Wednesday, November 14, 2007

Jong Molukken; Pemuda Sagu Pemuda Cengkeh-Pala

Jong Molukken (Belanda) atau the moluccas young (pemuda maluku) biasanya dilabelkan oleh masyarakatnya sendiri sebagai pemuda 'malas', biar seng ada uang yang penting bagaya dan performa luarnya tampak sebagai manusia 'keras ' karena rata-rata tekstur kulitnya gelap (hitam manis, istilah populer di tempatnya). Label 'malas' pada identitas pemuda maluku ini memang ada benarnya dalam kenyataan. Keadaan ini sangat mungkin dipengaruhi oleh kondisi alam (sumber produksi kebutuhan hidup) beserta faktor lingkungan sosial dan kesejarahan yang saling berhubungan secara kausalitas.


Yang pertama adalah faktor alam. Di tanah maluku, kecuali pulau Buru, masyarakat rata-rata memproduksi tanaman ubi-ubian (kasbi, kaladi, patatas dan lain-lain) dan sagu dengan berbagai varian kegunaannya sebagai bahan makanan pokok. Karena faktor geologi dan topografi tanah, di sana tidak cocok dijadikan sawah. Alih-alih mau menggarap sawah, masyarakat lebih mengusahakan tanaman perkebunan berusia tahunan, seperti cengkeh, pala, kelapa dan buah-buahan. Namun diantara tanaman yang terakhir itu, cengkeh dan pala-lah yang menjadi komoditi andalan dan terkenal. Bahkan kalau mau bernostalgia, dua komoditi inilah yang menjadi incaran ekspedisi dagang (gold, kapitalisme) yang ambisius (glory) dan disertai misi kristenisasi (gospel) bangsa Eropa berabad-abad lalu. Sebagai perbandingan, sawah adalah lahan berlumpur yang membutuhkan perhatian pengairan serta pemeliharaan dan pemupukan yang terus menerus, bahkan hampir setiap hari. Petani sawah harus menyesuaikan perilaku hidupnya dengan sifat pertumbuhan padi. Setiap pagi, bahkan saat fajar menyinsing, para petani biasanya sudah berangkat ke sawahnya. Bekerja sampai tengah hari, sesudah itu istirahan sebentar dan biasanya beraktivitas di sekitar sawahnya sampai petang tiba. Ini dilakukan dalam pola yang rutin. Mengolah sawah membutuhkan ketekunan, kerajinan dan kesabaran. Mungkin faktor inilah yang membentuk pribadi petani penggarap sawah menjadi pribadi yang sabar dan ulet. Hal ini tak dapat dipungkiri berimplikasi tehadap pola interaksi dan pola hidup di tengah keluarga dan masyarakat.

Kelompok tani atau masyarakat pertanian sawah ini adalah kumpulan dari individu petani penggarap sawah dengan integritas kediriannya yang telah berdialog dengan pola produksi sawahnya, dalam batas tertentu melahirkan konvensi kebermasyarakatan yang bernafaskan pola hidup dengan siklus produksi. Nilai, norma pranata dan budayanya akan terkonstruk secara alamiah di atas sendi siklus produksi pertanian sawah, melahirkan masyarakat pertanian yang secara makro berkarakter sama. Ketika peralihan zaman, masyarakat dengan sendirinya melakoni budayanya sebagai adat yang terus menari-nari secara rutin. Masyarakat berproduksi padi akan melahirkan budaya masyarakat padi, yakni keuletan, bekerja keras dan sabar. Sedangkan masyarakat maluku, karena hanya mengusahakan tanaman ubi-ubian dan sagu sebagai menu makanan pokok yang terwariskan oleh leluhur sampai kini, maka masyarakatnya akan mewariskan budaya sagu dan tanaman ubi-ubian, disamping budaya cengkeh dan pala. Kata petuah dulu, diri dan perilaku anak cucu Adam akan dipengaruhi oleh makanannaya. Mengenai budaya sagu __istilah budaya sagu, budaya padi dan budaya cengkeh-pala serta ubi-ubian sengaja penulis catut untuk membantu dalam menelaah meski terkesan simplistik__ di masayarakat Maluku, sangat terkait dengan budaya ubi-ubian dan budaya cengkeh-pala. Masyarakat menanam sagu yang masa kematangan berproduksinya menunggu waktu berpuluh tahun serta sifat reproduksi tanaman sagu yang vegetatif itu membentuk pola sikap masyarakat yang kurang aktif, karena menunggu dalam waktu yang sangat lama untuk panen __namun hampir setiap bulan ada yang dipanen, karena banyak sekali tanaman sagu yang telah masuk masa panen, pula karena regenerasinya secara vegetatif sangat banyak serta memiliki kelas umur yang kontinyu__tidak terlalu membutuhkan keuletan yang ekstra layaknya petani padi. Demikian juga dengan tanaman ubi-ubian yang meski membutuhkan pemeliharaan yang baik, namun tidak segencar pola pertanian sawah. Lahan bercocok tanam ubi-ubian pun tidak menetap selamanya untuk digarap seperti lahan sawah yang sampai berabad-abad pun masih ditanami padi. Ketidakberlanjutan dan ketidaklamaannya pola bercocok tanam di maluku dinilah rupa-rupanya yang turut membentuk karakteristik perilaku masyarakatnya, minimal dalam hal keuletan, kesabaran dan konsistensi ketabahan bertarung dengan dunia kehidupan. Dengan tidak mengurangi nilai konsistensi life fighting dari masyarakat Maluku, kita dapat melihat bahwa ternyata masyarakat maluku masih jauh semangat kerja keras serta keuletan dan kesabarannya bila dibandingkan dengan masyarakat lain yang memiliki pola budaya padi. Inilah yang penulis maksudkan, meski dengan sedikit berspekulasi, bahwa ciri ' kemalasan' yang dilekatkan pada pemuda Maluku bersinggungan dengan karakteristik lingkungan alamiahnya. Namun, menurut hemat penulis, hal itu berarti bukan secara inheren sifat kemalasan itu secara natural telah terwariskan dan taken for granted semenjak lahir, namun lebih disebabkan oleh konstruksi lingkungan. Seandainya saja sejak dahul di Maluku ada sawah, mungkin saja perilaku kemalasan itu tidak menjadi 'identitas' yang parokialistik. Parokialistik dalam arti bahwa defenisi sifat kemalasan yang dipandang dan didefenisikan oleh pengamat luar atau orang dalam dengan membuat perbandingan budaya maluku dengan pembanding lain yang memiliki karakter budaya yang berbeda.

Yang kedua adalah faktor sosial dan kesejarahan. Masyarakat Maluku ... (bersambung)

Tulisan di atas hanya mengulas secara sepintas berupa deskripsi imajinatik sederhana sebagai gambaran wawasan dan pengalaman sebagai pemuda yang dilahirkan dan dibesarkan di tengah kultur asli Maluku, tanpa merujuk secara langsung atas bahan-bahan telaah sejarah 'standar' ilmiah(literatur maluku).


Baca Selengkapnya...