Saturday, January 12, 2008

penjara diri

alkisah. pada suatu masa yang amat rahasia. ketika manusia tak satupun tahu. ketika manusia, ya aku, kamu dia, mereka, kita semua bergelantungan bak gemerontong tembikar. teronggok rupa arca liat mengeras. di saat kita hanyalah debu yang rendah. ketika kita tak lebih hanyalah lumpur jijik. kita semata bentuk materi. kita hanyalah benda. kita hanyalah sesuatu. maka kita tak punya nilai lebih. memang... memang kita tak ubahnya lempung yang terinjak. kita tak semenawan rerumputan yang gemulai. tak sesibuk awan yang berarak. tak seindah kuntum mawar. tak sewangi dahlia kala mekar. kita hanyalah tanah yang asalinya merendah. pembawaannya selalu di bawah. derajat rendah.


namun, lihatlah... lihatlah balon-balon kesombongan itu meninggi. semakin besar semakin rapuhlah mereka. tampak melonjak merobek payung kabut emoh kepada kulit bumi. balon-balon keangkuhan yang isinya kosong melompong. hampa substansi sebesar lengkungan pongah. dikala ruh Allah bersemayam di sana. saat kita memanusia.saat tubuh hina punya nasib berkilat. kini roda nasib kian memicing..meski ruh telah bersemayam. meski substansi yang suci mengisi. meski potensi lempung mencahaya telah melumer ego. meski sosok itu berkesadaran kini. meski ada pendengaran. meski punya penglihatan. walau hati mengisi kantong inti tubuh. walau punya rasa dan indera. walau dipungkasi akal. walau diberi banyak, disodor amat banyak. namun sebanyk itu pula muncul jentang menentang dan apalagi khianat. lupa kini semuanya dari mana. lupa kini asalnya dan kemana selanjutnya. cahaya ruh redup. sungguh bodoh. mengendap dalam kubangan kebodohan. akal sehat berkarat. nurani memfosil. tinggallah organ-organ biologis berpompa sini menuang sana. makan minum buang tinja injeksi libido mondar-mandir sana sini hirup lepas udara.


ooh... rutinitas berulang-ulang bak robot tak berasa manusia. sayap kesucian dirontokkan. tergantikan beling apalagi cakar kebuasan. manukar malikat dengan komplotan iblis. menyembah yang mendiri, lupa diri sendiri. menggelar majelis murka, menggulung tikar iman. pendengaran menyumpal, tuli. penglihatan mengatup, padahal matanya kian menyalak cabul dan bengis. hati membatu tak berperi rasa. disodorkan kebenaran risalah, malah tikaman menyambut dendam memperagakan tikai. hanya penghambaan senarai ego dirihawa nafsu ikon ilah mengasyikkan. tuhan-tuhan kesenangan ragawi. hawa nafsu melakon penjara menikam akal sehat. jangan... jangan sobat... jangan biarkan harimaumu meraung dalam kebutan mangsa. jangan penjarakan dirimu dalam kubangan iblis. pecahkan balon-balon pongahmu kawan. jernihkan pendengaran. tak usah pelototkan mata, lihatlah terang. sensitifkan hati. reguklah di sana mata air keilahian. basuhi kegersangan rasa. lalu.. berontaklah atas belenggu yang membunuh. belenggu batin yang melenakkan. proklamasikan kemerdekaanmu tuk meretas jalan kembali ke oase cinta. kuatkan kepalan tangan pada juntaian buhul yang kokoh. buhul pegangan tuk berayun menuju tebing kemenangan. buhul dalam seleksi adil siratalmustaqiem. basuhi kerat yang membisul kemusyrikan yang melebami selaput hati. basuhi noda yang meracuni hati. karat cermin yang layak dibasuh dengan air mata penyesalan,
ikrar suci taubat nasuha, pula rintihan dzikir dan penghambaan pasrah.





Baca Selengkapnya...