Saturday, May 12, 2007

Sentilan Kapitalisasi Tubuh


Kata orang, masa yang paling melelahkan adalah ketika seseorang belum melepaskana masa lajangnya. Entah berapa usia standar yang biasa dijadikan bahan mengelak bagi yang menjomblo untuk menampik lembut: Aku belum siap! Diperlukan kesabaran di atas nominal untuk sekedar melupakan semilir sapa yang menggugah hasrat. Mempersiapkan perisai hati agar tegar dan enjoy melupakan kembang-kembang peradaban yang tak henti mekar merampok suasana nyaman berjomblo.

ABG alias anak begitu gagah, anak bapak gaul, anak banyak gaya, anak baru gede dan seterusnya akronim yang merujuk kepada kalangan remaja yang belum menikah. Sebagai konsekuensi pencitraan yang buruk, ABG selalu diasosiasikan dengan generasi boleh coba semua, kenakalan yang enerjik dan citra negativ lainnyaĜ² termasuk free sex, narkoba dan pangsa pasar kapitalis yang subur. Kecengengannya telah membuat para desainer produk kapitalis kreatif mengakomodirnya untuk memuaskan hasrat konsumeris serta menambah akumulasi keuntungan pada brankas-brankas kapitalis. Ia adalah bagian dari kehidupan kita, bahkan mungkin diri kita sendiri. Karena masa kini adalah masa coba-coba dan kecengengan sebagai senjata apologi yang ampuh untuk menekuk norma merobek titah, maka siapapun di dunia ini takkan mampu merintangi jemari mungilnya menjamah segala yang sorotan matanya sempat menyapanya. Dialah si ABG yang dalam kenyataan sosial sebagai kontestan yang paling besar jumlahnya memainkan peran yang sangat signifikan dalam bahtera umat. Masa depan umat akan berpindah secara estafet ke pundak-pundak mereka, karena itu pre-determined dalam mengawal dan membina spesimen umat ini menjadi tugas generasi non-ABG yang sangat berarti bagi deskripsi masa depan.

Memupuk Tauhid Sedari Hijau

Libido yang mengekang sebagai neuropatologis bagi setiap orang, khususnya ABG menjadikan pilihan-pilihan terapi psikologis dan mental menjadi pilihan altertnatif menjaga kesucian diri. Libido dapat membuncah menjadi energi yang destruktif atau dapat dijinakkan dan diarahkan kepada saluran-saluran yang potensial membakar dinamisasi dan progresivitas kreatif untuk tujuan-tujuan kampanye cinta dan ideologisasi pemaknaan cinta. Cinta yang dipilin energi spiritual mampu mengepakkan sayap Attar, berkontempelasi menguak tirai kefanaan, hingga sang Musthafa berkenan mengurai seloka Majnun yang berkubang dalam ketakberartian tubuh. Bukan cinta eros yang diidamkan sebagai sang pengemban titah luhur. Cinta yang picik.

Masokisme sebagai gejala psikologis Freudian yang menikmati suasana ketertindasan diri. Masokisme membawa sifat erotisme yang terpulaskan. Ia apatis atas setiap eksploitasi yang mampir. Sifat ini bisa dilacak pada sifat kekanak-anakan dan pemujaan tubuh oleh generasi ABG, tentu dengan tidak menjeneralisir persoalan. Masokisme bersetubuh dengan sifat narsisme yang mengidolakan keindahan dan kegagahan tubuh, baik gadis maupun perjaka, nona ataupun nyong. Centil, genit, seksi menjadi magnet ketika kenikmatan erotis menjadi candu dan memerlukan polesan-polesan bedak penanda ke-ABG-an. Sirnanya kesadaran diri tatkala memimpikan pendefenisian yang menggiring kepada dominasi makna eksistensial oleh si penikmat (tubuh) kepada pemilik tubuh. Didefenisikan dengan pengamatan berarti sirna nilai-nilai eksistensial kemanusiaannya.

Tutup auratmu, Aku Pria Normal

Tauhid sebagai pandangan hidup muslim senantiasa mengatur dan mengurusi serta menjelaskan tentang segala sesuatu yang melingkupi kehidupan manusia, mulai dari doktrin dan konsekuensi materil dan eskatologis syahadat, hingga problematika generasi muda seperti pacaran, trend berpakaian dan lain-lain cakupan secara universal. Mode berpakaian yang kini digandrungi sebagai kemenangan neoliberalisme mereformasi diri dalam pudaran kontestasi tanda yang sarat persaingan itu berefek, baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap kondisi umat Islam yang hidup dalam dunia yang penuh paradoks ini. Dari sisi tafsir ideologi Islam, hal ini membawa mudharat dan turut memperkeruh kesyirikan karena mengikatkan diri pada mode atau hasrat untuk memiliki sifat-sifat haywaniyah.

Zahra Rahnavard dalam bukunya Pesan Pemberontakan Hijab (2001) berusaha membangunkan ketiduran yang melenakkan bagi kaum muslimin, terutama kaum perempuan sebagai yang paling banyak jumlahnya. Dari ketidaksadaran bahwa ketidaksterilan interaksi antara kaum muslimin dengan budaya Barat, terutama komoditi ekonomi dan budaya produk kapitalisme menyebabkan terjadinya penyerobotan dan eksploitasi tanpa batas atas tubuh dan sensualitas perempuan. Ketika kaum perempuan memandang dengan penuh kekaguman dan menimbang bahwa kebangggaan memiliki tubuh yang indah dan sensual mesti mendapat apresiasi bebas bertubuh, kemudian tak ada batasan dan pengekangan atas kebebasan mengekspose dan menampakkan aura kemolekan dan kesuburan produksi tanda kecantikan yang mempesona, pada saat yang sama ada senyum tersembul dan gelak tawa penuh suka cita sambil terkekeh-kekeh dari pemilik merek-merek impor. Mereka sambil menyandarkan tubuh buncitnya di atas sofa empuk sambil menikmati tayangan layer kaca betapa bodoh dan mudah dijadikan sasaran produk kapitalis, masyarakat dunia ketiga. Perempuan direduksi maknanya menjadi sekedar sosok bertubuh indah dan mengandung potensi sensualitas yang laku untuk dikomodifikasikan.

Pesan yang disampaikan oleh Zahra Rahnavard kepada seluruh muslimah dengan retorikanya yang agitatif tentang peranan hijab dalam perjuangan melawan penghisapan dan penindasan kaum kapitalis-kafir, seakan menampik standar apriori yang menyudutkan posisi dan kelemahan kaum perempuan di tengah arus globalisasi yang semakin pervasive. Kaum perempuan (muslimah) harusnya menyembunyikan kemolekan dan keseksian tubuhnya yang pada dasarnya tidak halal menjadi konsumsi publik itu di balik hijab atau jilbab. Dengan proteksi semacam ini minimal segmentasi produk kapitalisme akan hengkang mencari celah yang lain dan bukan celah eksploitasi dan kapitalisasi tubuh, atau bahkan secara radikal menutup segala celah masuknya komprador kapitalis dalam dimensi social-kulturalnya dengan mekanisme proteksi yang baru.

Potensi sadisme yang intrinsik dalam kapitalisme modern membawa dampak yang menggila terhadap tatanan mikrokosmos (manusia) dan keteraturan makrokosmos (alam sejagat) baik secara langsung maupun sebagai efek domino secara holistik. Sadisme termasuk gejala nekrofilik Freudian yang bersorak-sorai kegirangan, mendendangkan genderang kepuasan tatkala menikmati parodi penindasan, eksploitasi, objektifikasi dan sebagainya yang sedang diratapi oleh orang lain sebagai objek sadisme. Kapitalisme ibarat sang kaisar yang menikmati penaklukan terhadap komunitas masyarakat yang anti takluk dan tekuk di bawah singgasananya. Ia akan meluap perasaan bahagianya ketika dijuluki sang penakluk yang berjiwa macan, sukses membunuh manusia-manusia yang 'bandel', tidak penurut. Semakin besar efek dan sasaran kerusakan yang timbul, semakin membuatnya berbahagia. Kapitalisme yang hegemonik dalam menguasai pangsa pasar ABG yang tersebar dalam jumlah yang sangat besar ini semakin membuatnya puas dan kepuasan yang pertama ini tidak akan mencukupi akibat hasratnya yang tak terbendung atas akumulasi modal.

Tauhid sebagai paradigma muslim dalam menggauli kehidupan adalah perisai luhur untuk mengadvokasi individu dan umat dari segala bentuk dan manifestasi kesyirikan. Kesyirikan mengejawantah dalam anasir dan manifestasi yang beragam. Termasuk kecentilan, keseksian atau pamer erotisme tubuh, masa muda masa coba-coba dan lain-lain yang menempatkan hawa nafsu sebagai tujuan utama atau tujuan sesaat menikmati usia muda sebagai ABG. Padahal sejatinya rel yang mesti digerbongi adalah sebagaimana petunjuk-petunjuk Ilahiah yang suci (al Qur'an dan al Hadits) yang telah memberikan titik terang batasan antara kebolehan berekspresi dan ketidakbolehan pacaran, berpakaian minim dan ekspresi lainnya.



Baca Selengkapnya...