Thursday, March 29, 2007

epistema

Sains dan Kehendak untuk Berkuasa

Knowledge is power
(Francis Bacon)

Sains modern telah memosisikan dirinya sebagai antagonis terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan kuno yang bertujuan untuk memperoleh kebijaksanaan dan memahami tata alam demi hidup dalam alam semesta secara selaras (harmoni). Carolyn Merchan dalam The Death of Nature1 mengeritik pandangan atau konsepsi ilmu pengetahuan tradisional (Baconian) yang menurutnya mengandung pandangan mekanistik tentang realitas serta berorientasi laki-laki (maskulinisme) dan dominasi yang ditunjukkan melalui pernyataannya yang terkenal, “knowledge is power”. Bacon sebagai tokoh utama disamping Descartes, Hobbes dan Newton) mengemukakan perlunya pendekatan empiris terhadap ilmu pengetahuan serta peran ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memahami hukum-hukum alam yang dapat dimanfaatkan untuk menguasai dan mendominasi alam. Merchan mengemukakan pandangan Bacon tentang keharusan ilmuwan untuk ‘mengejar dan mencecar’ alam agar dapat menguakkan rahasianya. Alam (she) harus dijadikan sebagai objek ‘pemenuhan kebutuhan manusia’, dijadikan sebagai ‘budak’ pemenuh kebutuhan (Merchan, lihat Capra, 258)2.

Akar-akar kehendak untuk berkuasa pada sains dapat kita telusuri jejaknya pada perjalanan dan kemajuan Dunia Barat semenjak Revolusi Industri di Inggris yang ditandai dengan munculnya pelbagai macam penemuan baru di bidang teknologi mekanik seperti mesin uap oleh James Watt. Penemuan-penemuan yang spektakuler untuk ukuran zaman itu telah memposisikan para saintis dan pemikir positivisme pada posisi keyakinan akan supremasi metodologinya untuk kemudian meruntuhkan dan mengeliminir sabda-sabda metafisika yang direpresentasikan oleh dogmatisme gereja dan para folosof platonis yang keras kepala dengan pandangan metafisikanya. Donny Gahral Adian3 menulis bahwa Aristoteles menolak idealisme Plato dengan mengatakan bahwa pengetahuan kita harus berangkat dari benda-benda konkrit yang terpersepsi indera untuk kemudian diabstraksikan menjadi pengetahuan akal budi yang bercirikan universal. Aristoteles berpegang teguh pada diktumnya, “nihil est in intellectu nisi cuod prius in sensu”. Yang artinya, tidak ada satu pun yang terdapat di akal budi yang tidak lebih dulu ada pada indera.

Sains yang merupakan anak kandung metode ilmiah telah menunjukkan dan mengartikulasikan potensi penguasaannya terhadap alam dan manusia. Dalam tataran praksis kehidupan kemanusiaan, sains terbukti dijadikan sebagai instrumen untuk mengeksploitasi sumberdaya alam tanpa pertimbangan ekologis yang selanjutnya berdampak pada masalah-masalah degradasi lingkungan. Karena alam dalam paradigma yang membangun sains (positivisme) berada dalam posisi objek yang terpisah (the other) serta nihilnya nilai-nilai metafisika pada setiap penampakan alam (desakralisasi) menyebabkan manusia yang mengendalikan sains beserta piranti teknologinya merasa yakin dengan kebebasannya untuk memperkaya pemilikan pribadi dengan semena-mena menguras kekayaan alam. Demikian halnya terhadap manusia, sains yang dikampanyekan bebas nilai itu menyebabkan manusia mengalami alienasi dari kediriannya sebagai manusia.

Ketergantungan dan kepercayaan yang berlebihan atas paradigma positivisme yang bervarian sains beserta teknologi modern menimbulkan bencana kemanusiaan yang langgeng hingga hari ini. Ketika metode ilmiah yang biasanya dipakai untuk mencandra objek ilmu alam diadopsi pada penelitian dan peneropongan atas realitas sosial kemanusiaan yang kemudian menghasilkan kesimpulan dan determinisme sosial yang gersang. Penerimaan atas keterberian standar pendefenisian sosial menyebabkan ketimpangan akibat kuasa dan kepentingan yang menelikung membuntuti setiap eksplorasi atas dunia sosial oleh peneliti yang berpikiran mekanik. Manusia terpolakan dalam kertas kerja sebagai objek fisikal yang oleh Herbert Marcuse tereduksi maknanya sebatas makhluk satu dimensi (one dimensional man).

Marcuse4 mengeritik rasionalitas formal (instrumental) dan teknologi modern yang disemangati jiwa kapitalisme. Teknologi modern menurut Marcuse tidak bersifat netral, akan tetapi telah digunakan untuk menguasai rakyat. Kemajuan sebagai teori dialektis, hanya dapat dipikirkan dan dianalisis dengan mengaitkannya dengan kemunduran yang ditimbulkannya. Karena kemajuan hanya terjadi jika ada sesuatu yang dihancurkan atau ditolak seperti menghancurkan rasionalitas mitis. Penghancuran ini dianggap membebaskan manusia dari kekuatan dan ketergantungan pada alam.

Dilihat dari suksesnya sains dan teknologi abad ke-20, orang mengira sains telah mencapai puncaknya. Teori-teori sudah mapan dan semuanya dapat diterangkan dengan teori-teori yang ada. Namun, sejarah mempunyai kisah yang lain. Asumsi-asumsi teoritis yang telah lama mempertahankan mapannya sains modern, satu per satu diruntuhkan oleh penemuan-penemuan terbaru yang tak kalah fantastiknya. Sebut saja teori fisika kuantum yang meruntuhkan asumsi-asumsi atomisme deterministik paradigma newtonian. Metode ilmiah sebagai kerangkeng pengetahuan memenjara manusia pada domain berpikir yang rigid, linier dan gersang (hilangnya nuansa estetika) hingga apatis atas ketimpangan status quo. Metode ilmiah sebagai password menuju kerajaan ilmiah.

Sains sebagai fenomena sosial dijadikan alat untuk menjajah. Pemaksaan metodologi serta simulasi tanda yang terlembagakan dalam institusi pendidikan mengantarkan sains pada posisi menara gading. Ketika invasi kultural ini meluas melalui mekanisme penaklukan atau kolonialisasi dalam waktu yang sangat lama, menyebar ke wilayah dengan corak kebudayaan yang beragam, dengan inkulturasi yang melelahkan antara keunikan lokal dengan kepongahan budaya Barat atau infiltrasi imperialisme. Peran sains dalam menggambarkan realitas sosial-kultural menjadi aktivitas paradoksal. Puncak peradaban positivisme ketika dipaksakan mentah-mentah atas kekhasanan lokalitas kemanusiaan di luar lokus kuasa dan legitimasi. Mereka tidak akan menimbulkan sintesis yang konstruktif, ketika kesenjangan metodologi dipaksakan. Dalam hal ini saintisme modern yang mengeksplorasi dinamika kemanusiaan.

Kerusakan yang terjadi disebabkan paradigma sains yang memandang dunia secara mekanis, berlawanan dengan paradigma holistik yang memandang dunia secara organis. Ketika Eropa atau Barat diposisikan berdasarkan cara pandang sains yang memetakan subjek dan objek dalam posisi yang tidak setara, maka legitimasi Barat untuk menguasai atau menjajah Dunia Timur termasuk Indonesia sebagai salah satu negara yang terkategorikan negara berkembang kalau bukan negara miskin, adalah sesuatu yang absah dan menjadi keniscayaan sejarah.

Barat dalam posisinya sebagai subjek yang rasional menjadikan alasan ke-irasionalan bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin untuk melegitimasi penjajahan atasnya. Padahal kriteria rasional yang diyakini oleh Barat sangat berbau kepentingan kuasa dan otoriatarianisme. Bangsa-bangsa yang dijajah oleh Barat dituding sarat dengan praktik-praktik yang tidak ilmiah. Mereka berkubang dalam telaga tahyul, bid’ah, khurafat, mistik dan lain-lain kekayaan budaya non-ilmiah. Karena rasional, maka Barat mengklaim diri sebagai yang modern, sementara Dunia Timur adalah tradisional.

Masyarakat yang masih tradisional selalu identik dengan masyarakat yang bodoh karena legitimasi keilmuannya tidak membutuhkan pengabsahan dari institusi pendidikan formal yang terlembagakan dengan nama sekolah. Sekolahlah yang memegang legitimasi atau memiliki otoritas mengeksekusi kebenaran pengetahuan, sehingga pengetahuan-pengetahuan lokal dan khasanah kearifannya dinyatakan tak bernilai apa-apa kalau bukan omong kosong yang harus ditinggalkan.

Barat yang modern dengan semangat saintismenya mengobarkan perlawanan terhadap kebodohan yang disebabkan oleh ketidakpedulian terhadap sekolah. Bagi Barat, masyarakat yang beradab adalah masyarakat yang menghargai pentingnya pendidikan ala Barat, sehingga verifikasi batas-batas keberadaban suatu kaum atau masyarakat diukur dari sejauh mana tingkat apresiasi dalam bentuk aktualisasi produk materil sains untuk kemaslahatan dan kemajuan masyarakat. Sehingga masyarakat yang tidak kooperatif dalam menanggapi sabda Barat ini dengan sendirinya akan termarjinalkan dan terdefenisikan sebagai masyarakat yang belum beradab.


Catatan kaki:

1. Akhyar Yusuf Lubis, dekonstruksi Epitempologi Modern, 2006, hal.92
2. Ibid, hal.93
3. Donny Gahral adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, 2002, hal.31
4. Akhyar, op.cit., hal.27

Baca Selengkapnya...