Friday, March 21, 2008

Teringat Kampung (1)

Sebuah lengkung bibir pantai berbahan utama tanah berpasir putih dengan sedikit lempung hitamnya menguarkan kilatan pantulan mentari dari pualam lesung teluknya di pagi hari sekitar jam sembilan di bulan Juni pada suatu hitungan tahun yang telah lekang dari ingatan batok kepala ini. Pantai desa tempat aku dilahirkan dan bebas dalam capaian-capaian naluri etape hijau daun pisang deret usia sebagai liturgi monumental mengangkangi satu persatu tingkatan bangku-bangku sekolah, mulai dari SD, SMP sampai SMA. Pantai yang hampir setiap tahun kini telah tampak mengenaskan walau tak begitu mendapat tempat pada erangan peduli masyarakatnya. Ia saban hari berganti terus madah di bawah simbahan terik matahari timur yang membakar kulit dan mengeritingkan rambut nyong-nyong dan nona-nona di sana. Teluk kecil yang isi perutnya nyaris musnah dihardik bedebukan letupan bom ikan sebagai cara pintas mendulang untung walau sekejap akan sirna menjadi onggokan kotoran kemuning. Terumbu karang, anemon, ikan batu-batu, ikan ekan, ubur-ubur, ikan lompa dan maki dan banyak lagi komunitas pesisir teluk yang kira-kira berjarak satu jam menunggang speed boat dari ujung timur pulau ambon, kini menjadi barang langka di situ. Nyaris tak menyisakan sisa di permukaan daratan baweah teluk, tinggal asyurisiwa dan patu omin serta sahi'ir yang memencilkan diri berkubang di balik reruntuhan sarang istana anemon dan pasir putih karang.


Teluk ini dibelah oleh juluran lidah beton separuh balok-balok kayu eboni yang tertatah berderet sebagai landasan di ujung juluran itu. Ia dinamai haita namalatu. Pelabuhan namalatu dari sebuah negeri adat berpenduduk muslim dengan sistem pemerintahan istimewa, model feodal tradisional yang telah berlangsung semenjak beberapa abad lampau dalam sebuah imperium lokal. Maklum, dulu kan belum ada nasion Indonesia, yang ada hanyalah imperium ataukah kesultanan, kerajaan, kedinastian dan sebagainya yang berkecenderungan hidup komunalis daripada sosietal dan bercorak nasionalisme etnik. Negeri ini bernama Pelauw. Desa Pelauw sesuai dengan konvensi kompromistik apa yang menjadi keinginan pemerintah nasional Indonesia dalam perundang-undangan tata pemerintahan, yang menurut sebagian tahanan politik (tapol) ORBA di Pulau Buru, merupakan pengadopsian paksa oleh rezim ORBA untuk menjawanisasi, menghomogenisasi tingkah laku dan oleh karena itu seluruh perangkat budaya dan model pemerintahan negeri-negeri rakyat Indonesia. Sekarang namanya Desa Pelauw dan juga sebagai ibukota kecamatan Pulau Haruku di kabupaten maluku Tengah. Masyarakat di desa ini memiliki etos berpendidikan formal yang sangat tinggi, terlebih setelah terjadi kerusuhan berdarah pada 1999 lalu. Antusiaisme ini dibuktikan dengan sangat banyaknya pemuda lulusan SMA yang melanjutkan ke perguruan tinggi yang kemudian fluktuasinya semakin bertambah sampai kini, tak terbatas di kota Ambon saja tetapi mereka menyebar di banyak kota di Indonesia. Makassar, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Jakarta, Bandung, Papua, Ternate dan kota lainnya. Yang terbanyak sejak gelombang besar-besaran mahasiswa maluku yang eksodus dari Ambon pasca tragedi 1999 adalah di kota makassar. Di kota ini mahasiswa asal desa Pelauw rata-rata setiap tahunnya tetap bertahan dalam angka di atas lima puluh. Mungkin bisa dikata bahwa jumlah terbanyak mahasiswa dari suatu desa se-Maluku adalah dari desa ini. Terlihat para orang tua di desa ini sangat obsesif menyekolahkan anak-anaknya stinggi mungkin, tak mau ketinggalan dari yang lain. Hampir dipastikan bahwa pendidikan telah menjadi sebuah anggapan aprioriksebagai capaian prestise sosial dan kehormatan keluarga pada masyarakat ini. Orang tua akan merasa bangga pada anak-anaknya yang sukses meraih gelar sarjana. Ada adagium populer mengatakan bahwa anda akan menemukan negeri ini seperti sebuah kampung tradisional yang kelihatan lapuk dan rapuh oleh berjejer rumah-rumah penduduk yang bersahaja dari bahan rakitan pelepah gaba-gaba beratap rumbia. Tapi jangen kaget kalau anda menemukan di dalam kerapuhan kulit luar itu sebuah pigura terawat mantap menggantung di dinding yang tidak cukup mentereng pada malam harinya, sebuah pose bertoga sebagai kebangaan keluarga. Ada kekuatan menyala di foto itu. Kekuatan yang setidaknya membuat rata-rata masyarakat yang tradisional menjaga adatnya dengan baik secara komunal, istilahnya maningkamu, meyakini kekuatan kepercayaan diri sehingga mimpi-mimpi buruk kisah peradaban masa lalu di bawah lipatan kolonialisme eropa bisa teratasi oleh kerendahhatian dan kebersahajaan serta perasaan persaudaraan tanpa perbedaan orientasi materi. Bisa terbaca dengan jelas motif di balik pigura berkaca pada masing-masing gubuk gaba-gaba di sana. Bahwa martabat kemanusiaan dalam batas tertentu harus diditegakkan lewat kerja keras dan menelusuri kanal-kanal ilmiah sebagai jalan terbaik. Masyarakat telah sejak kakek nenek leluhur telah memilin urat-urat kusut berkejangan dalam setiap epos hidup mereka sebagai pelakon hidup yang berniscaya bergulat dalam tirani sejarah dan tangan besi alam. Sejarah telah membentuk otot-otot mereka dan memberikan resume simultante yang tepat dari hasil pergulatn dan pasang surut berkencan dengan kehidupan. Itulah keputusan mereka. Itulah nilai spirit yang dipelihara sebagai etos hidup. ia adalah tekad. Tekad untuk cita-cita bagi gemeletukan gerigi rasa yang mengondensasi pada hasrat menegakkan karsa. Capaian tinggi menjadi manusia pembelajar. Tapi sayangnya menjadi ironi oleh karena capaiannya tidak banyak yang menjadi pembelajar holistik. Hanya intelektual akademik an sich. Tak lengkap. Sudah banyak sarjana namun sangat sedikit yang menjadi intelektual organik seperti dikatakan Antonio Gramsci.


Baca Selengkapnya...