengan pembacaan konstitusi yang tepat. Kemudian ikhlaskan semua yang telah menjadi kepingan-kepingan sejarah ini berlalu demi perjuangan menegakkan titah langit dan risalah almustafa Saw, demi menjemput ridho Allah Azza Wajalla. Katorang samua basudara. Laa hauwla walaa kuwwata illaa billaah.

Baca Selengkapnya...

Thursday, February 08, 2007

HMI

HMI MPO di Makassar; Nasibmu Kini

Awan hitam pekat berkelebat memayungi lazuardi nun putih bersih di atas peratapan penduduk dan puncak bebukitan karst kawasan wisata alam Bantimurung, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan. Pagi itu, jam dinding yang melongo tak berdehem di dekat kain spanduk hitam Konferensi menunjukkan mengisyaratkan sang mentari mulai beranjak meninggalkan pelupuk retina keheningan pagi dengan desiran sungai Bantimurung yang meruapkan suasana damai. Mata yang melotot ditingkahi selonjoran tubuh yang mematung bisu, menegang di kursi plastik dalam ruang persidangan, hanya mengimla, oras 10.15 WITA ketika akhi Supriadi membuat semua penghuni ruangan Pleno III yang nyaris dibuka resmi oleh Pimpinan Sidang Konferensi ke-40 HMI Cabang Makassar. Semua terpengarah mendengar mulut yang mewirid lugas bebait pernyataan yang terketik komputer pada secarik kertas putih dari pemangku Ketua Umum HMI Komisariat Fak. Hukum Unhas ini. Sepotong pernyataan deklarasi. Ya, deklarasi pembentukan HMI Cabang Makassar Raya sebagai langkah monumental dan strategis memekarkan HMI Cabang Makassar.

Segunung polemik dan berbongkah-bongkah kontroversi meluruh. HMI Cabang Tamalanrea kini nyata dideklarasikan dengan nama baru. Semuanya berjalan di luar dugaan dan yang berkepentingan atas pemenangan isu yang sudah diagendakan dalam forum Pleno III Konferensi HMI Cabang Makassar ke-40 ini merasa lega, plong seperti para pengurus cabang yang telah menyelesaikan amanah kepengurusannya yang ditandai penerimaan laporan pertanggungjawaban (LPJ) dari seabreg amanah kader dan anggota HMI se-Cabang Makassar sebagai amanah Konferensi ke-39.

Pekik takbir sontak mengejutkan kevakuman bergumam dari peserta sidang. Suara itu menggetarkan naluri keber-HMI-an dan menyuntikkan gairah perjuangan yang tak boleh padam. Rupanya sosok yang berkerudung cokelat susu itu memekikkan keheningan dengan tinju takbirnya. Refleks. Benar, ukhti Sudarmiah sebagai pioner eksponen cabang baru meneriakkan ekspresi keberhasilannya dalam memekarkan lembaga perjuangan dan perkaderan yang muncul menjadi spesies pergerakan endemik pada paruh pertama dekade 1980-an dengan Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) sebagai sikap protes atas kebijakan mainstream lembaga PB HMI serta oposisi terhadap 'bapakisme' Orde Baru.

Lima pimpinan komisariat se-Korkom Unhas (minus HMI Komisariat Fakultas Ekonomi Unhas) sebagai 'dedengkot' deklarasi itu, yakni HMI Komisariat Fapertahut Unhas, HMI Komisariat FK-FKM Unhas, HMI Komisariat Fak. Hukum Unhas, HMI Komisariat Pelangi Tamalanrea dan HMI Komisariat FISIP Unhas. Usai mendengungkan naskah deklarasi itu, selanjutnya sebagian besar kader di lokasi yang bersal dari Unhas kembali ke Makassar dan menindaklanjutinya dengan sebuah forum konferensi yang diadakan di lantai III Gedung Kursus SSC, Jl. Urip Sumoharjo Masassar. Konferensi ke-1 HMI Cabang Makassar Raya yang dibuka oleh Steering Comittee (SC) mandataris tim deklarator. Forum kemudian memilih akhi Muhammad Ali Hamzar sebagai Ketua Umum/ Formatur serta akhi Wilopo Husodo dan ukhti Nurhidayat masing-masing sebagai Mid Formatur. Forum dimulai sekitar pukul 22.10 WITA dan ditutup kembali oleh SC saat azan subuh mulai membaha diselingi lantunan zikir dari kokokan ayam di kawasan Karuwisi itu.

Selanjutnya, forum Konferensi HMI Cabang Makassar ke-40 yang berakhir pada Kamis, 8 Februari 2007 memilih akhi Kamaruddin sebagai Ketua Umum. hanya sepotong kabar ini yang penulis dapatkan dari akhi Hamzah yang saling berpapasan di jalan setapak dekat lingkaran jam kampus Unhas pagi siang tadi. Ada sms yang masuk ke handphone-nya berbunyi: "semua dedengkot deklarasi HMI Cabang Makassar Raya dipecat". Kami ketawa. Mungkin sudah bisa diprediksi konsekuensi semacam ini. Inilah salah satu dari sekian kepingan tantangan yang harus dihadapi satu per satu dengan kesabaran dan tetap beware and remember that all of those activities and struggles, only for twice purposes of HMI, insan ulil albab and the society that blessed of God, ridho Allah Subhana'hu Wa'ta'ala. Allahu Akbar......!


Baca Selengkapnya...