Friday, October 10, 2008

Kutemukan Marx di Kampung

Temaram pelita minyak tanah itu sudah lama tak kulihat menerangi malam di ruang tiga kali lima berdindingkan pelepah gaba-gaba milik nenek. Anak-anak tak lagi berdesakan melantai di rumah tetangga demi menonton Ultra Man dan Kuuga. Bayangan itu mungkin masih ada apabila dunia tak secepat ini melipat waktu. Mungkinlah bisa kulihat sketsa hidup kesederhanaan komunal itu sepuluh tahun lalu atau lebih. Sekarang semua sudah berubah. Malam tak membunuh lagi dengan gelapnya. Anak-anak tak sekompak dulu dalam keorganikan perilaku. Mereka dihimpit egoisme televisi, playstasion, handphone, style punky dan gincu sana-sini

Ada teman yang memberitahu hal yang sedang bergeser itu. Pergeseran mengenai perilaku masyarakat di kampung. Ketika cabe dan garam sudah tak seperti dulu lagi bisa kita minta dari tetangga sebelah rumah. Ketika ada orang kaya baru yang sibuk buntutnya memamerkan kekayaannya di hadapan mata, padahal ia tetangga kita yang dulu sama-sama merasakan remuk redam hidup. Ketika setiap anak negeri ini yang dikirimkan orang tuanya menimba ilmu di seberang lautan sebagai prestise keluarga, banyak dari mereka semakin keblinger dan konyol dengan kepicikan pikirannya membawa masuk anarkisme nilai tanpa ba bi bu. Dunia moral dilabrak tanpa reserve. Yang ada tinggal puing-puing nalar kampungisme menjadi sabda sakral di batok apriori.

Perkembangan transisi ekonomi-politik beberapa tahun belakangan yang sangat drastis implikasinya atas tatanan kehidupan masyarakat secara makro di tanah air, terutama setelah muncul surga-surga baru di daerah pada masa desentralisasi ini, dalam skala ril di aras masyarakat kita terjadi banyak perubahan, terlebih pada hal-hal yang sangat tampak dan dekat dengan kehidupan keseharian. Desentralisasi pemerintahan yang membawa kabar baik secara konseptual bagi distribusi kesejahteraan secara egaliter yang bisa menyentuh seluruh sektor masyarakat di daerah, di kampung-kampung , kini dalam rupa keseharian masyarakat memperlihatkan ada yang match dari geliat tersebut. Ini bukan berarti justifikasi realisasi telah betul-betul terjadi, malah bisa dipastikan hal itu dalam kenyataannya masih jauh dari yang semestinya. Yang match dalam hal ini implikasinya mempengaruhi sampai kepada roda ekonomi lokal tingkat desa untuk, entah itu adalah efek yang menggairahkan kemajuan ataupun efek yang kontraproduktif.

Kampung yang masyarakatnya sebagian besar petani cengkih, kelapa, pala, buah-buahan, sagu, kabong kasbi, kaladi, patatas dan lain-lain non padi, kini mulai mengalami pergeseran mata pencaharian karena faktor harga pasar komoditas cengkih- pala yang kurang bagus, tak sebagus sebagai tanaman primadona incaran kaum petualang laut plus penjajah Belanda dan Portugis di abad ke-15 dan 16 dulu. Harga cengkih telah jatuh. Bahkan cengkih di Maluku pun sudah harus bersaing dengan tanaman cengkih di Jawa dan Sulawesi. Selain cengkih, harga pala pun selalu berfluktuasi disamping jumlah tanaman pala tak sebanyak cengkih, walaupun tanaman cengkih yang dimiliki oleh masyarakat Pelauw pun tak sebanyak yang ada di Pulau Seram dan Pulau Buru. Sagu sebagai sumber karbohidrat dan tanaman yang menjadi lumbung pangan pokok masyarakat Maluku jaman dulu dan sebagian jaman sekarang, kini jumlahnya sudah semakin berkurang. Tanaman sagu yang dimiliki oleh masyarakat Pelauw sekarang ini sangat sedikit dibanding sagu di Seram dan tempat lainnya. Bahkan sagu selalu didatangkan dari luar Pelauw untuk kebutuhan konsumsi di Pelauw. Sedangkan dibanding sagu dengan nasi, masyarakat Pelauw tampak lebih banyak mengonsumsi nasi ketimbang sagu. Ini berarti defenisi makanan pokok itu masih bisa didefenisikan ulang.

Masyarakat di kampung bercocok tanam kabong sebagian besar hanya bersifat subsisten, hanya demi konsumsi keluarga, bukan tujuan produksi mendapatkan nilai keuntungan ekonomis. Subsistensi inilah yang menjadi bagian dari sistem hidup agraris-komunalis-tradisional, membawa implikasi pada semangat hidup kekeluargaan dan non komersial. Pola ini bertahan pada masyarakat dan dalam perjalanannya menunjukkan interaksinya dengan faktor eks dari mobilitas ekonomi, sosial dan politik di luar masyarakat yang melingkupinya. Yang terakhir ini yang dimaksud di atas sebagai implikasi pervasifitas transisi kehidupan sosial politik beberapa tahun terakhir pasca Reformasi tahun 1998. Sekarang pola kehidupan yang tradisional dan komunalis mulai bergeser menuju masyarakat berwatak materialistis-modernis-individualistis.

Ternyata Karl Marx benar ketika menyatakan bahwa mind of man bisa dideterminasikan oleh faktor materi, yakni bagaimana keadaan produksi ekonomi yang mengkonstruk mobilitas welfare and wealth berperan sangat menentukan secara determinatif terhadap kesadaran, cara berpikir dan tingkah laku masyarakat. Jadi apa yang mereka persepsikan mengenai arti berperikehidupan sosial dan individual itu sangat dipengaruhi oleh seberapa intensnya persepsi dan harapan mereka terhadap masalah gilda reproduksi ekonomi. Bagaimana ketika cabe dan garam tetangga tak bisa lagi diminta begitu saja seperti dulu, tetapi kini harus dibeli di pasar. Lalu cara menilai sesuatu yang berkaitan dengan eksistensi manusia dan perikehidupan sudah tidak lagi pada hakikat kemanusiaan, sakralitas, substansial, ruh, akhlak alkarimah dan intersubjetivitas egaliter, namun kini lebih kepada aspek-aspek material, profan, performa, kulit, tampang, uang, jabatan dan standar sarjana.

Pada masa lalu masyarakat kita lebih banyak menjadi petani, nelayan, pedagang dan buruh, kita hal itu sudah bergeser. Sekarang sektor pertanian sudah kolaps. Ojek lebih banyak dan pasar telah ada. Artinya sektor jasa dan perdagangan mulai berkembang. Nelayan belum kolaps, hanya saja nasibnya kurang diperhatikan oleh pemerintah. Buruh pelabuhan masih tetap karena penghasilan darinya lebih menjanjikan. Selain jasa ojek, ada pula jasa speed boat yang memasang tarif lumayan mahal. Sementara di sektor formal, banyak sarjana dari Pelauw yang sudah lulus menjadi pegawai negeri, karyawan bank, pengusaha dan lain-lain. Kalau dibandingkan jumlah sarjana Pelauw yang sangat banyak itu dengan banyaknya sarjana yang telah mendapatkan pekerjaan itu memang masih berada pada tingkat rendah untuk rasionya. Namun jumlah itu sudah cukup beruntung jika dibandingkan dengan nasib masyarakat lain yang jumlah sarjananya sedikit.

Banyaknya orang Pelauw yang telah 'sukses' mendapatkan pekerjaan di sektor formal maupun non formal dalam batas tertentu membawa efek peningkatan income yang besar bagi tingkat kesejahteraan per keluarga di Pelauw, walaupun untuk yang terakhir ini keadaan itu belum merata. Ada keluarga yang dulu kelihatan biasa-biasa saja, (maaf) hidupnya pas-pasan, sekarang ini tampak sudah gemuk-gemuk, punya laptop, hp mahal dan anggota keluarganya bisa kuliah dengan fasilitas yang cukup bisa. Ini adalah fenomena yang tampak beberapa tahun terakhir ini. Di sisi lain, masih banyak keluarga yang karena kurang beruntung dalam hal pendapatan ekonomi untuk bisa membiayai anak-anaknya sekolah sampai tinggi-tinggi, kini harus tabah hidup bertetangga dengan mereka yang sudah beranjak makmur. Kemiskinan adalah fakta yang masih ada di tengah masyarakat kita. Sementara ada dua jenis kemiskinan, yakni kemiskinan alamiah yaitu kemiskinan karena secara alamiah tidak memiliki skill dan kecakapan memproduksi sesuatu yang bisa menghasilkan marjin kesejahteraan baginya, di sisi lain adalah kemiskinan struktural yang memang secara sengaja ada sistem yang membuat sekat-sekat yang menghambat peluang seseorang mengakses sumber-sumber produksi ekonomi. Orang yang lolos dari kemiskinan struktural ini biasanya mereka yang survival of the fittest.


Kesenjangan ekonomi dan kesejahteraan hidup di kampung itu akan menjadi suatu problem hidup karena banyak hal akan dipengaruhinya, seperti kecemburuan sosial, materialistik oriented, pendangkalan makna kehidupan dan kemanusiaan (dehumanisasi dan desakralisasi), masyarakat egoistik dan masyarakat konsumtif (fun, food, fashion) yang menjadi korban kapitalisme.

Baca Selengkapnya...