Sunday, October 11, 2009

Bekerja sebagai identitas kultural

oleh: Rus'an Latuconsina

Pernah suatu malam, aku duduk di kamar bersama seorang kawan dari kampung yang sama. Dia lebih tua dariku. Aku memanggilnya abang. Sudah beberapa tahun menjadi sarjana namun belum bekerja. Kami berdiskusi mengenai banyak hal. Mulai soal buku, persoalan filsafat, masalah agama, sampai pengalaman abang ini selama bertualang di Jakarta. Persoalan politik nasional dan daerah kami di Maluku pun kami diskusikan sampai waktu dini hari, termasuk masalah remeh-temeh yang pernah kami alami.

Diantara masalah yang remeh-temeh itu ada satu hal yang masih membekas dalam benak kami sebagai sesuatu yang perlu diluruskan, sebab sampai sekarang hal itu masih menjadi konsumsi fatal masyarakat di kampung kami. Boleh jadi hal ini pun berlaku di tempat-tempat lain. Bahwa ada konstruksi nalar di tengah-tengah masyarakat yang menunjukkan ukuran kemanusiaan seseorang itu dilihat dari ada tidaknya pekerjaan. Ketika seorang pemuda telah memperoleh pekerjaan maka menurut cara berpikir dan justifikasi eksistensial di atas, orang tersebut sudah "menjadi manusia". Jadi ada semacam reduksi makna kemanusiaan, diturunkan dari totalitas nilai-nilai arkhaik universal kemanusiaan meluncur tergerus menjadi seonggok identitas mekanis: pekerja! Seolah-olah hal kenyataan sebaliknya adalah kutukan yang tak terobati sebagai luka sosial.

Bekerja adalah suatu kebaikan. Karl Marx mengatakan bahwa dengan bekerja, seseorang dapat merealisasikan keberadaannya di dalam struktur sosial kapitalisme industrial. Bekerja dapat mencegah seorang buruh dari alienasinya ketika marjin keuntungan atau nilai lebih dari satuan barang yang diproduksinya itu bisa dibawa pulang sebagai upah yang rasional kompatibel dengan jumlah jam bekerja. Bekerja adalah praktek pembebasan menuju humanisasi. Sama halnya dengan Max Weber yang mengatakan bahwa bekerja adalah suatu aktivitas yang berdimensi ruhaniah. Bekerja berarti memproyeksikan secara progresif visi surgawi di atas bumi. Bekerja adalah tindakan bermotif ekonomis sekaligus berdimensi sosial, budaya, politik dan etis. Berarti bekerja adalah kegiatan yang konstruktif bagi kehidupan.

Bekerja dalam pengertian standar di atas adalah soal yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Namun yang menjadi masalah adalah pemaknaan bekerja oleh masyarakat yang mulai digeserkan dari sekedar istilah fungsional menjadi istilah khusus yang menitik beratkan pada apresiasi sepihak dimensi prestise kultural. Bekerja sudah dilihat melampaui standar-standar pemaknaan asalinya. Bekerja bukan lagi sebagai bekerja , akan tetapi sudah menyangkut desakan pemenuhan hasrat akan pengakuan publik atas dirinya. Bekerja sudah kembali menjadi arca-arca urba yang disembah tanpa reserve rasionalitas dan originalitas.
Kami lalu meneruskan diskusi malam itu untuk menggugat makna di balik jargon masyarakat kami yang berbunyi: "menjadi manusia itu ketika menjadi PNS, kalau bukan PNS, seseorang haruslah mejadi pekerja berduit super banyak, supaya bisa diakui sebagai manusia"

Baca Selengkapnya...

Monday, March 02, 2009

Globalisasi dan Sikap Kita

Globalisasi seperti kisah Sisipus dalam karyanya Albert Camus, seorang pemikir nihilisme dan sekaligus eksistensialis. Sisipus berusaha mendorong batu yang besar sekali dari bawah menuju puncak gunung. Berulang kali batu itu menjilati gunung menuju ke atas, selalu saja Sisipus gagal meraih puncak, karena kekuatannya tak sebanding daya berat batu itu. Akhirnya pekerjaan sebagai kutukan dewa baginya itu tak pernah tuntas (ini di luar konteks makna eksistensialismenya menurut tafsiran Camus).

Kisah sisipus di atas tidak jauh beda dengan globalisasi. Globalisasi, sederhananya adalah ketika realitas dunia sudah menjadi 'kampung global' seperti kata Marshal Mc Luhan. Tidak hanya ekonomi, bahkan globalisasi menghendaki integrasi secara global tatanan baru politik, sosial dan budaya masyarakat dunia.
Ekonomi dunia dipaksa berintegrasi kedalam agenda neoliberalisme, yang ditandai dengan liberalisasi perdagangan dunia, privatisasi aset-aset kekayaan negara-negara pro Neolib dan Restrukturisasi demi penyesuaian metodologis sesuai logika Neolib. Salah satu bentuk privatisasi yang dekat dengan kita adalah privatisasi pendidikan dengan diundangkannya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) pada 17 Desember 2008 kemarin, dimana pemberlakuan BHP mengarah pada komersialisasi dan privatisasi pendidikan sebagai satu langkah integrasi kedalam agenda neoliberalisme, AGENDA GLOBALISASI.

Demokrasi liberal sebagai payung politik agenda neoliberalisme saat ini sedang mengglobal pula. Dengan dalih utang luar negeri, kemerdekaan politik setiap negara dihantui momok politik global yang bernama demokrasi. Kita selalu ingat dengan standar ganda Amerika Serikat dan negara Barat (representasi Dewa penyelamat dunia) mengenai demokrasi dan politik (stick and carrot policy). Omong kosong bicara demokrasi untuk rakyat, globalisasi untuk rakyat, kalau negara-negara (yang diidentifikasikan) dunia ketiga masih tergantung secara ekonomi dan didikte secara politik.

Demokrasi (liberal) yang ada di negara kita pasca Reformasi '98 menghasilkan Oligarki dimana kekuasaan direpresentasikan bukan oleh kedaulatan rakyat yang sesungguhnya, akan tetapi oleh perselingkuhan elite penguasa dengan pemilik modal. Demokrasi tidak untuk rakyat, kata Eko Prasetyo.

Di dalam kampung global itu, arus informasi yang kencang mengangkangi batas negara, budaya dan etnik itu menciptakan masyarakat anonim yang eksistensinya ditawan semacam candu yang bernama HIPERREALISME (lihat Jean Baudrillard). Hiperrealisme ini sedang menikam budaya kita.

Lalu sikap kita sebagai kaum cendekiawan bagaimana? Apakah dengan menggandeng prestasi tinggi lalu masalahnya selesai? Apakah kita hanya memakai Nalar instrumental-Bertujuan (lihat Jurgen Habermas) dalam memaknai realitas? Kupikir realitas tak sesederhana juntaian daun pinus.
Apalagi dunia yang tengah diendus bangkai krisis ekonomi global ini disinyalir dihegemoni oleh segelintir Transnational Corporation (TnC) dan Multinational Corporation (MnC) dan forum Ekonomi Global yang merepresentasikan hegemoni Barat sebagai 'dewa global'. Kisah mitologi sisipus di atas bisa memberikan gambaran bagaimana negara-negara 'dunia ketiga', termasuk Indonesia, tengah dikutuk oleh oleh 'dewa global' untuk memaksa diri menjilati gunung global. Dewa-dewa global itu sudah menikmati istana megahnya di puncak gunung dengan kekuatan ekonomi dan politiknya, sementara sisipus tak berdaya menggulingkan batu pondasinya ke atas. Realitas yang tidak seimbang dalam globalisasi.

Baca Selengkapnya...

Tuesday, November 18, 2008

Ceracau Demokrasi

Ada dua hal yang ingin saya tuliskan mengenai demokrasi. Secara umum konsep demokrasi sudah banyak yang diulas orang panjang lebar. Tulisan ini hanya sekedar ceracau. Ceracau menurut saya karena tulisan ini seperti orang sedang meracau. Jadi tulisan ini menghendaki permakluman yang banyak dari siapapun yang membacanya. Pertama, demokrasi sebagai produk kultural renaissance & revolusi prancis pd bbrapa abad lampau, adlh suatu konsep dan sistem politik yg pd masa itu posisinya sprt messiatic ideas, inspiration of freedom bagi rakyat di eropa yg pd masa itu sdang dirundung tirani feodal. kehadiran demokrasi dipercaya akan ampuh dan memang terbukti keampuhannya menggulingkan sang tiran king Louis beserta Bastille Prison-nya. So, ketika pada masa sekarang, ide, konsep dan sistem demokrasi yg berakar pada dinamika sosial politik eropa masa lalu itu kemudian ditemukan banyak aspek anomali dan kerancuannya dengan ukuran2 zaman kini, maka pertanyaan yg muncul adalah apakah adil bagi kita yg hidup di masa sekarang dengan kekompleksan konteks sosial historis, sosial politik dan sosial kebudayaan beserta dinamika peradabannya untuk menghakimi sebuah ide, konsep dan sistem politik yg pada masanya(abad ke-17M dan ke-18M)sempat menjadi ide, konsep, dan sistem messiatik (pembebasan) yg populer bagi rakyat secara umum di eropa dan kemudian di amerika saat revolusi amerika serikat di dekade kedua abad ke-18 itu?

Apakah tepat bagi kita untuk menghabisi sebuah kecanggihan (demokrasi) pada masanya dengan standar kecanggihan masa kini? Apakah tdk ada kemungkinan penafsiran ulang demi penyesuaian peri kehidupan untuk mengisi kekosongan akibat gap sejarah yg kemudian melahirkan bias euro anglo saxon dlm penguniversalan agenda demokratisasi atas para nation state yg menggandrungi demokrasi pasca perang dunia II itu?Nyatanya memang skarang ini kan telah terjadi adaptasi konsep demokrasi yg bisa disesuaikan penggunaannya, walau untuk hal ini pun masa ada saja bias anglosaxon democracy, contoh nyatanya adalah ketika indonesia selalu didikte cara memakai 'busana' demokrasi gaya koboi. padahal demokrasi secara teoritis bisa dicarikan sari interpretasinya dari langgam kultural lokal asli made in indonesia saja. namun begitulah sisi anomali demokrasi modern, arogan dan seolah2 benar.

Kedua
,demokrasi secara teoritis, oleh Aristoteles dikatakan sebagai konsep politik yg amat buruk, sekelas jeleknya dengan model tirani dan oligarki. yg terbaik menurut Aritoteles adalah model politik aristokrasi, kerajaan dan polity. Pilihan Aristoteles atas model kerajaan, aristokrasi dan polity adalah sebagai hasil refleksi filosofis atas konteks sosial politik Athena masa itu yg sedang dirundung nasib sial kehancuran oleh rezim militeristik sparta pada perang panjang Pelopenosse antara Athena dan Sparta. Athena kalah dan kekalahan itu diratapi oleh Aristoteles dengan mengutuk model demokrasi sebagai yang mendasar dlm sebab-sebab keruntuhan Athena. Sebelum keruntuhan itu Athena sementara mempraktekkan model democratic langsung. Jatuhnya wibawa demokrasi pada masa itu kemudian terbalik lagi ketika demokrasi diapresiasi kembali oleh massa rakyat tertindas di eropa di bawah para punggawa intelektual seperti Jhon Lock,Rousseau, Montesquie dll. Ketika demokrasi di abad ke-20 dan 21 dijadikan 'agama' politik global oleh Amerika Serikat dan komplotan baratnya secara hegemoni dan intervensi atas negara-negara lain yang secara ekonomi sangat lemah,maka demokrasi kemudian teridentifikasi sebagai bagian dari akar penyebab ketidakadilan sistemik yg mengglobal ini. Carut-marutnya dunia akibat homogenisasi bangsa-bangsa melalui demokrasi barat menjadi alasan kuat penolakan dan perlawanan atas demokrasi. Kalau demokrasi pada abad ke 20 dan 21 menjadi bagian dari biang kerok kerusakan tatanan peri kehidupan manusia di dunia, maka hukum siklus sejarah kapitalisme sebgai saudara kandung demokrasi barat (liberal)tampaknya akan berlaku seperti ditulis oleh Ernest Mandel dan David Gordon mengenai teori longwaves dimana periodesasi pertumbuhan yang tinggi (boom) selalu diakhiri dengan krisis (burst)dan terjadi berulang-ulang dalam jangka waktu tertentu.Perkembangan kapitalisme selalu seiring dengan perkembangan saudara kandungnya demokrasi (liberal). Bisa juga dikatakan demokrasi (liberal) membutuhkan substrat kapitalisme untuk mengembangkan diri. Akhirnya efek destruksi itu berpeluang memunculkan antitesis sistem alternatif yang bisa menawarkan tata dunia yang lebih baik. Wacana dan perjuangan Sistem Khilafah Islam yang diusung sebagian umat Islam (HT)bisa dibaca sebagai tawaran alternatif atas kebobrokan sistem demokrasi(liberal)barat saat ini.Sebuah tawaran di antara kontestasi banyak tawaran alternatif yang sementara diperjuangkan umat manusia di muka bumi. Mulai dari sosialisme dengan berbagai versi sampai anarko sindikalisme dan anarko komunis. Apakah dengan fenomena ketidak adilan dalam sistem yang berparadigma demokrasi (liberal)barat ini kemudian menjadi pembenaran bagi penghakiman demokrasi sebagai ide, konsep dan sistem politik yang sudah pantas dikaramkan di lautan atlantik? Ataukah jangan sampai kesalahn itu terletak bukan pada tataran teoritisnya akan tetapi itu merupakan kesalahan implementasi ketika sebuah konsep yang canggih tidak siap diterima dan dipraktekkan menjadi sebuah sistem pemerintahan, kesalahan itu terletak pada belum matangnya budaya politik warga negara? Wallahu a'lam

Salam anak muda...
masukkan saja konsep Demokrasi Liberal itu ke dalam kloset

Baca Selengkapnya...

Saturday, November 01, 2008

Anarko Hutan Rakyat

Terkadang orang salah mempersepsikan konsep anarkisme. terkesan chaotik,lawless etc... anarkisme sdh mnjadi mainset sebagian dari sejarah sosial d beberapa t4 d eropa n latin ameriko,dia berkembang memang berdasar lokus konteks sosial politiknya di sana. walau begitu, adopsi tdk jd soal, karena di mana2 itu adlh lumrah saja. anarkisme hijau misalnya, mirip2 dngn konsep community forestry(CF) d filipina n indonesia (but bukan a la HKm yg reduktif n pemerintah bangget itu, hehee...) CF d indonesia masih malu2 kesannya u/ diterapkan. pemerintah masih mendua. karena blundernya pada soal alas hak atas lahan (tenure compleks ). di chiapas meksiko lebih maju karena domain hutan n lahan dipagari betul dri pemerintah. di situ tak berlaku aturan pemerintah.uniknya, mereka bisa mengelolanya dng baik, kerusakan tdk bakalan krn tak ada akses korporatokrasi ke dalamnya. tak seperti di indonesia, pemodal main babat sana sini, pemerintah yg kuatkan legalitasnya, lalu rakyat pemilik negara ini tersisih, miskin2. hancurnya lagi, kelas intelektual (teknokrat, akademisi)menjadi selingkuhannya, hahahaaaaaa.....

Anarkisme pada prinsipnya adalah anti sistem, anti aturan, anti birokrasi, anti yang namanya keberadaan pemerintah. bukan berarti amburadul. Anarkisme memang begitu. Biar begitu, ada mekanisme yg dibangun sendiri secara internal untuk 'meregulasikan' solidaritas mereka atas sektor produksi ekonomi dan keegaliteran sosialnya tapi berbeda dng realitas birokratisme dan instrumentalisme yang umum. konteks kehutanan indonesia, sejarah membuktikan bahwa banyaknya regulasi dari pemerintah sejak tahun 1960-an sampai sekarang dlm bidang kehutanan selalu saja memarginalkan komunitas rakyat penghuni hutan, padahal secara hukum adat hampir setiap jengkal tanah di indonesia ini sudah terbagi habis buat rakyat.kasus Dongi2 Sulteng, kasus batas lahan Kepong Damar Lampung,Jambi, Kaltim, dll adlh bagian dari potret pemarginalan rakyat oleh pemerintah. banyaknya regulasi itu lebih kepada pelayanan yg manis kepada pihak pemodal hutan, tambang dan kebun sawit. mono interpretasi hak domain lahan menjadi sindrom akut yg diidap oleh pemerintah sejak dulu sampai sekarang.

Maka berikan saja hutan itu kepada rakyat, kepada komunitas adat biar mereka sendiri yg menentukan masa depan bumi dengn kearifan2 konteks lokalnya tanpa aturan pemerintah. sok modern-nya pemerintah dng dominasi tools, instrument n positivical methodic-nya sebenarnya yg mendesakralisasikan alam yg ujung2nya petaka yg d saat sekarang baru (seolah-olah) muncul policy, regulasi dan proyek baru untuk me-re... setelah meng.... anarkisme memberi arti bahwa komunitas adat dan rakyat yg menghuni dan memanfaatkan hutan di tanah air sebenarnya tdk membutuhkan negara ini. Tdk adanya negara, hutan dan kehidupan mereka yg harmonis dng alam tetap mesra dalam kearifan. Akan tetapi fakta memberi kita pelajaran bahwa semenjak ada negara, lembaga sosial kultural rakyat didekonstruksi menyeragam dalam monokulturisme feodal Jawa. Tanah dan hutan yg menjadi langgam hidup rakyat direbut dng power oleh negara atas nama pembangunan. so,kehadiran negara berarti ancaman bukan rahmat bagi rakyat.Karena itu, (jangan terburu-buru, hehe...) bubarkan NEGARa ...?

Baca Selengkapnya...