Tuesday, November 18, 2008

Ceracau Demokrasi

Ada dua hal yang ingin saya tuliskan mengenai demokrasi. Secara umum konsep demokrasi sudah banyak yang diulas orang panjang lebar. Tulisan ini hanya sekedar ceracau. Ceracau menurut saya karena tulisan ini seperti orang sedang meracau. Jadi tulisan ini menghendaki permakluman yang banyak dari siapapun yang membacanya. Pertama, demokrasi sebagai produk kultural renaissance & revolusi prancis pd bbrapa abad lampau, adlh suatu konsep dan sistem politik yg pd masa itu posisinya sprt messiatic ideas, inspiration of freedom bagi rakyat di eropa yg pd masa itu sdang dirundung tirani feodal. kehadiran demokrasi dipercaya akan ampuh dan memang terbukti keampuhannya menggulingkan sang tiran king Louis beserta Bastille Prison-nya. So, ketika pada masa sekarang, ide, konsep dan sistem demokrasi yg berakar pada dinamika sosial politik eropa masa lalu itu kemudian ditemukan banyak aspek anomali dan kerancuannya dengan ukuran2 zaman kini, maka pertanyaan yg muncul adalah apakah adil bagi kita yg hidup di masa sekarang dengan kekompleksan konteks sosial historis, sosial politik dan sosial kebudayaan beserta dinamika peradabannya untuk menghakimi sebuah ide, konsep dan sistem politik yg pada masanya(abad ke-17M dan ke-18M)sempat menjadi ide, konsep, dan sistem messiatik (pembebasan) yg populer bagi rakyat secara umum di eropa dan kemudian di amerika saat revolusi amerika serikat di dekade kedua abad ke-18 itu?

Apakah tepat bagi kita untuk menghabisi sebuah kecanggihan (demokrasi) pada masanya dengan standar kecanggihan masa kini? Apakah tdk ada kemungkinan penafsiran ulang demi penyesuaian peri kehidupan untuk mengisi kekosongan akibat gap sejarah yg kemudian melahirkan bias euro anglo saxon dlm penguniversalan agenda demokratisasi atas para nation state yg menggandrungi demokrasi pasca perang dunia II itu?Nyatanya memang skarang ini kan telah terjadi adaptasi konsep demokrasi yg bisa disesuaikan penggunaannya, walau untuk hal ini pun masa ada saja bias anglosaxon democracy, contoh nyatanya adalah ketika indonesia selalu didikte cara memakai 'busana' demokrasi gaya koboi. padahal demokrasi secara teoritis bisa dicarikan sari interpretasinya dari langgam kultural lokal asli made in indonesia saja. namun begitulah sisi anomali demokrasi modern, arogan dan seolah2 benar.

Kedua
,demokrasi secara teoritis, oleh Aristoteles dikatakan sebagai konsep politik yg amat buruk, sekelas jeleknya dengan model tirani dan oligarki. yg terbaik menurut Aritoteles adalah model politik aristokrasi, kerajaan dan polity. Pilihan Aristoteles atas model kerajaan, aristokrasi dan polity adalah sebagai hasil refleksi filosofis atas konteks sosial politik Athena masa itu yg sedang dirundung nasib sial kehancuran oleh rezim militeristik sparta pada perang panjang Pelopenosse antara Athena dan Sparta. Athena kalah dan kekalahan itu diratapi oleh Aristoteles dengan mengutuk model demokrasi sebagai yang mendasar dlm sebab-sebab keruntuhan Athena. Sebelum keruntuhan itu Athena sementara mempraktekkan model democratic langsung. Jatuhnya wibawa demokrasi pada masa itu kemudian terbalik lagi ketika demokrasi diapresiasi kembali oleh massa rakyat tertindas di eropa di bawah para punggawa intelektual seperti Jhon Lock,Rousseau, Montesquie dll. Ketika demokrasi di abad ke-20 dan 21 dijadikan 'agama' politik global oleh Amerika Serikat dan komplotan baratnya secara hegemoni dan intervensi atas negara-negara lain yang secara ekonomi sangat lemah,maka demokrasi kemudian teridentifikasi sebagai bagian dari akar penyebab ketidakadilan sistemik yg mengglobal ini. Carut-marutnya dunia akibat homogenisasi bangsa-bangsa melalui demokrasi barat menjadi alasan kuat penolakan dan perlawanan atas demokrasi. Kalau demokrasi pada abad ke 20 dan 21 menjadi bagian dari biang kerok kerusakan tatanan peri kehidupan manusia di dunia, maka hukum siklus sejarah kapitalisme sebgai saudara kandung demokrasi barat (liberal)tampaknya akan berlaku seperti ditulis oleh Ernest Mandel dan David Gordon mengenai teori longwaves dimana periodesasi pertumbuhan yang tinggi (boom) selalu diakhiri dengan krisis (burst)dan terjadi berulang-ulang dalam jangka waktu tertentu.Perkembangan kapitalisme selalu seiring dengan perkembangan saudara kandungnya demokrasi (liberal). Bisa juga dikatakan demokrasi (liberal) membutuhkan substrat kapitalisme untuk mengembangkan diri. Akhirnya efek destruksi itu berpeluang memunculkan antitesis sistem alternatif yang bisa menawarkan tata dunia yang lebih baik. Wacana dan perjuangan Sistem Khilafah Islam yang diusung sebagian umat Islam (HT)bisa dibaca sebagai tawaran alternatif atas kebobrokan sistem demokrasi(liberal)barat saat ini.Sebuah tawaran di antara kontestasi banyak tawaran alternatif yang sementara diperjuangkan umat manusia di muka bumi. Mulai dari sosialisme dengan berbagai versi sampai anarko sindikalisme dan anarko komunis. Apakah dengan fenomena ketidak adilan dalam sistem yang berparadigma demokrasi (liberal)barat ini kemudian menjadi pembenaran bagi penghakiman demokrasi sebagai ide, konsep dan sistem politik yang sudah pantas dikaramkan di lautan atlantik? Ataukah jangan sampai kesalahn itu terletak bukan pada tataran teoritisnya akan tetapi itu merupakan kesalahan implementasi ketika sebuah konsep yang canggih tidak siap diterima dan dipraktekkan menjadi sebuah sistem pemerintahan, kesalahan itu terletak pada belum matangnya budaya politik warga negara? Wallahu a'lam

Salam anak muda...
masukkan saja konsep Demokrasi Liberal itu ke dalam kloset

Baca Selengkapnya...

Saturday, November 01, 2008

Anarko Hutan Rakyat

Terkadang orang salah mempersepsikan konsep anarkisme. terkesan chaotik,lawless etc... anarkisme sdh mnjadi mainset sebagian dari sejarah sosial d beberapa t4 d eropa n latin ameriko,dia berkembang memang berdasar lokus konteks sosial politiknya di sana. walau begitu, adopsi tdk jd soal, karena di mana2 itu adlh lumrah saja. anarkisme hijau misalnya, mirip2 dngn konsep community forestry(CF) d filipina n indonesia (but bukan a la HKm yg reduktif n pemerintah bangget itu, hehee...) CF d indonesia masih malu2 kesannya u/ diterapkan. pemerintah masih mendua. karena blundernya pada soal alas hak atas lahan (tenure compleks ). di chiapas meksiko lebih maju karena domain hutan n lahan dipagari betul dri pemerintah. di situ tak berlaku aturan pemerintah.uniknya, mereka bisa mengelolanya dng baik, kerusakan tdk bakalan krn tak ada akses korporatokrasi ke dalamnya. tak seperti di indonesia, pemodal main babat sana sini, pemerintah yg kuatkan legalitasnya, lalu rakyat pemilik negara ini tersisih, miskin2. hancurnya lagi, kelas intelektual (teknokrat, akademisi)menjadi selingkuhannya, hahahaaaaaa.....

Anarkisme pada prinsipnya adalah anti sistem, anti aturan, anti birokrasi, anti yang namanya keberadaan pemerintah. bukan berarti amburadul. Anarkisme memang begitu. Biar begitu, ada mekanisme yg dibangun sendiri secara internal untuk 'meregulasikan' solidaritas mereka atas sektor produksi ekonomi dan keegaliteran sosialnya tapi berbeda dng realitas birokratisme dan instrumentalisme yang umum. konteks kehutanan indonesia, sejarah membuktikan bahwa banyaknya regulasi dari pemerintah sejak tahun 1960-an sampai sekarang dlm bidang kehutanan selalu saja memarginalkan komunitas rakyat penghuni hutan, padahal secara hukum adat hampir setiap jengkal tanah di indonesia ini sudah terbagi habis buat rakyat.kasus Dongi2 Sulteng, kasus batas lahan Kepong Damar Lampung,Jambi, Kaltim, dll adlh bagian dari potret pemarginalan rakyat oleh pemerintah. banyaknya regulasi itu lebih kepada pelayanan yg manis kepada pihak pemodal hutan, tambang dan kebun sawit. mono interpretasi hak domain lahan menjadi sindrom akut yg diidap oleh pemerintah sejak dulu sampai sekarang.

Maka berikan saja hutan itu kepada rakyat, kepada komunitas adat biar mereka sendiri yg menentukan masa depan bumi dengn kearifan2 konteks lokalnya tanpa aturan pemerintah. sok modern-nya pemerintah dng dominasi tools, instrument n positivical methodic-nya sebenarnya yg mendesakralisasikan alam yg ujung2nya petaka yg d saat sekarang baru (seolah-olah) muncul policy, regulasi dan proyek baru untuk me-re... setelah meng.... anarkisme memberi arti bahwa komunitas adat dan rakyat yg menghuni dan memanfaatkan hutan di tanah air sebenarnya tdk membutuhkan negara ini. Tdk adanya negara, hutan dan kehidupan mereka yg harmonis dng alam tetap mesra dalam kearifan. Akan tetapi fakta memberi kita pelajaran bahwa semenjak ada negara, lembaga sosial kultural rakyat didekonstruksi menyeragam dalam monokulturisme feodal Jawa. Tanah dan hutan yg menjadi langgam hidup rakyat direbut dng power oleh negara atas nama pembangunan. so,kehadiran negara berarti ancaman bukan rahmat bagi rakyat.Karena itu, (jangan terburu-buru, hehe...) bubarkan NEGARa ...?

Baca Selengkapnya...

Friday, October 10, 2008

Kutemukan Marx di Kampung

Temaram pelita minyak tanah itu sudah lama tak kulihat menerangi malam di ruang tiga kali lima berdindingkan pelepah gaba-gaba milik nenek. Anak-anak tak lagi berdesakan melantai di rumah tetangga demi menonton Ultra Man dan Kuuga. Bayangan itu mungkin masih ada apabila dunia tak secepat ini melipat waktu. Mungkinlah bisa kulihat sketsa hidup kesederhanaan komunal itu sepuluh tahun lalu atau lebih. Sekarang semua sudah berubah. Malam tak membunuh lagi dengan gelapnya. Anak-anak tak sekompak dulu dalam keorganikan perilaku. Mereka dihimpit egoisme televisi, playstasion, handphone, style punky dan gincu sana-sini

Ada teman yang memberitahu hal yang sedang bergeser itu. Pergeseran mengenai perilaku masyarakat di kampung. Ketika cabe dan garam sudah tak seperti dulu lagi bisa kita minta dari tetangga sebelah rumah. Ketika ada orang kaya baru yang sibuk buntutnya memamerkan kekayaannya di hadapan mata, padahal ia tetangga kita yang dulu sama-sama merasakan remuk redam hidup. Ketika setiap anak negeri ini yang dikirimkan orang tuanya menimba ilmu di seberang lautan sebagai prestise keluarga, banyak dari mereka semakin keblinger dan konyol dengan kepicikan pikirannya membawa masuk anarkisme nilai tanpa ba bi bu. Dunia moral dilabrak tanpa reserve. Yang ada tinggal puing-puing nalar kampungisme menjadi sabda sakral di batok apriori.

Perkembangan transisi ekonomi-politik beberapa tahun belakangan yang sangat drastis implikasinya atas tatanan kehidupan masyarakat secara makro di tanah air, terutama setelah muncul surga-surga baru di daerah pada masa desentralisasi ini, dalam skala ril di aras masyarakat kita terjadi banyak perubahan, terlebih pada hal-hal yang sangat tampak dan dekat dengan kehidupan keseharian. Desentralisasi pemerintahan yang membawa kabar baik secara konseptual bagi distribusi kesejahteraan secara egaliter yang bisa menyentuh seluruh sektor masyarakat di daerah, di kampung-kampung , kini dalam rupa keseharian masyarakat memperlihatkan ada yang match dari geliat tersebut. Ini bukan berarti justifikasi realisasi telah betul-betul terjadi, malah bisa dipastikan hal itu dalam kenyataannya masih jauh dari yang semestinya. Yang match dalam hal ini implikasinya mempengaruhi sampai kepada roda ekonomi lokal tingkat desa untuk, entah itu adalah efek yang menggairahkan kemajuan ataupun efek yang kontraproduktif.

Kampung yang masyarakatnya sebagian besar petani cengkih, kelapa, pala, buah-buahan, sagu, kabong kasbi, kaladi, patatas dan lain-lain non padi, kini mulai mengalami pergeseran mata pencaharian karena faktor harga pasar komoditas cengkih- pala yang kurang bagus, tak sebagus sebagai tanaman primadona incaran kaum petualang laut plus penjajah Belanda dan Portugis di abad ke-15 dan 16 dulu. Harga cengkih telah jatuh. Bahkan cengkih di Maluku pun sudah harus bersaing dengan tanaman cengkih di Jawa dan Sulawesi. Selain cengkih, harga pala pun selalu berfluktuasi disamping jumlah tanaman pala tak sebanyak cengkih, walaupun tanaman cengkih yang dimiliki oleh masyarakat Pelauw pun tak sebanyak yang ada di Pulau Seram dan Pulau Buru. Sagu sebagai sumber karbohidrat dan tanaman yang menjadi lumbung pangan pokok masyarakat Maluku jaman dulu dan sebagian jaman sekarang, kini jumlahnya sudah semakin berkurang. Tanaman sagu yang dimiliki oleh masyarakat Pelauw sekarang ini sangat sedikit dibanding sagu di Seram dan tempat lainnya. Bahkan sagu selalu didatangkan dari luar Pelauw untuk kebutuhan konsumsi di Pelauw. Sedangkan dibanding sagu dengan nasi, masyarakat Pelauw tampak lebih banyak mengonsumsi nasi ketimbang sagu. Ini berarti defenisi makanan pokok itu masih bisa didefenisikan ulang.

Masyarakat di kampung bercocok tanam kabong sebagian besar hanya bersifat subsisten, hanya demi konsumsi keluarga, bukan tujuan produksi mendapatkan nilai keuntungan ekonomis. Subsistensi inilah yang menjadi bagian dari sistem hidup agraris-komunalis-tradisional, membawa implikasi pada semangat hidup kekeluargaan dan non komersial. Pola ini bertahan pada masyarakat dan dalam perjalanannya menunjukkan interaksinya dengan faktor eks dari mobilitas ekonomi, sosial dan politik di luar masyarakat yang melingkupinya. Yang terakhir ini yang dimaksud di atas sebagai implikasi pervasifitas transisi kehidupan sosial politik beberapa tahun terakhir pasca Reformasi tahun 1998. Sekarang pola kehidupan yang tradisional dan komunalis mulai bergeser menuju masyarakat berwatak materialistis-modernis-individualistis.

Ternyata Karl Marx benar ketika menyatakan bahwa mind of man bisa dideterminasikan oleh faktor materi, yakni bagaimana keadaan produksi ekonomi yang mengkonstruk mobilitas welfare and wealth berperan sangat menentukan secara determinatif terhadap kesadaran, cara berpikir dan tingkah laku masyarakat. Jadi apa yang mereka persepsikan mengenai arti berperikehidupan sosial dan individual itu sangat dipengaruhi oleh seberapa intensnya persepsi dan harapan mereka terhadap masalah gilda reproduksi ekonomi. Bagaimana ketika cabe dan garam tetangga tak bisa lagi diminta begitu saja seperti dulu, tetapi kini harus dibeli di pasar. Lalu cara menilai sesuatu yang berkaitan dengan eksistensi manusia dan perikehidupan sudah tidak lagi pada hakikat kemanusiaan, sakralitas, substansial, ruh, akhlak alkarimah dan intersubjetivitas egaliter, namun kini lebih kepada aspek-aspek material, profan, performa, kulit, tampang, uang, jabatan dan standar sarjana.

Pada masa lalu masyarakat kita lebih banyak menjadi petani, nelayan, pedagang dan buruh, kita hal itu sudah bergeser. Sekarang sektor pertanian sudah kolaps. Ojek lebih banyak dan pasar telah ada. Artinya sektor jasa dan perdagangan mulai berkembang. Nelayan belum kolaps, hanya saja nasibnya kurang diperhatikan oleh pemerintah. Buruh pelabuhan masih tetap karena penghasilan darinya lebih menjanjikan. Selain jasa ojek, ada pula jasa speed boat yang memasang tarif lumayan mahal. Sementara di sektor formal, banyak sarjana dari Pelauw yang sudah lulus menjadi pegawai negeri, karyawan bank, pengusaha dan lain-lain. Kalau dibandingkan jumlah sarjana Pelauw yang sangat banyak itu dengan banyaknya sarjana yang telah mendapatkan pekerjaan itu memang masih berada pada tingkat rendah untuk rasionya. Namun jumlah itu sudah cukup beruntung jika dibandingkan dengan nasib masyarakat lain yang jumlah sarjananya sedikit.

Banyaknya orang Pelauw yang telah 'sukses' mendapatkan pekerjaan di sektor formal maupun non formal dalam batas tertentu membawa efek peningkatan income yang besar bagi tingkat kesejahteraan per keluarga di Pelauw, walaupun untuk yang terakhir ini keadaan itu belum merata. Ada keluarga yang dulu kelihatan biasa-biasa saja, (maaf) hidupnya pas-pasan, sekarang ini tampak sudah gemuk-gemuk, punya laptop, hp mahal dan anggota keluarganya bisa kuliah dengan fasilitas yang cukup bisa. Ini adalah fenomena yang tampak beberapa tahun terakhir ini. Di sisi lain, masih banyak keluarga yang karena kurang beruntung dalam hal pendapatan ekonomi untuk bisa membiayai anak-anaknya sekolah sampai tinggi-tinggi, kini harus tabah hidup bertetangga dengan mereka yang sudah beranjak makmur. Kemiskinan adalah fakta yang masih ada di tengah masyarakat kita. Sementara ada dua jenis kemiskinan, yakni kemiskinan alamiah yaitu kemiskinan karena secara alamiah tidak memiliki skill dan kecakapan memproduksi sesuatu yang bisa menghasilkan marjin kesejahteraan baginya, di sisi lain adalah kemiskinan struktural yang memang secara sengaja ada sistem yang membuat sekat-sekat yang menghambat peluang seseorang mengakses sumber-sumber produksi ekonomi. Orang yang lolos dari kemiskinan struktural ini biasanya mereka yang survival of the fittest.


Kesenjangan ekonomi dan kesejahteraan hidup di kampung itu akan menjadi suatu problem hidup karena banyak hal akan dipengaruhinya, seperti kecemburuan sosial, materialistik oriented, pendangkalan makna kehidupan dan kemanusiaan (dehumanisasi dan desakralisasi), masyarakat egoistik dan masyarakat konsumtif (fun, food, fashion) yang menjadi korban kapitalisme.

Baca Selengkapnya...

Thursday, August 21, 2008

Teringat Kampung (4)

"...abang seng pulang kampung? Padahal ini kan kapal terakhir, kapal berikut lagi kalau abang bisa pulang nanti seng dapa' sahur pertama di Pelauw lai..." Aku ditanya oleh sepupu kemarin. Bagiku aku lebih betah tinggal di kota ini, tak punya kerinduan yang teramat untuk segera berkemas-kemas menuju pelabuhan Soekarno-Hatta. Malam ini kapal terakhir mengangkut penumpang tujuan Ambon. Banyak saudara yang pulang nanti. Sepupu dekat, sepupu jauh, tetangga kost sampai yang tinggalnya kurang lebih sejam naik pete-pete nol dua. KM Ciremai akan lego jangkar di Makassar sekitar jam sepuluh malam.

Malam ini aku sendirian. Pondokan lengang dikulum gelap. Aku bersunyi-sunyi dalam kamarku sambil kubalik-balik helai bacaanku yang tertunda sore tadi saat datang dua kawan dari organisasi tempatku biasa ngumpul. Kurebahkan badan yang kini tampak kurus di atas kasur yang pasrah menahan tusukan hawa dingin dari lantai. Sesekali kubuka lagi album foto keluarga. Kalau untuk yang ini tak bisa lepas dari rasa yang melekat walau selalu kucoba tahan. Rasa rinduku akan kampung halaman tak sekuat rasa rinduku untuk bersua dalam lingkaran cinta yang terbatas itu, kaluarga. Sambil kutatapi setiap helai gambar, imajinasiku pulang kampung bersitatap bersama mereka. Ada mama, bapa', kaka, ade-ade, kakek, nenek, keponakan dan banyak lainnya. Sementara kapal Pelni di pelabuhan baru akan bertolak beberapa jam lagi, pikiranku lebih dulu pulang kampung dari mereka yang biasanya, seperti aku beberapa kali alami duduk menunggu di depan ruang tunggu yang penuh sesak orang.

Malam ini aku lebih dulu sampai ke kampung hanya dalam sudut waktu khayali. Setiap kali aku menahan konsentrasi pikiran sambil memfokuskan perhatian hati ke sana, semakin terasa sesuatu yang teramat subjektif, juluran sengat misteri melambaikan percik api rasa dalam hening. Kehanyutan membuai jiwa dalam tamasya imajinatik nir waktu tak pakai ruang kaku.

Baca Selengkapnya...

Thursday, August 14, 2008

Bidadari dari Moro

Namanya Nawal Muhajirah. Gadis berdarah Mindanao ini baru seminggu lalu kukenal. Ia mengenakan jalabiyah. Ia bercerita mengenai asal keluarganya panjang lebar kepadaku di terminal Daya saat istirahat menunggu panggilan berangkat oleh supir bis menuju Palopo. Sebenarnya Nawal sudah agak lama tinggal di Indonesia, ya di Sulawesi Selatan. Sejak tahun 2000 kemarin ketika terjadi invasi militer yang massif oleh tentara pemerintah Filipina yang kemudian menyulut perang dengan mujahidin MILF, Nawal dan beberapa sanak keluarganya bertolak menuju Indonesia. Kebetulan orang tua Nawal punya sahabat seperjuangan yang bernama Arifuddin Egal Hamzah orang Bugis, pernah nyantri bareng untuk latihan para militer bersama mujahidin Afghanistan sekaligus veteran perang melawan kaum kafir Uni Soviet sekitar tiga puluh tahun silam. Sekarang mereka tinggal di rumah sahabat ayahnya itu di Palopo.


Nawal datang ke Indonesia untuk melanjutkan pesantrennya. Ia sudah bisa berbahasa Indonesia dan kami berta'aruf sekitar satu jam. Nawal itu perempuan yang memiliki karakter yang kuat, tergambar dari ketegasan ucapannya, tutur kata yang sopan dan lembut dan satu hal lagi yang terekam sebagai kesan pada pandangan pertama, Nawal itu gadis yang amat manis. Wajahnya ayu, kulit hitam manis, senyumnya wahh, membuat ekor mataku tak sanggup berkedip. Matanya indah. Tubuhnya tertutup jilbab.

Awal berkenalan, sebenarnya kebetulan saja. Aku duduk tak jauh dari situ menunggu kawanku yang akan tiba dari kampungnya. Nawal ditemani ibu Aslamiyah, wanita paruh baya kerabat dekat pak Arifuddin. Tak sengaja aku iseng-iseng bertanya "mau ke mana ki?..." akhirnya jawaban dari iseng-iseng itu berlanjut cerita dan perkenalan. Memang walaupun Nawal adalah muslimah yang terkesan eksklusif dari penampilannya, namun ia menunjukkan inklusifitasnya dengan meruapkan nalar komunikasinya apa adanya dengan tetap menjaga suasana yang nyaman dan beradab. Akhirnya sahabat dan kenalan baruku akan segera berangkat. Tak lupa kami bertukar nomor ponsel masing-masing. Ia ke Makassar untuk mengurus pendaftaran ulangnya di Unhas setelah diterima lewat jalur bebas tes. Kini ia akan pulang ke Palopo dan akan balik lagi. Selamat jalan, semoga selamat sampai di rumah, amin. Aku sendiri masih menunggu kawanku yang belum datang juga.

Baca Selengkapnya...

Sunday, June 29, 2008

Teringat Kampung (3)

Sudah dua tahun tidak menjamah kampung, aku merasakan rindu yang cukup saja kulipat dalam benak. Kenangan mengenai keluarga, kerabat dekat dan lingkungan rumah menjadi scene hidup di batok memori. Kalau yang tadi sudah wajar dan jamak bagi setiap orang yang berpisah dengan keluarganya di rantau. Satu hal yang membayangi pikiranku yang sempat muncul hingga kupaksakan inisiatif jemariku membenamkannya kedalam cairan pengawet ide liar agar tak mudah muncret adalah pembiaran yang terabaikan, tak teracuhkan, tak tersentuh peduli, apatisme yang terbungkus kemalasan timur, dari ketiadaan budaya membaca dan menulis di kampungku.


Kata orang, banyak membaca berbuah banyak tahu. Membaca berarti mengembara cakrawala dunia yang maha luas. Jargon lain, buku jendela dunia. Buku gudang ilmu. Mengikat makna bisa lewat tulisan. Menulis berarti menyusun ubin peradaban. Karena kata adalah senjata. Karena peradaban harus ditulis. Masih banyak lagi semboyan mengenai pentingnya membaca dan menulis. Satu pertanyaan yang mengerubungi pikiranku adalah mengapa begitu apatisnya masyarakat di kampungku (desa Pelauw, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah) dalam hal pembiaran ketiadaan budaya membaca dan menulis ini. Padahal kampungku memiliki banyak sekali murid SD, siswa SMP, pelajar SMA, mahasiswa dan alumni mahasiswa serta kampungku sudah cukup untuk (menurutku) dikategorikan masyarakat yang melek sekolah dan buta hurup. Untuk prestasi (?) kekuasaan politik borokratis di Maluku, terhitung telah menjabat orang dari kampungku dua kali menjadi gubernur. Gubernur Maluku era awal 1990-an dijabat oleh Drs. M. Akib Latuconsina, selanjutnya Dr.Ir. M. Saleh Latuconsina, MSc setelahnya (1998-2003) hingga digantikan oleh Karel A. Ralahalu (2003-2008) yang mempunyai wakil gubernur juga dari kampungku, Drs. Mohammad Latuconsina. Sedangkan Wakil Walikota Ambon yang sementara berjalan ini juga dari kampungku, yakni Dra.Ny.Olivia Latuconsina serta Bupati Kabupaten Maluku Tengah dua periode berturut-turut (2002-2007 dan 2007-2012) dijabat oleh Ir.H.Abdullah Tuasikal, MSi yang juga dari kampungku. Untuk perhelatan Pilkada Gubernur Maluku periode 2008-2013 yang berlangsung pada Juli besok ini pun ada dua kandidat dari kampungku, yakni Drs Mohammad Latuconsina (incumbent Wakil Gubernur Maluku sekarang) dan Ir.H. Abdullah Tuasikal, MSi (Bupati Maluku Tengah sekarang). Masih banyak lagi prestasi (?) politis birokratis lulusan dari kampungku yang lain. Sementara untuk segmen mahasiswa, menurutku mahasiswa yang berasal dari kampungku-lah yang terbanyak di Maluku (sementara ini belum ada data inventarisasi khusus untuk itu, namun berdasarkan kalkulasi sekilas). Mereka kuliah di semua kampus di kota Ambon (kecuali kampus khusus Kristen) dengan jumlah yang cukup banyak. Belum lagi sebarannya di Makassar, Yogyakarta, Jakarta, Malang, Surabaya, Bandung, Ternate, Sorong dan luar negeri. Jumlah yang cukup banyak untuk tingkatan sebuah desa.

Namun dari fakta sosial kultural di atas itu (walau belum akurat) terjadi deviasi kultural yang 'mengenaskan'. Mengapa deviasi kultural dan mebgapa mengenaskan? Tulisan berikut kumaksudkan untuk mencoba menganalisisnya secara sederhana. Deviasi kultural terjadi sebagai gambaran proses anomali sosial, penyimpangan dari logika keniscayaan yang semestinya terjadi dalam sebuah hipotesis sosial berdasarkan logika kausalitas. Apa yang ada pada kampungku sebagai modal sosial kultural untuk bisa diharapkan berguna bagi sebuah graduasi sosial menuju tatanan sosial yang transformatik berkesejahteraan religius, tampak tak memiliki gapitan empirik yang bagus. Pendidikan sebagai modal sosial kultural masyarakat seharusnya membawa andil progresif bagi tercapainya pemenuhan inspirasi perjuangan insani mengonstruksi bangunan sosial kultural masyarakatnya demi terwujudnya desain kehidupan yang terbaik (sesuai ridho Allah swt). Masyarakat kampungku secara alamiah telah mempraktikkan etos pendidikan formal hingga jenjang 'ultim'. Juga telah menggulati dunia politik birokratis secara 'ultim' pula. Namun mengapa fakta sosial kultural yang ada (das sein) tidak menggambarkan keniscayaan kausalitas prediktif itu? Mengapa tidak ada goresan warna-warni perjuangan menuju cita-cita pembumian nilai ilahiah pada tataran praksis humanitas (das sollen) di sana sebagai bukti adanya modal sosial kultural kepemilikan insan-insan yang berilmu pengetahuan yang sedemikian banyak itu? Apakah kaum intelektual yang banyak itu bukanlah intelektual organik (Antonio Gramsci) tetapi mereka hanyalah kumpulan intelektual tradisional yang egois pengidap karirisme dan materialisme an sich? Rupanya Gramsci benar soal ini. Sungguh ada yang bermasalah pada kaum intelektual kita. Mereka hanya bergulat dengan dunianya sendiri. Ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki sama sekali terasing dari realitas sosial yang sengkarut tragik. Betapa banyaknya intelektual di kampungku namun kebanyakan dari mereka bodoh tak mengenal realitas diri dan lingkungan kehidupannya. Alih-alih mau diharapkan berbuat banyak bagi perubahan kehidupan ke arah yang diridhoi Allah swt, mereka malah tenggelam dalam kenikmatan pragmatisme, materialisme dan egoisme intelektual untuk memuji diri, keluarga dan seabreg privilege lainnya yang dipinjami Tuhan kepadanya.

tunggu daeng ...!!! lah mana tentang membaca dan menulis..?

Menurutku intelektual tradisional sebagaimana kata Gramsci di atas itu biasanya tak mau ambil pusing, tak mau terlalu repot dengan urusan sosial, urusan maslahat banyak orang. Dia hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Paling yang diurusi koneksi kerabat dan keluarganya untuk persoalan remeh-temeh perut dan materi duniawi. Soal-soal yang lebih tinggi, lebih luhur dan menyangkut hajat kemanusiaan yang lebih agung seperti pencerdasan, pencerahan dan pemanusiaan manusia, hanyalah dianggap momok mengerikan dan urusan yang tidak penting.

Walau banyaknya orang berilmu di kampungku, fakta ini tidak memberikan kontribusi signifikan bagi pencerdasan, pencerahan dan pemanusiaan manusia di sana. Malah sebaliknya yang terjadi adalah kaum intelektual (tradisional) di kampungku itu menjadi penyulut dan pelaku dekadensi kemanusiaan. Pesta pora, minuman keras, low culture, semuanya didalangi oleh mereka sendiri. Budaya instan sangat berpengaruh. Akhirnya budaya yang tidak instan seperti membaca dan menulis terlupakan. Banyak sarjana di sana namun kurang bermutu. Kurang adanya apresiasi terhadap sisi-sisi humaniora dan peradaban manusia oleh karena instanisme yang memengaruhi sedemikian akut menggersangkan benak dan meng-kakukan inteleksi para pembelajar. Padahal kampung itu memiliki warisan peninggalan budaya masa lampau. Budayanya hanya bisa dihargai dengan cara yang kurang beradab dan meniru model budaya-budaya rendahan peradaban Barat seperti joget-jogetan, nyanyian kurang menyastra, budaya jiplak sana-sini sampai kepada miskinnya penguasaan literatur budaya kuno berefek simplifikasi dan reduksi hakikat budaya itu sendiri. Masyarakatku yang telah tersedia cukup modal sosial kultural seperti di atas namun tak berfaedah pada tataran sosial humanitas akan melahirkan masyarakat yang berwatak iblis, oleh karena ia telah mengenakan jubah pragmatisme, bermahkotakan sekulerisme dan bertahtakan materialisme serta memiliki pedang antihumanisme yang egoistik paganistik. Inilah yang kumaksud dengan kondisi kehidupan masyarakat yang mengarah pada metamorfosis mengenaskan.

Bagaimanapun kampungku tetap akan kurindukan. Aku merindukan kampungku yang bertobat dari pemujaan diri yang lupa akan ilmu hakikat diri. Kampung yang tidak narsis menganggap diri paling, ter, sangat, very, maha dan kampung yang bebas dari segala syirik sosial dan syirik individu. Penghambaan hanyalah kepada Allah swt, Tuhan pemilik segala sesuatu termasuk kampungku dan segenap manusianya entah manusia pongah, manusia sombong, manusia angkuh, manusia arogan, manusia yang merasa dirinya paling benar, manusia yang mengklaim telah mencapai makrifat, manusia yang mengklaim tidak perlu repot-repot shalat, manusia yang takzim kepada leluhur, takzim kepada nenek moyang, mengambil wasilah roh-roh leluhur, nama-nama upu, nama-nama kapitang, nama-nama leluhur yang kebal pelor, kebal parang, kebal silet, kebal senjata, manusia yang patuh kepada aturan adat namun menolak patuh kepada syariat Muhammad saw, manusia yang terjebak dikotomi sesat pikir syariat vs makrifat, manusia yang buta dengan pikirannya menganggap syariat Islam hanya sebatas shalat vs islam makrifat yang berarti adat kampung, manusia yang menolak membuka diri membuka wawasan melihat dunia, sampai kepada manusia-manusia yang saleh, manusia yang rendah diri, manusia yang hanif (kalau ada, mudah-mudahan ada). Aku merindukan kampungku sehat kembali. Sehat oleh karena bebas dari penyakit berkehidupan yang tidak berjiwa syariat Rasulullah saw yang benar. Sehat karena hidupnya nilai-nilai Islam di sana. Semoga rinduku terwujud bak mimpi Yusuf as mengaktualita di imperium Mesir kuno. Aku merindu kampungku punya budaya membaca dan menulis.



Baca Selengkapnya...

Sunday, April 27, 2008

Teringat Kampung (2)

Aku terperanjat kaget ketika mendapati keadaan kampungku telah berubah. Drastis berganti baju baru, nyaris seratus delapan puluh derajat. Baru lima tahun saja mataku hampir membelalak menikmati tingkah 'seronok' kenikmatan modernitas yang ditangkari kampung pesisir itu. Kepulan asap berpongah jelaga di ketiak teluk kampung yang dijulukinya 'namalatu'. Asap dari deru sangar mesin kapal yang tampak berkarat di sana-sini wajahnya yang mengartikulasikan mimpi besar semangat Robert Fulton, James Watt dan Revolusi Industri beberapa abad nun laloe.

Inikah kampungku? sungguh ketinggalannya aku sampai bertanya seperti orang blo'on yang barru pulang dari pertapaan di gua Plato. Ataukah kampungku terlalu cepat mengganti bajunya yang lama walau belum koyak sembari mengusapi dirinya dengan beribu pesona gemerlapan modernitas yang kemudian menikmati status barunya yang terbaratkan? Entahlah di antara keduanya. Yang merealita adanya di sana adalah banyak hal baru. Sederhananya dari hal baru berarti ada banyak hal juga yang telah terdefenisikan ataukah mendapatkan jatah stigma lama atau ketinggalan jaman dan kemudian mode. Ada mode baru dan kemudian itulah yang lebih berhak digandrungi ketimbang mode yang (ter)usang(kan). Bukanlah aku madah untuk pendefenisian kategorikal binarian dalam apresiasi ini, namun semacam upaya mendekati kenyataan yang ada demi 'membaca'nya sebagai teks-teks jaman yang saling bersitegang memperebutkan dominasi pemaknaan serta kuasa apriorik yang mendulangi ceceran makna lezat sebagai yang layak terpakai.

Mulai dari berubahnya kecenderungan mata pencaharian penduduk sampai kepada permainan anak yang meng'gila'i play station (ps) dan terkuburnya permainan anak tradisional. Dari kultur agraris menuju 'perlahan-lahan' kultur perdagangan dan jasa. Dari budaya feodal komunalis menuju transformasi berwatak borjuis materialis individualis. Dari masyarakat berwawasan 'sebatas' tempurung provinsi menjadi masyarakat berwawasan 'pemecah' tempurung provinsi, walau hal ini masih sangat sedikit dari yang segelintir dari banyak yang telah meroket ke orbit targetisasi pembelajar mahasiswa. Banyak telah berubah.



Baca Selengkapnya...

Friday, March 21, 2008

Teringat Kampung (1)

Sebuah lengkung bibir pantai berbahan utama tanah berpasir putih dengan sedikit lempung hitamnya menguarkan kilatan pantulan mentari dari pualam lesung teluknya di pagi hari sekitar jam sembilan di bulan Juni pada suatu hitungan tahun yang telah lekang dari ingatan batok kepala ini. Pantai desa tempat aku dilahirkan dan bebas dalam capaian-capaian naluri etape hijau daun pisang deret usia sebagai liturgi monumental mengangkangi satu persatu tingkatan bangku-bangku sekolah, mulai dari SD, SMP sampai SMA. Pantai yang hampir setiap tahun kini telah tampak mengenaskan walau tak begitu mendapat tempat pada erangan peduli masyarakatnya. Ia saban hari berganti terus madah di bawah simbahan terik matahari timur yang membakar kulit dan mengeritingkan rambut nyong-nyong dan nona-nona di sana. Teluk kecil yang isi perutnya nyaris musnah dihardik bedebukan letupan bom ikan sebagai cara pintas mendulang untung walau sekejap akan sirna menjadi onggokan kotoran kemuning. Terumbu karang, anemon, ikan batu-batu, ikan ekan, ubur-ubur, ikan lompa dan maki dan banyak lagi komunitas pesisir teluk yang kira-kira berjarak satu jam menunggang speed boat dari ujung timur pulau ambon, kini menjadi barang langka di situ. Nyaris tak menyisakan sisa di permukaan daratan baweah teluk, tinggal asyurisiwa dan patu omin serta sahi'ir yang memencilkan diri berkubang di balik reruntuhan sarang istana anemon dan pasir putih karang.


Teluk ini dibelah oleh juluran lidah beton separuh balok-balok kayu eboni yang tertatah berderet sebagai landasan di ujung juluran itu. Ia dinamai haita namalatu. Pelabuhan namalatu dari sebuah negeri adat berpenduduk muslim dengan sistem pemerintahan istimewa, model feodal tradisional yang telah berlangsung semenjak beberapa abad lampau dalam sebuah imperium lokal. Maklum, dulu kan belum ada nasion Indonesia, yang ada hanyalah imperium ataukah kesultanan, kerajaan, kedinastian dan sebagainya yang berkecenderungan hidup komunalis daripada sosietal dan bercorak nasionalisme etnik. Negeri ini bernama Pelauw. Desa Pelauw sesuai dengan konvensi kompromistik apa yang menjadi keinginan pemerintah nasional Indonesia dalam perundang-undangan tata pemerintahan, yang menurut sebagian tahanan politik (tapol) ORBA di Pulau Buru, merupakan pengadopsian paksa oleh rezim ORBA untuk menjawanisasi, menghomogenisasi tingkah laku dan oleh karena itu seluruh perangkat budaya dan model pemerintahan negeri-negeri rakyat Indonesia. Sekarang namanya Desa Pelauw dan juga sebagai ibukota kecamatan Pulau Haruku di kabupaten maluku Tengah. Masyarakat di desa ini memiliki etos berpendidikan formal yang sangat tinggi, terlebih setelah terjadi kerusuhan berdarah pada 1999 lalu. Antusiaisme ini dibuktikan dengan sangat banyaknya pemuda lulusan SMA yang melanjutkan ke perguruan tinggi yang kemudian fluktuasinya semakin bertambah sampai kini, tak terbatas di kota Ambon saja tetapi mereka menyebar di banyak kota di Indonesia. Makassar, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Jakarta, Bandung, Papua, Ternate dan kota lainnya. Yang terbanyak sejak gelombang besar-besaran mahasiswa maluku yang eksodus dari Ambon pasca tragedi 1999 adalah di kota makassar. Di kota ini mahasiswa asal desa Pelauw rata-rata setiap tahunnya tetap bertahan dalam angka di atas lima puluh. Mungkin bisa dikata bahwa jumlah terbanyak mahasiswa dari suatu desa se-Maluku adalah dari desa ini. Terlihat para orang tua di desa ini sangat obsesif menyekolahkan anak-anaknya stinggi mungkin, tak mau ketinggalan dari yang lain. Hampir dipastikan bahwa pendidikan telah menjadi sebuah anggapan aprioriksebagai capaian prestise sosial dan kehormatan keluarga pada masyarakat ini. Orang tua akan merasa bangga pada anak-anaknya yang sukses meraih gelar sarjana. Ada adagium populer mengatakan bahwa anda akan menemukan negeri ini seperti sebuah kampung tradisional yang kelihatan lapuk dan rapuh oleh berjejer rumah-rumah penduduk yang bersahaja dari bahan rakitan pelepah gaba-gaba beratap rumbia. Tapi jangen kaget kalau anda menemukan di dalam kerapuhan kulit luar itu sebuah pigura terawat mantap menggantung di dinding yang tidak cukup mentereng pada malam harinya, sebuah pose bertoga sebagai kebangaan keluarga. Ada kekuatan menyala di foto itu. Kekuatan yang setidaknya membuat rata-rata masyarakat yang tradisional menjaga adatnya dengan baik secara komunal, istilahnya maningkamu, meyakini kekuatan kepercayaan diri sehingga mimpi-mimpi buruk kisah peradaban masa lalu di bawah lipatan kolonialisme eropa bisa teratasi oleh kerendahhatian dan kebersahajaan serta perasaan persaudaraan tanpa perbedaan orientasi materi. Bisa terbaca dengan jelas motif di balik pigura berkaca pada masing-masing gubuk gaba-gaba di sana. Bahwa martabat kemanusiaan dalam batas tertentu harus diditegakkan lewat kerja keras dan menelusuri kanal-kanal ilmiah sebagai jalan terbaik. Masyarakat telah sejak kakek nenek leluhur telah memilin urat-urat kusut berkejangan dalam setiap epos hidup mereka sebagai pelakon hidup yang berniscaya bergulat dalam tirani sejarah dan tangan besi alam. Sejarah telah membentuk otot-otot mereka dan memberikan resume simultante yang tepat dari hasil pergulatn dan pasang surut berkencan dengan kehidupan. Itulah keputusan mereka. Itulah nilai spirit yang dipelihara sebagai etos hidup. ia adalah tekad. Tekad untuk cita-cita bagi gemeletukan gerigi rasa yang mengondensasi pada hasrat menegakkan karsa. Capaian tinggi menjadi manusia pembelajar. Tapi sayangnya menjadi ironi oleh karena capaiannya tidak banyak yang menjadi pembelajar holistik. Hanya intelektual akademik an sich. Tak lengkap. Sudah banyak sarjana namun sangat sedikit yang menjadi intelektual organik seperti dikatakan Antonio Gramsci.


Baca Selengkapnya...

Friday, March 07, 2008

igauan masa

Lipatan-lipatan sketsa masa yang kuremukkan satu-satu dalam komat-kamit memamah dalam-dalam sebagai yang mentradisi bagi tuntutan aktualita dari pencarian ataukah penelusuran kotak identiitas kemenjadian yang berseronok dekilan rupa tabu dan angkara noktah superego yang melumat dalam dengkuran tiranik, serasa mendulang jarak yang membuana saja kala aku memicing satu-satu helaian sketsa masa yang telah lewat, terbujur jauh sebagai lukisan sejarah yang memitos di geludukan apriori dan imaji ala tutorolog dan khaldunian ataukah notosusantian. Sejarah bagiku meluber jauh dari dekapan keringat Hegel yang menguap meninggalkan kisah arung-arung tak bertulang. Haru mengangker ...



Baca Selengkapnya...

Saturday, February 02, 2008

Pak Harto dan Pulau Buru

Saat mendengar kabar mangkatnya almarhum Pak Harto lewat RRI saat itu, naluri historisku langsung menyangkutpautkannya dengan bahan bacaan pada saat itu. Aku tidak terlalu bersimpati. Maklumlah saat itu, ketika aku menyetel frekuensi RRI di radio yang kugantung di dinding kamarku sekedar mencari-cari lintasan warta radio, kebetulan baru saja lewat dua jam dari hembusan nafas mantan Jenderal Besar Penguasa Orde Baru selama 32 tahun itu, saat itu aku sedang serius dalam melafal bait-bait buku karangan pak Hersri Setiawan. Apa lagi kalau bukan Memoar Pulau Buru. Buku yang berisi catatan-catatan pengalaman Pak Hersri semasa menjadi tahanan politik (tapol) Pemerintahan Jenderal Besar soeharto dengan ideologi Pancasila itu. Pak Hersri ditahan sebagai tapol eks G30S/PKI 1965 dan dipenjarakan di RTC (Rumah Tahanan Civil) Salemba dan RTC Tangerang sebelum diperbudakkan di Pulau Buru, sebuah pulau yang kini telah bernama Kabupaten Buru di Provinsi Maluku. Kembali ke Pak Harto. Sore itu komat-kamit reporter RRI mengerubingi gendang telingaku dengan berderet prestasi sang almarhum, terus dan seperti tanpa diimbangi dengan jejak prestasi buruknya. Saat kepalaku masih segar dalam petualangan berempati atas nasib ribuan tapol yang digerayangi tanpa ampun seluruh hak kemanusiaannya, saat itu aku diajak berempati terhadap sang jenderal.


Selama masa kediktatoran militeristik kapitalistik pasca kepemimpinan NASAKOM-nya Bung Karno, Indonesia jatuh ditalang limbah kemelaratan, tangis kepiluan dan sayatan sadis pelanggaran hak asasi manusia (HAM) atas rakyat-rakyat penghuni gugusan pulau berkekayaan melimpah ruah. 32 tahun selama menjabat, kebijakan sang raja jawa ini sangat bertentangan dengan asas hukum tertinggi negara, UUD 1945, khususnya distribusi kesejahteraan sosial dan aspek keadilan sosial (pasal 33 UUD 1945). Kekayaan bangsa dilego pengelolaannya kepada pihak asing. Puluhan perusahan multinasional eksprorasi dan eksploitasi minyak dan gas alam dan mineral berharga lainnya, seperti Shell, Exxon Mobile, Freeport, British Petroleum, Newmont dan lain-lain diberi kemudahan mengeruk lahan ekonomis milik hajat hidup bangsa. Tercatat lebih dari 90% kepemilikan saham atas nama Freeport untuk penambangan mineral berharga di Papua barat. Sementara pemerintah kita hanya berhak atas setoran royalti yang sangat sedikit serta dari hasil investasi saham yang hanya sekitar 9% itu. Terlampau kecil untuk ukuran lahan eksplorasi tambang sekaya Papua. Ini tidak adil dan betul-betul membuktikan ciutnya nyali pemerintah kita, terutama bapak pembangunan itu di hadapan Amerika Serikat sebagai negara tempat bigboss Freeport bersarang di New Orleans. Gila. Kegilaan ini ditambah lagi dengan pengecutnya pemerintahan SBY-JK yang memberikan (gratis) eksplorasi ladang gas alam di blok Natuna kepada Exxon Mobile, dimana pada Desember 2006, ketika George Bush(hett) mau berkunjung ke istana Bogor, sehari sebelum itu SBY sebagai 'anak manis' terbang tergopoh-gopoh ke Natuna untuk mempertegas kontrak gratis pengelolaan blok kekayaan pasal 33 UUD 1945 kepada pihak Exxon Mobile. Alhasil, posisi saham pemerintah di sana hanya nol persen, artinya 100% hasil eksplorasi gas alam yang melimpah itu seluruhnya terhisap percuma bagi kaum TNCs kapitalis asing Amerika Serikat, sedangkan bangsa ini hanya kebagian limbah saja. Sekali lagi, GILA...!!! Ini belum terhitung kebobrokan pemerintah saat Exxon Mobile mengeliminir posisi Pertamina dalam mengeksplorasi ladang minyak di blok Cepu, dekat Blora (Jawa Tengah) dan Bojonegoro (Jawa Timur). Dengan dalih inefisiensi manajemen internal, Pertamina tidak diperbolehkan mengebor minyak, namun Exxon Mobil-lah yang harus diistimewakan. Akhirnya konspirasi minyak ini ujung-ujungnya adalah privatisasi, liberalisasi menuju agenda globalisasi neoliberal menjiplak anjing-anjing WTO, IMF, World Bank dan USA dan kawan-kawannya. Negeri ini telah digadaikan oleh pemimpin-pemimpinnya yang ternyata mereka adalah komprador modal alias cecunguk Amerika Serikat. Pecundang dan pengecut sekalian. Melawan Amerika Serikat saja takut. Ketakutan pemerintahan SBY-JK terhadap penguasa negeri Paman Sam itu terlihat saat George Bush(het) mampir sebentar di Bogor. Betapa sibuknya pemerintah sampai menyiapkan hellipad dan pembenahan istana yang biayanya miliaran rupiah. Tak pernah dalam sejarah kepemimpinan bangsa ini yang bermental budak seperti kali ini. Sangat memalukan. Kita sebagai kaum muda harus marah, oleh karena presiden adalah jabatan simbolik politis dari nation kita. Perilakunya adalah representasi kita semua. Sikap blo'onnya akan memalukan kita semua. Harga diri bangsa kita tercederai di tangan seorang presiden yang bermental cecunguk. Cecunguk itu istilah para tapol Buru di tahun 70-an bagi mereka yang suka menjilat penguasa.

Kemelaratan secara meluas di negeri ini haruslah dipungkasi sesegera oleh putra bangsa sendiri dengan jalan mengambil kembali (nasionalisasi) hak milik, hak kelola dan hak distribusi profit atas seluruh industri mineral (minyak, gas alam, tembaga, nikel dll), kehutanan dan indutri eksplorasi sumberdaya alam lainnya yang tersebar 'liar' di negeri ini, dari Sabang sampai Merauke. Pemerintah harus bercermin kepada Evo Morales yang ketika terpilih menjadi presiden Bolivia pada 2006 lalu, kurang dari sembilan bulan telah terjadi perubahan-perubahan cukup besar yang signifikan bagi transformasi kesejahteraan yang timpang dalam waktu lama serta distribusi keadilan bagi rakyat Bolivia yang mayoritas suku asli Indian. Selang beberapa pekan setelah Morales dilantik, presiden yang semasa mudanya sampai detik-detik mau dilantik itu adalah seorang aktivis sosial pembela hak-hak petani koka yang menjadi tanaman tradisional sejak dahulu nenek moyang bangsa Indian, jauh sebelum kedatangan kolonialis Spanyol pada abd ke-16, seluruh industri tambang yang mengeklsplorasi mineral-mineral berharga di negeri yang masuk kategori termiskin di Amerika Latin itu langsung dinasionalisasikan dengan tegas dan memberikan ancaman pengusiran kepada kapitalis-kapitalis asing itu apabila menolak. Sukses Morales mengambil alih industri tambang milik Bolivia itu dan ditambah dengan kebijakan-kebijakan populis lainnya seperti alokasi setengah gaji presiden untuk sektor pendidikan dan kesehatan yang diikuti oleh para menteri kabinet dan anggota parlemen serta Land Reform, membawa Bolivia ke tampuk perbaikan nasib rakyat. Morales tidak sekedar berretorika. Dia berpihak langsung kepada rakyatnya yang telah lama dirundung penghisapan perusahan-perusahan transnasional dan akumulasi lahan pertanian di tangan beberapa elite penguasa dan kelas kapitalis. Moralis tak tanggung-tanggung menantang Amerika Serikat dengan penguatan politik berintegrasi memperkuat blok perlawanan bersama beberapa negara sosialis di Amerika Latin. Sikap Morales ini sangat terbalik dengan presiden kita yang masih saja takut kepada Amerika Serikat padahal seorang jenderal tentara. Parlemen Bolivia 180 derajat di atas parlemen kita yang beberapa waktu lalu meminta kenaikan tunjangan kinerja Rp. 10 juta di saat harga BBM melambung tinggi di tahun 2005.

Kembali ke pak Harto dan Pulau Buru. Oleh karena prioritas kestabilan politik dan keamanan, maka seperti diulas oleh DR. Asvi Marwan Adam bahwa tapol yang mendapat giliran Pulau Buru adalah tapol tipe B, dimana tipe ini dibelenggu tanpa pengadilan, karena asumsi penguasa ORBA yang ketika itu kendali urusan proyek Pancasilaisasi pulau Buru diserahkan atas kendali Jaksa Agung saat itu, tapol-tapol tipe B adalah mereka yang bukan gembong utama dan pokoknya yang terindikasi Gestapu, Gestok atau PKI. Mereka tidak diadili, namun akan direhabilitasi menjadi insan-insan Pancasilais. Pulau Buru tempatnya. Tapol tipe A dihukum mati, seperti DN. Aidit, Njoto dan lain-lain. Dengan mem-Burukan ribuan tapol 'merah', potensi instabilitas dalam negeri dapat dikikis, prasyarat masuknya investasi asing untuk proyek besar pembangunanisasi dan jawanisasi ala burung garuda. Era 1970-an adalah etape penancapan pondasi pembangunan dengan agenda periodik REPELITA yang diusung di bawah platform trilogi pembangunan. Kebijakan pembangunan ala Soeharto membuka keran investasi asing besar-besaran dengan mengintegrasikan dengan desain paradigma modal. Akhirnya selama Repelita itu banyak dana dikucurkan sebagai bantuan pembangunan yang kemudian hanya menjadi objek korupsi penguasa, keluarga, kroni, konco dan coro-cecunguk ORBA. Trickle Down Effect sebagai strategi pembangunan ternyata gagal memulihkan kemsikinan jutaan rakya. Lebih banyak dari kebijakan pemerintah adalah mengikuti logika pasar bebas dengan salah satunya meratifikasi konsensus Washington pada 1980 tentang liberalisasi keuangan, perdagangan, deregulasi perdagangan dan impor dan lain-lain. Ada segelintir elite di negeri ini yang kekayaannya menggunung, sementara jutaan rakyat tertindih beban kemiskinan. Banyak problem menimpa rakyat, mulai dari kemiskinan, pengangguran, sekolah mahal, biaya berobat mahal, harga BBM mahal, kegagalan panen, efek negatif pupuk, insektisida dan herbisida sintesisi, degradasi ekologis akibat efek global warming , illegal logging, kekeringan, banjir, busung lapar, keracunan limbah pabrik, tergusur akibat pembangunan mall, properti kaum pemodal dan berjuta masalah lainnya. Ini semua adalah tetesan emisi kebijakan jahiliyah dari pemerintah negeri ini yang tidak memihak kepada rakyatnya. Kembali lagi ke Pulau Buru. Ribuan tapol dikangkangi dimensi kemanusiaannya pada dekade 1970-an. Mereka diposisikan bukan sebagai manusia, namun sebagai masing-masing nomor kode yang tercetak di baju dan celana. Waktu berlalu sambil bersaksi atas tontonan perbudakan yang menyata. Akhirnya atas desakan internasional (menurut Asvi M) dan pergeseran konstelasi politik nasional saat itu, tapol-tapol ini dipulaujawakan pada penghujung 1970-an namun dengan luka yang teramat dalam. Mereka masih mendapat stigma eks-PKI. KTP mereka ada kode ET (eks tapol). Haru biru dan sadisme tak terperi yang dialami ribuan tapol rakyat Indonesia yang sempat dulu berafiliasi kepada salah satu partai politik yang sah, PKI, kini berlalu menyisakan kisah duka yang sungguh ironi dengan visi kemanusiaan pembukaan UUD 1945. Ratusan tapol telah tekubur di pulau itu sebagai korban penganiayaan dan pembunuhan yang direstui penguasa. Pada akhirnya jualah sejarah akan selalu menyulam kanvasnya dengan darah para martir dan syuhada. Hormatku buat segenap kerabat tapol yang berduka di tepian sejarah.


Baca Selengkapnya...

Tuesday, January 29, 2008

Beginilah Pilihan

Aku selalu bingung. Bingung kalau ingatanku menoleh lagi. menengok arsip perkaderanku di HMI (MPO). Selama ini aku mencari wadah pelarian. Mencari penyambung aspirasi dan nalar berorganisasi. Mencari kesibukan lain. Asal jangan urusan hijau hitam. Aku kadang merasa bersalah. Sering pula jengkel. Bersalah dan jengkel berganti-ganti. Tergantung mood dan cuaca apa di tamalanrea. Tahun lalu aku dipecat di HMI. Yaa dipecat bukan lantaran tindak kriminal. Bukan karena aku menjual HMI untuk proyek. Bukan pula karena aku merampok kekayaan harta HMI di tangan bendahara. sekali lagi bukan karena aku korupsi. aku dipecat dengan dalih yang lucu dan tolol. Aku dipecat dengan argumen yang bagiku contradictio in terminus. Aku dipecat pada Februari 2007.


Mula-mula aku tidak begitu terbebani dengan masalah ini. Tidak terbebani lantaran pada saat itu aku ikuti langkah kawan-kawan se-gerbongku. Langkah yang bagiku pula terlalu naif karena menolak melakukan banding sebagaimana mekanisme dalam konstitusi Kongres Palu. Saat itu aku ikut termakan euforia yang nantinya kebablasan juga di bilik tahun berikutnya. Aku betul-betul bingung. Batinku komat-kamit ingin meludahi dua carik kertas SK pemecatan itu. SK pemecatan yang argumennya teramat lemah. Kentara sekali aura pertarungan dan intervensi kepentingannya. Ibarat skenario drama, bagiku keputusan pemecatan itu sudah di tangan tinggal dicari alasan-alasan dan rasionalisasi ini itu sampai dengan Tim Investigasi (seperti kriminal di TV). namun itu hanya untuk menjadi bahan penguat keputusan yang sudah dipatok itu. sebenarnya waktu itu mau kuajukan surat bandingku ke sana (sekrettariat tempat SK itu keluar). Tapi lagi-lagi aku termakan euforia kawan-kawan yang salah perhitungan menolak banding .Akhirnya memang betul, yang namanya hitam di atas putih harus di-counter pula dengan hal serupa, bukan dengan cara verbal. Akhirnya setahun telah berlalu.


Aku masih bersikukuh akan kelemahan SK itu. Tapi apa daya SK itu masih tetap berlaku kekuatan hukumnya. Masih legitimate atas status keanggotaanku yang dicabut. Satu-satunya cara untuk kembali menjadi anggota HMI sesuai konstitusi adalah ikut BasicTraining ulang. kembali mulai dari nol setelah empat tahun menjadi kader. aku yakin SK itu sangat lemah, namun rupanya dugaanku terbukti. Karena wacana sengketa kepentingan membuntuti tragedi pemecatan 13 kader aktif termasuk.aku. kupikir dipertimbangkan untuk didaftarkan ke MURI sebagai prestasi memecat kader. Tepuk sorai dan gegap gembira harus mengiringi totolan stempel pengesahan pemecatan itu. Pemecatan yang tendensius tanpa teguran keras keq, tamparan awal keq, langsung saja main sikat, PECAT...!!!! aku teringat kisah kaum Yahudi dalam literatur yang pernah kujumpai. Bahwa untuk mereka, syari'at Musa as menjadi niscaya tegas, kaku dan 'sadis'. Cara bertobat saja harus bunuh diri. begitulah nasib yahudi yang sangat kaku dalam memvonis. lain Yahudi lain Kristiani. Isa as mengemban risalah kelembutan, kasih... Muhammad saw sebagai al wasath, antara keras, tegas, 'sadis' dengan kasih dan kelembutan.antara syariat Musa dan syariat Isa. batinku meledek, bukankah syariat Musa sudah kadaluarsa..? masihkah cara itu ada dan dipraktikkan di zaman postedan ini..?


Waktu terus berputar.... Kongres Palu pun telah berestafet ke Kongres Jakarta Selatan beberapa bulan lalu. tentu aku ahistoris kini dengan konstitusi baru. Namun itu tak menjadi soal. oleh karena pemecatanku menggunakan konstitusi Palu yang sebenarnya saat itu aku menjadi intens mengkajinya, terutama yang berhubungan dengan soal-soal kepemecatan, kestatusanggotaan dan pendirian sebuah cabang HMI yang baru. untuk yang terakhir inilah alasan aku dipecat. Sayang...aku dipecat lantaran mendirikan sebuah cabang baru. aku dipecat gara-gara HMI Cabang Makassar Raya dideklarasikan pada Februari tahun kemarin. mudah-mudahan ada yang membaca tulisan ini kemudian melaporkannya kepada si Mr. Pecat. Tapi masalahnya pecat itu sudah basi. orang sudah bukan anak HMI koq!!! bisakah non anggota HMI dipecat lagi..? kayak ORBA saja. lawan asas tunggal siap penyok diinjak sepatu laras atau di-PulauBurukan. mendirikan sebuah cabang HMI untuk memperluas jaringan HMI itu sendiri malah di'Boven Digoel'kan. Bingung.... Kalau begini jadinya, maka aku mendapat sebuah pelajaran nyata. Bahwa manusia, siapapun orangnya belum tentu adil dan arif bijaksana dalam sikap dan apalagi sebuah keputusan. Walau dia sendiri terlampau yakin akan keadilan dan kebijaksanaannya. Karena kuyakin bahwa pelajaran ini mengajariku satu hikmah. Bahwa keadilan dan kebijaksanaan yang dijamu kepada kita kebanyakan hanyalah imitasi. Dacing simulakrum. Biarkanlah hal ini menjadi guru berharga bagiku...Semoga kawan-kawanku yang masih aktif di HMI tidak dipecat lagi lantaran berbeda pendapat dengan pemegang kekuasaan. Lawan otoriterisme di mana saja...! Sappere aude...!


.

Baca Selengkapnya...

Tuesday, January 15, 2008

Bisik Betuah Ibu

Wajah dan rambut ikalku senasib. Kering. Pakaianku lusuh, jarang mandi sore dan puasa banyak kali dalam tiap pekan bukan demi menghidupkan sunnah, namun karena kere. Dompet hanya tinggal sisipan kartu anggota sebuah organisasi kemahasiswaan ternama di kota ini serta kartu mahasiswa yang tinggal sepotong saja melengket tak terurus bersama KTP. Uang habis. Memang sudah menjadi tradisi pemakaian uang kiriman dari kampung, tak lama saat kukeluarkan beberapa lembar pecahan uang kertas di ATM, aku bergegas ke toko buku dan kutumpahkan nafsu bacaku di sana dengan tanpa pikir panjang, kusetor bayaran beberapa buku dan aku bergegas menuju kamar kost. Biasanya lebih setengah jatah kirimanku ludes di toko buku. Aku kecanduan, tak bisa kutahan hasrat itu. Selalu kurasa puas kalau telah mendapatkan buku. Buku dan buku itulah targetku. Targetku membaca sebanyak mungkin buku di kota yang telah lama kuhirup udaranya. Daun pintu menderit, kubuka pintu kamarku lalu tubuh yang kehujanan saat pulang ini madah hingga terlelap di atas tikar pandan yang kubiarkan pasrah di lantai. Aku terkejut bangun saat seseorang mengetuk pintu, kebetulan tetangga sebelah yang mengingatkan kalau sudah magrib. Tanpa mandi, kubasuh muka dan menyikat gigi, kusempatkan berwudhu di kamar mandi lalu bergegas ke surau yang tak jauh. Aku berjamaah seperti telah rutin. Di luar surau rintik hujan meniris atap satu-satu. Saf jamaah lurus dan henyuk dalam zikir dan doa. Shalat maghrib usai. Aku merenung dan pikiranku melayang ke pendulum waktu enam tahun kemarin. Hayalku terpancing. imajinasi meliuk liar. Memoriku berusaha membalik lembaran hidupku yang tidak begitu istemewa, biasa-biasa saja seperti orang kebanyakan.


Rumah tua itu selalu hening di malam hari. Lampu balon kuning sekedar tak membuat penghuninya meraba bak gua hantu. Ala kadarnya. Rumah peninggalan kakek yang dibangun pada masa kolonial Belanda dahulu. Ruangan berlantai tanah liat yang dipadatkan dan memilki tiga kamar yang masing-masing dihijabi tirai pintu dari kain bermotif bunga persik, menjuntai lurus tak bergeming. Dapur yang mengandalkan kayu bakar untuk mengepul berukuran lebih besar sedikit dari ukuran kamar kostku sekarang. Aku tinggal saat itu bersama kedua orang tuaku yang paruh baya dan dua orang adik yang duduk di bangku SD. Kakak sulung laki-laki saat itu sedang di rantau. ia menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit di salah satu distrik di negeri jiran. Tinggallah kami berlima hidup dalam rutinitas yang biasa-biasa saja layaknya orang kebanyakan.

Pendaran sinar lampu philips tak harus memaksa mata ini melotot. Kududuk menghadap dinding bercat kuning gading sambil jemari kanan merekam pijar-pijar rasa dan rubungan pikir yang mengendap di batok apriori selama terawangan imaji lagi pulang kampung. Kuurai kembali benang kenang yang menyusut kusut di balik laci rindu. Aku menulis puisi lagi menemani malam hening sampai larut, seperti biasa sambil memamah rongsokan aksara di bebalik lembaran buku-buku. Di kamar ini kabut mimpi mulai kusekap satu-satu. Hayali mampir bersolek sapa beragam rupa kaya rasa memburam sepi. Aku masih duduk dan mengingat-ingat masa lalu. Kamar ini terasa dekat dengan masa lalu. Aku membalik halaman berikutnya bab setrusnya seperti biasa kunikmati padang aksara sarat makna. Kali ini rasa kantuk menyapa saat kulihat jam weker hampir bunyi di angka empat. Aku belum tidur juga. Namun yang lebih membuat tubuh kurus ini betah berlama-lama dalam pekur di malam hening dengan gurauan satu dua nyamuk ini adalah kenikmatan mengulangi dan mengulang kembali perlahan-lahan saat aku menemukan pita memori itu walau tak berdebu sarang laba-laba. Keping memori sederhana sebagai tutorial pedagogis yang amat berarti dalam peselancaran diri mencari jati diri identitas sebagai orang yang tak sekedar memilih mengada sebagaimana diwanti-wanti Martin Heidegger. Aku merasa begadang kali ini merefresh sebuah sketsa ulang makna hidup yang terlanjur susur dan luncur lalu liuk kiri kanan atas bawah dalam titik lalu koma dan tanda seru kemarin, ya, baru saja dan sudah lalu sampai saat aku melihatnya kembali. Ini soal bisikan. Ini bicara mengenai amanah. Ini tentang emban titah. Ini adalah bisikan yang bertuah. Bagi diriku sendiri karena aku tak mau memaksakan untuk siapapun, karena ini kasetku degup masa laluku. Apa yang aku rasakan adalah kenangan yang punya tuah atas pilihan sikap saat ini. Atas cara hidup. Atas prinsip menatap masa depan. Atas asas berikrar tetap pada keputusan untuk banyak pilihan untuk menawar. Sebuah prinsip yang tak relevan seandainya aku tak berada di sini. Kalau saja aku hanyalah ana-anak kebanyakan, pemuda awam yang konsumtif hedonis materialis dangkal wawasan picik pandangan sesat konservatif fanatik alias terkungkung dalam tempurung-tempurung fatalisme berkepribadian sempit. Kalau saja aku masih tinggal di sana di kampung yang nyaris bangkrut peradaban moral dan pendidikan akhlaknya itu. Kampung yang penuh paradoks ladang opium buta ilmu kebun syirik emoh ayat-ayat langit nan suci. Kalau saja aku masih saja menekuni hobi rutin sepak bola di sore hari setelah itu malam hari tak punya jadwal produktif bagi perenungan kemanusiaan dan amal baik. Malam yang hanya ada satu kata. Pesta. Malam yang jahat sungguh bejat meruntuhkan pelan bahkan dengan berang buas tak disadarai ataukah pembiaran saja dari semua yang berwenang itu, pembiaran remuk angkara meluluh runtuhkan dinding pondasi nilai diri manusia. Moralitas digasak tarian-tarian ala feodalis borjuis kapitalis lewat malam-malam tak berujung henti. Malam dengan pesta pora seperti binatang buas mencabik merobek titah dan harga diri nilai-nilai hati nurani. Dagelan malam diiringi denyut musik hingar-bingar ramai mampus penuh anak muda bernau mulut alkohol tipe pabrikan bermerek adakala cap pohon sagerru busuk. Muak, jijik, najis, kencing, taik kotor, jauh dari beradab apalagi Islami. Betul-betul edan. Jahiliyah di jaman majunya teknologi. Keseronokan yang diumbar-umbar dengan penuh bangga meluapkan pesona ala kampungku yang malang dirudung durjana kezaliman tak berelan vital amar makruf nahi munkar. Betul-betul jahannam. Najis ditelan dibilang biasa-biasa saja apalagi untuk modus relasi. Kalau saja aku masih di situ saat itu bahkan saat kini yang konon kabarnya aku mendengar informasi terakhir dari kampungku semakin tambah runyam parah naas. Moral menjadi comberan tak dipandang punya ujud yang dekat dengan diri paling hakiki. Moral telah jadi belulang. Kalau saja aku masih di sana, aku tak dapat duduk merenung sambil membaca dan merangkai kata-kataku meniru tradisi para jagoan kata di lembaran bacaan menuangkan gejolak, harapan, mimpi dan elan vitalnya berinteraksi mencumbu dunia.

Memang aku punya nasib sedikit lebih baik tapi bukan mentereng. Semenjak sekolah dulu tak ada lagi asa untuk melambung gunung meloncati samudera menuntut ilmu di seberang lautan seperti sekarang ini. Cita-cita kuurung demi realitas dan persembahan bagi kesadaran berkaca pada kemampuan ekonomi. Aku dulu mempelajari Adam Smith untuk tidak berhenti kerja keras namun aku tak menelan mentah bisikan bisu lewat tautan aksaranya untuk berwatak kapitalis merkantilis. Aku dulu meredam harapan itu karena orangtuaku masuk cover buku Eko Prasetyo, Orang Miskin dilarang sekolah. Hanya saja kesempatan itu pun datang bak mentari menyembul dengan sunggingan penuh ceria kepada banjir bah dan genangan berminggu-minggu di banyak tempat di negeri seribu musibah ini. Puji Tuhan alhamdulillah. Harapan mekar kembali saat aku bisa lanjut sekolah seperti kutemukan diriku saat aku bernostalgia. Kakakku dapat rejeki bekerja lalu gaji itu sebagian untuk seadanya biaya belajar di kota. Kebetulan perbedaan kurs mata uang yang membuat ukuran upah buruh kakak sedikit besar nominalnya dibanding gaji pegawai pemerintah kabupaten di kampungku juga yang untuk bekerja di sana terpaksa menyogok banyak untuk mendapat status sosial penyangga ekonomi prestise dan seterusnya. Pikiran berhembalang mengurai pita memori yang sedang berputar sedangkan tarhim subuh hampir usai. Satu hal yang sangat berpengaruh, yang menjadi elan vital dan spirit anakmudaisme adalah bisik betuah dari ibu kala itu. Ketika malam terakhir aku bersama beliau dengan bapak dan adik-adik. Ibu yang futuristik rupanya memperkaya bapak yang penyabar. Saat duduk di hadapan keluargaku di malam itu, ibu berpesan sedikit sepatah dua ucap saja setelah bapak memberi nasihat secukupnya. Kusebut itu bisik betuah ibu. Aku terkesima saat ini saat kukenang. Memang bisik betuah itu dulunya saat gendang telingaku merekamnya tak begitu kupikir penting malah biasa-biasa saja. Aku merasa saat ini perjalanan anak mudaku adalah penyingkapan makna dari misteri bisik betuah ibu. Hari demi hari berlalu, tahun berganti dan semester kuliahku makin bertambah dekat dengan penghujung akademik. Perjalanan proses pemenjadian yang sarat lika liku suka cita terjal curam indah buruk haru senang benci khawatir curiga bangga masygul kecewa hancur bangkit lagi dan seterusnya makin memperkaya batin si pencari. Aku menyingkap makni itu lewat ragam laku hidup dan penemuanku atas karakter dunia yang serba rumit beragam membingung tak lupa. Bisik betuah ibu kala ibu berpesan , pergilah belajar lebih dalam lebih luas lebih tinggi dan jangan lupa pecahkan tempurungmu. Tempurung diri yang mengungkung emansipasi kritis. Tempurung yang membangung dinasti tirani logosentrisme seperti kata Michel Foucoult. Tempurung yang mengisolasi diri dari meluaskan wawasan dan memperbanyak kawan saudara dan ukhuwah. Tempurung yang membuat diri jumud memmmbuat diri jatuh dari tangga malaikat menuju limit binatang yang dilaknat. Tempurungisme anak muda. Pecahkan tempurungmu nak.

Baca Selengkapnya...

Saturday, January 12, 2008

penjara diri

alkisah. pada suatu masa yang amat rahasia. ketika manusia tak satupun tahu. ketika manusia, ya aku, kamu dia, mereka, kita semua bergelantungan bak gemerontong tembikar. teronggok rupa arca liat mengeras. di saat kita hanyalah debu yang rendah. ketika kita tak lebih hanyalah lumpur jijik. kita semata bentuk materi. kita hanyalah benda. kita hanyalah sesuatu. maka kita tak punya nilai lebih. memang... memang kita tak ubahnya lempung yang terinjak. kita tak semenawan rerumputan yang gemulai. tak sesibuk awan yang berarak. tak seindah kuntum mawar. tak sewangi dahlia kala mekar. kita hanyalah tanah yang asalinya merendah. pembawaannya selalu di bawah. derajat rendah.


namun, lihatlah... lihatlah balon-balon kesombongan itu meninggi. semakin besar semakin rapuhlah mereka. tampak melonjak merobek payung kabut emoh kepada kulit bumi. balon-balon keangkuhan yang isinya kosong melompong. hampa substansi sebesar lengkungan pongah. dikala ruh Allah bersemayam di sana. saat kita memanusia.saat tubuh hina punya nasib berkilat. kini roda nasib kian memicing..meski ruh telah bersemayam. meski substansi yang suci mengisi. meski potensi lempung mencahaya telah melumer ego. meski sosok itu berkesadaran kini. meski ada pendengaran. meski punya penglihatan. walau hati mengisi kantong inti tubuh. walau punya rasa dan indera. walau dipungkasi akal. walau diberi banyak, disodor amat banyak. namun sebanyk itu pula muncul jentang menentang dan apalagi khianat. lupa kini semuanya dari mana. lupa kini asalnya dan kemana selanjutnya. cahaya ruh redup. sungguh bodoh. mengendap dalam kubangan kebodohan. akal sehat berkarat. nurani memfosil. tinggallah organ-organ biologis berpompa sini menuang sana. makan minum buang tinja injeksi libido mondar-mandir sana sini hirup lepas udara.


ooh... rutinitas berulang-ulang bak robot tak berasa manusia. sayap kesucian dirontokkan. tergantikan beling apalagi cakar kebuasan. manukar malikat dengan komplotan iblis. menyembah yang mendiri, lupa diri sendiri. menggelar majelis murka, menggulung tikar iman. pendengaran menyumpal, tuli. penglihatan mengatup, padahal matanya kian menyalak cabul dan bengis. hati membatu tak berperi rasa. disodorkan kebenaran risalah, malah tikaman menyambut dendam memperagakan tikai. hanya penghambaan senarai ego dirihawa nafsu ikon ilah mengasyikkan. tuhan-tuhan kesenangan ragawi. hawa nafsu melakon penjara menikam akal sehat. jangan... jangan sobat... jangan biarkan harimaumu meraung dalam kebutan mangsa. jangan penjarakan dirimu dalam kubangan iblis. pecahkan balon-balon pongahmu kawan. jernihkan pendengaran. tak usah pelototkan mata, lihatlah terang. sensitifkan hati. reguklah di sana mata air keilahian. basuhi kegersangan rasa. lalu.. berontaklah atas belenggu yang membunuh. belenggu batin yang melenakkan. proklamasikan kemerdekaanmu tuk meretas jalan kembali ke oase cinta. kuatkan kepalan tangan pada juntaian buhul yang kokoh. buhul pegangan tuk berayun menuju tebing kemenangan. buhul dalam seleksi adil siratalmustaqiem. basuhi kerat yang membisul kemusyrikan yang melebami selaput hati. basuhi noda yang meracuni hati. karat cermin yang layak dibasuh dengan air mata penyesalan,
ikrar suci taubat nasuha, pula rintihan dzikir dan penghambaan pasrah.





Baca Selengkapnya...

Tuesday, January 08, 2008

Sabda Lapar

Lapar mengajariku banyak hal. Lapar membuatku sadar.Aku lapar karena menahan perut yang kosong. Aku kehabisan uang untuk membeli makanan. Kini perutku keroncongan. Lapar membuatku tersentak dari rutinitas kenyang. Aku tersentak dari nafsu konsumeris. Lapar memaksaku untuk banyak diam. Tinggal di kamar sambil bertafakur, membaca tumpukan buku dan sekali lagi merasakan perut keroncong. Lapar membuat perutku istirahat. Pikiran mudah berpikir kreatif. Shalat dan zikir bisa sedikit khusuk. Lapar melatih kesabaran. Jiwa terasa tenang. Satu hal yang menonjol adalah tubuh mengurus. Kulit membaluti tulang. Lapar mengajariku mengenai kesyukuran. Di saat lapar seperti ini lalu ada yang berbaik hati memberikan sedikit makanan sekedar menyumpal kekosongan yang mulai berdenyut, sungguh aku akan menyambutnya dengan perasaan syukur yang sangat. Hatiku mengucap hamdalah. Meski sedikit rejeki, namun sangat berarti bagiku di saat-saat darurat seperti ini.


Hikmah seperti ini sangat penting, terutama bagaimana mensyukuri nikmat yang telah kita peroleh dan tanpa disadari, nikmat itu begitu banyaknya. Nikmat yang melimpah dari Allah Swt, dimana nikmat yang banyak itu pula kita lupakan. Perenungan yang intensif layak kita lakukan atas realitas diri pribadi dan kondisi sosial. Lapar mengajariku bagaimana menjadikan perutku yang kelaparan dan rasa derita itu sebagai cermin atas bagaimana masyarakat yang mengalami nasib serupa. Perutku yang lapar telah memantulkan secuil kisah sosial, dimana kelaparan menjadi kisah perih hampir sepanjang usia manusia di muka bumi. Perih di rongga perutku menampar kepongahan ego diri yang tak mau berempati atas kelaparan saudara senasib manusia. Bagaimana mungkin merasakan empati atas derita orang lain yang lapar berhari-hari, bahkan tak berhitung hari, kalau perut kita sesak setiap saat? Apa bisa merasakan denyut lambung yang kekosongan dan pembuluh tubuh yang dehidrasi dengan berimajinasi? Bukankah kita selalu berlebihan dalam penggemukan perut, sementara di saat yang sama ada busung lapar? Bukankah kita telah berbuat ironi yang amat menyayat rasa? Bukankah di saat dahaga yang mencekik dan belum sekerat makananpun mengisi perut dari mereka yang dikorbankan dalam jejaring kemiskinan yang lebih diperas oleh tirani struktural ini, di sana terjadi akrobat nyata ketidakadilan manusia? Bukankah kita semua mempunyai rasa yang sama atas keperihan dan kemanisan hidup? Ooh sungguh ketakberdayaan sebagian insan yang dimalangkan oleh sesama anak cucu Qabil.

Aku terhenyuk membayangkan beta kredo tauhid dalam perisai Islam yang dikobarkan Rasulullah Saw di masanya dahulu menancap dalam relung kemanusiaan dengan kokoh setegar bebukitan Uhud dan keperkasaan padang pasir Badar, toh dalam proses kemenjadiannya yang gemilang bahkan tak termadahkan oleh jentengan kelaparan dan kemiskinan umat. Betapa sang teladan almustafa menyatu dalam perasaan ini. Rasulullah saw langsung menerjuni telaga kemiskinan rakyat Mekah, merasakannya dari dekat hingga membuatnya amat mencintai dan dicintai kaum fakir dan miskin yang gulana nasibnya diterjangi feodalitas dan sistem sosial kapitalis saat itu. Ataukah betapa sang karamallah wajhah, Imam Ali bin Abi Thalib ra dengan tegas menghunus bilah pedangnya dalam kredo sosialisnya ke sosok simbolis yang harus diperangi dalam prioritas mayor. Ialah kemiskinan yang memang kemiskinan itu sendiri dalam realitasnya yang empirik, bukan tumpukan teori kemiskinan yang dipajang tak berguna oleh tirani modal dan penguasa neolib yang gila itu.

Baca Selengkapnya...