Tuesday, January 08, 2008

Sabda Lapar

Lapar mengajariku banyak hal. Lapar membuatku sadar.Aku lapar karena menahan perut yang kosong. Aku kehabisan uang untuk membeli makanan. Kini perutku keroncongan. Lapar membuatku tersentak dari rutinitas kenyang. Aku tersentak dari nafsu konsumeris. Lapar memaksaku untuk banyak diam. Tinggal di kamar sambil bertafakur, membaca tumpukan buku dan sekali lagi merasakan perut keroncong. Lapar membuat perutku istirahat. Pikiran mudah berpikir kreatif. Shalat dan zikir bisa sedikit khusuk. Lapar melatih kesabaran. Jiwa terasa tenang. Satu hal yang menonjol adalah tubuh mengurus. Kulit membaluti tulang. Lapar mengajariku mengenai kesyukuran. Di saat lapar seperti ini lalu ada yang berbaik hati memberikan sedikit makanan sekedar menyumpal kekosongan yang mulai berdenyut, sungguh aku akan menyambutnya dengan perasaan syukur yang sangat. Hatiku mengucap hamdalah. Meski sedikit rejeki, namun sangat berarti bagiku di saat-saat darurat seperti ini.


Hikmah seperti ini sangat penting, terutama bagaimana mensyukuri nikmat yang telah kita peroleh dan tanpa disadari, nikmat itu begitu banyaknya. Nikmat yang melimpah dari Allah Swt, dimana nikmat yang banyak itu pula kita lupakan. Perenungan yang intensif layak kita lakukan atas realitas diri pribadi dan kondisi sosial. Lapar mengajariku bagaimana menjadikan perutku yang kelaparan dan rasa derita itu sebagai cermin atas bagaimana masyarakat yang mengalami nasib serupa. Perutku yang lapar telah memantulkan secuil kisah sosial, dimana kelaparan menjadi kisah perih hampir sepanjang usia manusia di muka bumi. Perih di rongga perutku menampar kepongahan ego diri yang tak mau berempati atas kelaparan saudara senasib manusia. Bagaimana mungkin merasakan empati atas derita orang lain yang lapar berhari-hari, bahkan tak berhitung hari, kalau perut kita sesak setiap saat? Apa bisa merasakan denyut lambung yang kekosongan dan pembuluh tubuh yang dehidrasi dengan berimajinasi? Bukankah kita selalu berlebihan dalam penggemukan perut, sementara di saat yang sama ada busung lapar? Bukankah kita telah berbuat ironi yang amat menyayat rasa? Bukankah di saat dahaga yang mencekik dan belum sekerat makananpun mengisi perut dari mereka yang dikorbankan dalam jejaring kemiskinan yang lebih diperas oleh tirani struktural ini, di sana terjadi akrobat nyata ketidakadilan manusia? Bukankah kita semua mempunyai rasa yang sama atas keperihan dan kemanisan hidup? Ooh sungguh ketakberdayaan sebagian insan yang dimalangkan oleh sesama anak cucu Qabil.

Aku terhenyuk membayangkan beta kredo tauhid dalam perisai Islam yang dikobarkan Rasulullah Saw di masanya dahulu menancap dalam relung kemanusiaan dengan kokoh setegar bebukitan Uhud dan keperkasaan padang pasir Badar, toh dalam proses kemenjadiannya yang gemilang bahkan tak termadahkan oleh jentengan kelaparan dan kemiskinan umat. Betapa sang teladan almustafa menyatu dalam perasaan ini. Rasulullah saw langsung menerjuni telaga kemiskinan rakyat Mekah, merasakannya dari dekat hingga membuatnya amat mencintai dan dicintai kaum fakir dan miskin yang gulana nasibnya diterjangi feodalitas dan sistem sosial kapitalis saat itu. Ataukah betapa sang karamallah wajhah, Imam Ali bin Abi Thalib ra dengan tegas menghunus bilah pedangnya dalam kredo sosialisnya ke sosok simbolis yang harus diperangi dalam prioritas mayor. Ialah kemiskinan yang memang kemiskinan itu sendiri dalam realitasnya yang empirik, bukan tumpukan teori kemiskinan yang dipajang tak berguna oleh tirani modal dan penguasa neolib yang gila itu.

Baca Selengkapnya...