Tuesday, December 18, 2007

Elitisme Gerakan Mahasiswa Maluku

Pergerakan mahasiswa dan pemuda beserta komponen masyarakat sipil di tanah air dalam alur kesejarahannya yang panjang memiliki varian konteks fenomenal yang terkadang endemik dan dalam batas tertentu mejadi sebuah anomali yang dibiarkan. Salah satu topik telaah pada kesempatan ini adalah menyangkut eksistensi pergerakan dari bumi Maluku. Hal menyangkut fenomena elitisme gerakan memang jamak hampir di setiap konteks gerakan dengan latar belakang serta anasir kepentingan konstruktifnya yang beragam. Hal ini adalah fakta dan terkadang dalam batas tertentu menjadi batu ujian bagi sebagian kalangan gerakan yang mengambil alur aktivisme yang antagonis dengannya. Elitisme secara sederhana penulis maksudkan sebagai sikap kompromistik yang oportunistik dari para agen gerakan serta berkecenderungan mengaktualisasikan watak feodalistik dalam aktivitas individu dan organisasi serta berkedok hajat rakyat untuk sebuah interes kekuasaan berikut privilegenya.


Pertama, pengaruh dominasi etos mobilitas vertikal untuk kekuasaan sebagai sebuah trend. Bertahun-tahun sebelum pecahnya kerusuhan di Maluku pada tahun 1999, kaum muda Maluku tidak begitu terkenal apalagi intens dalam pengadvokasian kasus-kasus yang berkaitan dengan represifitas pihak penguasa kepada masyarakat. Hal ini bisa disebabkan rendahnya eskalasi konflik penguasa (ABRI) vis a vis masyarakat sipil bila dibandingkan dengan eskalasi problem serupa di tempat-tempat yang mengandung kapasitas penyulut konflik tersebut, misalnya konflik tanah dan perburuhan yang gregatnya melambung di Pulau Jawa dan daerah-daerah lain. 'Ketidakterlibatan' elemen pemuda (mahasiswa dan elemen masyarakat sipil) di tanah Maluku dalam konteks perjuangan seperti inilah yang menyebabkan menguatnya kecenderungan aktivisme kaum muda menjadi 'nyaman' dan bergelimang kesentosaan yang berpotensi menjadi menjadi 'kaum bungkam' dan pro status quo. Bisa dibayangkan hal ini yang terjadi dan berlangsung dalam setiap organisasi elemen kaum muda di sana dalam waktu yang relatif lama bisa menyebabkan munculnya budaya aktivisme yang elitis. Kondisi seperti ini dalam konteks pada waktu itu sangat positif dan terasa konstruktif bagi pihak penguasa, namun di sisi lain adalah sebuah kemunduran besar bagi pergerakan kaum muda. Memang tidak ada salahnya memasuki kanal-kanal politik dan birokratis yang disediakan oleh iklim kehidupan politik pada saat itu. Namun dengan tanpa komitmen yang senantiasa harus dikuatkan untuk pengimplementasian peran-peran transformatik bagi pemenuhan hak-hak rakyat yang kala itu tergasak segenap hak sipil-politik serta EKOSOB-nya oleh penguasa secara sistemik, maka progresifitas kaum muda dalam kanal kanal yang have blessed menjadi tarian akrobat yang memalukan.

(bersambung)





Baca Selengkapnya...