Tuesday, January 29, 2008

Beginilah Pilihan

Aku selalu bingung. Bingung kalau ingatanku menoleh lagi. menengok arsip perkaderanku di HMI (MPO). Selama ini aku mencari wadah pelarian. Mencari penyambung aspirasi dan nalar berorganisasi. Mencari kesibukan lain. Asal jangan urusan hijau hitam. Aku kadang merasa bersalah. Sering pula jengkel. Bersalah dan jengkel berganti-ganti. Tergantung mood dan cuaca apa di tamalanrea. Tahun lalu aku dipecat di HMI. Yaa dipecat bukan lantaran tindak kriminal. Bukan karena aku menjual HMI untuk proyek. Bukan pula karena aku merampok kekayaan harta HMI di tangan bendahara. sekali lagi bukan karena aku korupsi. aku dipecat dengan dalih yang lucu dan tolol. Aku dipecat dengan argumen yang bagiku contradictio in terminus. Aku dipecat pada Februari 2007.


Mula-mula aku tidak begitu terbebani dengan masalah ini. Tidak terbebani lantaran pada saat itu aku ikuti langkah kawan-kawan se-gerbongku. Langkah yang bagiku pula terlalu naif karena menolak melakukan banding sebagaimana mekanisme dalam konstitusi Kongres Palu. Saat itu aku ikut termakan euforia yang nantinya kebablasan juga di bilik tahun berikutnya. Aku betul-betul bingung. Batinku komat-kamit ingin meludahi dua carik kertas SK pemecatan itu. SK pemecatan yang argumennya teramat lemah. Kentara sekali aura pertarungan dan intervensi kepentingannya. Ibarat skenario drama, bagiku keputusan pemecatan itu sudah di tangan tinggal dicari alasan-alasan dan rasionalisasi ini itu sampai dengan Tim Investigasi (seperti kriminal di TV). namun itu hanya untuk menjadi bahan penguat keputusan yang sudah dipatok itu. sebenarnya waktu itu mau kuajukan surat bandingku ke sana (sekrettariat tempat SK itu keluar). Tapi lagi-lagi aku termakan euforia kawan-kawan yang salah perhitungan menolak banding .Akhirnya memang betul, yang namanya hitam di atas putih harus di-counter pula dengan hal serupa, bukan dengan cara verbal. Akhirnya setahun telah berlalu.


Aku masih bersikukuh akan kelemahan SK itu. Tapi apa daya SK itu masih tetap berlaku kekuatan hukumnya. Masih legitimate atas status keanggotaanku yang dicabut. Satu-satunya cara untuk kembali menjadi anggota HMI sesuai konstitusi adalah ikut BasicTraining ulang. kembali mulai dari nol setelah empat tahun menjadi kader. aku yakin SK itu sangat lemah, namun rupanya dugaanku terbukti. Karena wacana sengketa kepentingan membuntuti tragedi pemecatan 13 kader aktif termasuk.aku. kupikir dipertimbangkan untuk didaftarkan ke MURI sebagai prestasi memecat kader. Tepuk sorai dan gegap gembira harus mengiringi totolan stempel pengesahan pemecatan itu. Pemecatan yang tendensius tanpa teguran keras keq, tamparan awal keq, langsung saja main sikat, PECAT...!!!! aku teringat kisah kaum Yahudi dalam literatur yang pernah kujumpai. Bahwa untuk mereka, syari'at Musa as menjadi niscaya tegas, kaku dan 'sadis'. Cara bertobat saja harus bunuh diri. begitulah nasib yahudi yang sangat kaku dalam memvonis. lain Yahudi lain Kristiani. Isa as mengemban risalah kelembutan, kasih... Muhammad saw sebagai al wasath, antara keras, tegas, 'sadis' dengan kasih dan kelembutan.antara syariat Musa dan syariat Isa. batinku meledek, bukankah syariat Musa sudah kadaluarsa..? masihkah cara itu ada dan dipraktikkan di zaman postedan ini..?


Waktu terus berputar.... Kongres Palu pun telah berestafet ke Kongres Jakarta Selatan beberapa bulan lalu. tentu aku ahistoris kini dengan konstitusi baru. Namun itu tak menjadi soal. oleh karena pemecatanku menggunakan konstitusi Palu yang sebenarnya saat itu aku menjadi intens mengkajinya, terutama yang berhubungan dengan soal-soal kepemecatan, kestatusanggotaan dan pendirian sebuah cabang HMI yang baru. untuk yang terakhir inilah alasan aku dipecat. Sayang...aku dipecat lantaran mendirikan sebuah cabang baru. aku dipecat gara-gara HMI Cabang Makassar Raya dideklarasikan pada Februari tahun kemarin. mudah-mudahan ada yang membaca tulisan ini kemudian melaporkannya kepada si Mr. Pecat. Tapi masalahnya pecat itu sudah basi. orang sudah bukan anak HMI koq!!! bisakah non anggota HMI dipecat lagi..? kayak ORBA saja. lawan asas tunggal siap penyok diinjak sepatu laras atau di-PulauBurukan. mendirikan sebuah cabang HMI untuk memperluas jaringan HMI itu sendiri malah di'Boven Digoel'kan. Bingung.... Kalau begini jadinya, maka aku mendapat sebuah pelajaran nyata. Bahwa manusia, siapapun orangnya belum tentu adil dan arif bijaksana dalam sikap dan apalagi sebuah keputusan. Walau dia sendiri terlampau yakin akan keadilan dan kebijaksanaannya. Karena kuyakin bahwa pelajaran ini mengajariku satu hikmah. Bahwa keadilan dan kebijaksanaan yang dijamu kepada kita kebanyakan hanyalah imitasi. Dacing simulakrum. Biarkanlah hal ini menjadi guru berharga bagiku...Semoga kawan-kawanku yang masih aktif di HMI tidak dipecat lagi lantaran berbeda pendapat dengan pemegang kekuasaan. Lawan otoriterisme di mana saja...! Sappere aude...!


.

Baca Selengkapnya...

Tuesday, January 15, 2008

Bisik Betuah Ibu

Wajah dan rambut ikalku senasib. Kering. Pakaianku lusuh, jarang mandi sore dan puasa banyak kali dalam tiap pekan bukan demi menghidupkan sunnah, namun karena kere. Dompet hanya tinggal sisipan kartu anggota sebuah organisasi kemahasiswaan ternama di kota ini serta kartu mahasiswa yang tinggal sepotong saja melengket tak terurus bersama KTP. Uang habis. Memang sudah menjadi tradisi pemakaian uang kiriman dari kampung, tak lama saat kukeluarkan beberapa lembar pecahan uang kertas di ATM, aku bergegas ke toko buku dan kutumpahkan nafsu bacaku di sana dengan tanpa pikir panjang, kusetor bayaran beberapa buku dan aku bergegas menuju kamar kost. Biasanya lebih setengah jatah kirimanku ludes di toko buku. Aku kecanduan, tak bisa kutahan hasrat itu. Selalu kurasa puas kalau telah mendapatkan buku. Buku dan buku itulah targetku. Targetku membaca sebanyak mungkin buku di kota yang telah lama kuhirup udaranya. Daun pintu menderit, kubuka pintu kamarku lalu tubuh yang kehujanan saat pulang ini madah hingga terlelap di atas tikar pandan yang kubiarkan pasrah di lantai. Aku terkejut bangun saat seseorang mengetuk pintu, kebetulan tetangga sebelah yang mengingatkan kalau sudah magrib. Tanpa mandi, kubasuh muka dan menyikat gigi, kusempatkan berwudhu di kamar mandi lalu bergegas ke surau yang tak jauh. Aku berjamaah seperti telah rutin. Di luar surau rintik hujan meniris atap satu-satu. Saf jamaah lurus dan henyuk dalam zikir dan doa. Shalat maghrib usai. Aku merenung dan pikiranku melayang ke pendulum waktu enam tahun kemarin. Hayalku terpancing. imajinasi meliuk liar. Memoriku berusaha membalik lembaran hidupku yang tidak begitu istemewa, biasa-biasa saja seperti orang kebanyakan.


Rumah tua itu selalu hening di malam hari. Lampu balon kuning sekedar tak membuat penghuninya meraba bak gua hantu. Ala kadarnya. Rumah peninggalan kakek yang dibangun pada masa kolonial Belanda dahulu. Ruangan berlantai tanah liat yang dipadatkan dan memilki tiga kamar yang masing-masing dihijabi tirai pintu dari kain bermotif bunga persik, menjuntai lurus tak bergeming. Dapur yang mengandalkan kayu bakar untuk mengepul berukuran lebih besar sedikit dari ukuran kamar kostku sekarang. Aku tinggal saat itu bersama kedua orang tuaku yang paruh baya dan dua orang adik yang duduk di bangku SD. Kakak sulung laki-laki saat itu sedang di rantau. ia menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit di salah satu distrik di negeri jiran. Tinggallah kami berlima hidup dalam rutinitas yang biasa-biasa saja layaknya orang kebanyakan.

Pendaran sinar lampu philips tak harus memaksa mata ini melotot. Kududuk menghadap dinding bercat kuning gading sambil jemari kanan merekam pijar-pijar rasa dan rubungan pikir yang mengendap di batok apriori selama terawangan imaji lagi pulang kampung. Kuurai kembali benang kenang yang menyusut kusut di balik laci rindu. Aku menulis puisi lagi menemani malam hening sampai larut, seperti biasa sambil memamah rongsokan aksara di bebalik lembaran buku-buku. Di kamar ini kabut mimpi mulai kusekap satu-satu. Hayali mampir bersolek sapa beragam rupa kaya rasa memburam sepi. Aku masih duduk dan mengingat-ingat masa lalu. Kamar ini terasa dekat dengan masa lalu. Aku membalik halaman berikutnya bab setrusnya seperti biasa kunikmati padang aksara sarat makna. Kali ini rasa kantuk menyapa saat kulihat jam weker hampir bunyi di angka empat. Aku belum tidur juga. Namun yang lebih membuat tubuh kurus ini betah berlama-lama dalam pekur di malam hening dengan gurauan satu dua nyamuk ini adalah kenikmatan mengulangi dan mengulang kembali perlahan-lahan saat aku menemukan pita memori itu walau tak berdebu sarang laba-laba. Keping memori sederhana sebagai tutorial pedagogis yang amat berarti dalam peselancaran diri mencari jati diri identitas sebagai orang yang tak sekedar memilih mengada sebagaimana diwanti-wanti Martin Heidegger. Aku merasa begadang kali ini merefresh sebuah sketsa ulang makna hidup yang terlanjur susur dan luncur lalu liuk kiri kanan atas bawah dalam titik lalu koma dan tanda seru kemarin, ya, baru saja dan sudah lalu sampai saat aku melihatnya kembali. Ini soal bisikan. Ini bicara mengenai amanah. Ini tentang emban titah. Ini adalah bisikan yang bertuah. Bagi diriku sendiri karena aku tak mau memaksakan untuk siapapun, karena ini kasetku degup masa laluku. Apa yang aku rasakan adalah kenangan yang punya tuah atas pilihan sikap saat ini. Atas cara hidup. Atas prinsip menatap masa depan. Atas asas berikrar tetap pada keputusan untuk banyak pilihan untuk menawar. Sebuah prinsip yang tak relevan seandainya aku tak berada di sini. Kalau saja aku hanyalah ana-anak kebanyakan, pemuda awam yang konsumtif hedonis materialis dangkal wawasan picik pandangan sesat konservatif fanatik alias terkungkung dalam tempurung-tempurung fatalisme berkepribadian sempit. Kalau saja aku masih tinggal di sana di kampung yang nyaris bangkrut peradaban moral dan pendidikan akhlaknya itu. Kampung yang penuh paradoks ladang opium buta ilmu kebun syirik emoh ayat-ayat langit nan suci. Kalau saja aku masih saja menekuni hobi rutin sepak bola di sore hari setelah itu malam hari tak punya jadwal produktif bagi perenungan kemanusiaan dan amal baik. Malam yang hanya ada satu kata. Pesta. Malam yang jahat sungguh bejat meruntuhkan pelan bahkan dengan berang buas tak disadarai ataukah pembiaran saja dari semua yang berwenang itu, pembiaran remuk angkara meluluh runtuhkan dinding pondasi nilai diri manusia. Moralitas digasak tarian-tarian ala feodalis borjuis kapitalis lewat malam-malam tak berujung henti. Malam dengan pesta pora seperti binatang buas mencabik merobek titah dan harga diri nilai-nilai hati nurani. Dagelan malam diiringi denyut musik hingar-bingar ramai mampus penuh anak muda bernau mulut alkohol tipe pabrikan bermerek adakala cap pohon sagerru busuk. Muak, jijik, najis, kencing, taik kotor, jauh dari beradab apalagi Islami. Betul-betul edan. Jahiliyah di jaman majunya teknologi. Keseronokan yang diumbar-umbar dengan penuh bangga meluapkan pesona ala kampungku yang malang dirudung durjana kezaliman tak berelan vital amar makruf nahi munkar. Betul-betul jahannam. Najis ditelan dibilang biasa-biasa saja apalagi untuk modus relasi. Kalau saja aku masih di situ saat itu bahkan saat kini yang konon kabarnya aku mendengar informasi terakhir dari kampungku semakin tambah runyam parah naas. Moral menjadi comberan tak dipandang punya ujud yang dekat dengan diri paling hakiki. Moral telah jadi belulang. Kalau saja aku masih di sana, aku tak dapat duduk merenung sambil membaca dan merangkai kata-kataku meniru tradisi para jagoan kata di lembaran bacaan menuangkan gejolak, harapan, mimpi dan elan vitalnya berinteraksi mencumbu dunia.

Memang aku punya nasib sedikit lebih baik tapi bukan mentereng. Semenjak sekolah dulu tak ada lagi asa untuk melambung gunung meloncati samudera menuntut ilmu di seberang lautan seperti sekarang ini. Cita-cita kuurung demi realitas dan persembahan bagi kesadaran berkaca pada kemampuan ekonomi. Aku dulu mempelajari Adam Smith untuk tidak berhenti kerja keras namun aku tak menelan mentah bisikan bisu lewat tautan aksaranya untuk berwatak kapitalis merkantilis. Aku dulu meredam harapan itu karena orangtuaku masuk cover buku Eko Prasetyo, Orang Miskin dilarang sekolah. Hanya saja kesempatan itu pun datang bak mentari menyembul dengan sunggingan penuh ceria kepada banjir bah dan genangan berminggu-minggu di banyak tempat di negeri seribu musibah ini. Puji Tuhan alhamdulillah. Harapan mekar kembali saat aku bisa lanjut sekolah seperti kutemukan diriku saat aku bernostalgia. Kakakku dapat rejeki bekerja lalu gaji itu sebagian untuk seadanya biaya belajar di kota. Kebetulan perbedaan kurs mata uang yang membuat ukuran upah buruh kakak sedikit besar nominalnya dibanding gaji pegawai pemerintah kabupaten di kampungku juga yang untuk bekerja di sana terpaksa menyogok banyak untuk mendapat status sosial penyangga ekonomi prestise dan seterusnya. Pikiran berhembalang mengurai pita memori yang sedang berputar sedangkan tarhim subuh hampir usai. Satu hal yang sangat berpengaruh, yang menjadi elan vital dan spirit anakmudaisme adalah bisik betuah dari ibu kala itu. Ketika malam terakhir aku bersama beliau dengan bapak dan adik-adik. Ibu yang futuristik rupanya memperkaya bapak yang penyabar. Saat duduk di hadapan keluargaku di malam itu, ibu berpesan sedikit sepatah dua ucap saja setelah bapak memberi nasihat secukupnya. Kusebut itu bisik betuah ibu. Aku terkesima saat ini saat kukenang. Memang bisik betuah itu dulunya saat gendang telingaku merekamnya tak begitu kupikir penting malah biasa-biasa saja. Aku merasa saat ini perjalanan anak mudaku adalah penyingkapan makna dari misteri bisik betuah ibu. Hari demi hari berlalu, tahun berganti dan semester kuliahku makin bertambah dekat dengan penghujung akademik. Perjalanan proses pemenjadian yang sarat lika liku suka cita terjal curam indah buruk haru senang benci khawatir curiga bangga masygul kecewa hancur bangkit lagi dan seterusnya makin memperkaya batin si pencari. Aku menyingkap makni itu lewat ragam laku hidup dan penemuanku atas karakter dunia yang serba rumit beragam membingung tak lupa. Bisik betuah ibu kala ibu berpesan , pergilah belajar lebih dalam lebih luas lebih tinggi dan jangan lupa pecahkan tempurungmu. Tempurung diri yang mengungkung emansipasi kritis. Tempurung yang membangung dinasti tirani logosentrisme seperti kata Michel Foucoult. Tempurung yang mengisolasi diri dari meluaskan wawasan dan memperbanyak kawan saudara dan ukhuwah. Tempurung yang membuat diri jumud memmmbuat diri jatuh dari tangga malaikat menuju limit binatang yang dilaknat. Tempurungisme anak muda. Pecahkan tempurungmu nak.

Baca Selengkapnya...

Saturday, January 12, 2008

penjara diri

alkisah. pada suatu masa yang amat rahasia. ketika manusia tak satupun tahu. ketika manusia, ya aku, kamu dia, mereka, kita semua bergelantungan bak gemerontong tembikar. teronggok rupa arca liat mengeras. di saat kita hanyalah debu yang rendah. ketika kita tak lebih hanyalah lumpur jijik. kita semata bentuk materi. kita hanyalah benda. kita hanyalah sesuatu. maka kita tak punya nilai lebih. memang... memang kita tak ubahnya lempung yang terinjak. kita tak semenawan rerumputan yang gemulai. tak sesibuk awan yang berarak. tak seindah kuntum mawar. tak sewangi dahlia kala mekar. kita hanyalah tanah yang asalinya merendah. pembawaannya selalu di bawah. derajat rendah.


namun, lihatlah... lihatlah balon-balon kesombongan itu meninggi. semakin besar semakin rapuhlah mereka. tampak melonjak merobek payung kabut emoh kepada kulit bumi. balon-balon keangkuhan yang isinya kosong melompong. hampa substansi sebesar lengkungan pongah. dikala ruh Allah bersemayam di sana. saat kita memanusia.saat tubuh hina punya nasib berkilat. kini roda nasib kian memicing..meski ruh telah bersemayam. meski substansi yang suci mengisi. meski potensi lempung mencahaya telah melumer ego. meski sosok itu berkesadaran kini. meski ada pendengaran. meski punya penglihatan. walau hati mengisi kantong inti tubuh. walau punya rasa dan indera. walau dipungkasi akal. walau diberi banyak, disodor amat banyak. namun sebanyk itu pula muncul jentang menentang dan apalagi khianat. lupa kini semuanya dari mana. lupa kini asalnya dan kemana selanjutnya. cahaya ruh redup. sungguh bodoh. mengendap dalam kubangan kebodohan. akal sehat berkarat. nurani memfosil. tinggallah organ-organ biologis berpompa sini menuang sana. makan minum buang tinja injeksi libido mondar-mandir sana sini hirup lepas udara.


ooh... rutinitas berulang-ulang bak robot tak berasa manusia. sayap kesucian dirontokkan. tergantikan beling apalagi cakar kebuasan. manukar malikat dengan komplotan iblis. menyembah yang mendiri, lupa diri sendiri. menggelar majelis murka, menggulung tikar iman. pendengaran menyumpal, tuli. penglihatan mengatup, padahal matanya kian menyalak cabul dan bengis. hati membatu tak berperi rasa. disodorkan kebenaran risalah, malah tikaman menyambut dendam memperagakan tikai. hanya penghambaan senarai ego dirihawa nafsu ikon ilah mengasyikkan. tuhan-tuhan kesenangan ragawi. hawa nafsu melakon penjara menikam akal sehat. jangan... jangan sobat... jangan biarkan harimaumu meraung dalam kebutan mangsa. jangan penjarakan dirimu dalam kubangan iblis. pecahkan balon-balon pongahmu kawan. jernihkan pendengaran. tak usah pelototkan mata, lihatlah terang. sensitifkan hati. reguklah di sana mata air keilahian. basuhi kegersangan rasa. lalu.. berontaklah atas belenggu yang membunuh. belenggu batin yang melenakkan. proklamasikan kemerdekaanmu tuk meretas jalan kembali ke oase cinta. kuatkan kepalan tangan pada juntaian buhul yang kokoh. buhul pegangan tuk berayun menuju tebing kemenangan. buhul dalam seleksi adil siratalmustaqiem. basuhi kerat yang membisul kemusyrikan yang melebami selaput hati. basuhi noda yang meracuni hati. karat cermin yang layak dibasuh dengan air mata penyesalan,
ikrar suci taubat nasuha, pula rintihan dzikir dan penghambaan pasrah.





Baca Selengkapnya...

Tuesday, January 08, 2008

Sabda Lapar

Lapar mengajariku banyak hal. Lapar membuatku sadar.Aku lapar karena menahan perut yang kosong. Aku kehabisan uang untuk membeli makanan. Kini perutku keroncongan. Lapar membuatku tersentak dari rutinitas kenyang. Aku tersentak dari nafsu konsumeris. Lapar memaksaku untuk banyak diam. Tinggal di kamar sambil bertafakur, membaca tumpukan buku dan sekali lagi merasakan perut keroncong. Lapar membuat perutku istirahat. Pikiran mudah berpikir kreatif. Shalat dan zikir bisa sedikit khusuk. Lapar melatih kesabaran. Jiwa terasa tenang. Satu hal yang menonjol adalah tubuh mengurus. Kulit membaluti tulang. Lapar mengajariku mengenai kesyukuran. Di saat lapar seperti ini lalu ada yang berbaik hati memberikan sedikit makanan sekedar menyumpal kekosongan yang mulai berdenyut, sungguh aku akan menyambutnya dengan perasaan syukur yang sangat. Hatiku mengucap hamdalah. Meski sedikit rejeki, namun sangat berarti bagiku di saat-saat darurat seperti ini.


Hikmah seperti ini sangat penting, terutama bagaimana mensyukuri nikmat yang telah kita peroleh dan tanpa disadari, nikmat itu begitu banyaknya. Nikmat yang melimpah dari Allah Swt, dimana nikmat yang banyak itu pula kita lupakan. Perenungan yang intensif layak kita lakukan atas realitas diri pribadi dan kondisi sosial. Lapar mengajariku bagaimana menjadikan perutku yang kelaparan dan rasa derita itu sebagai cermin atas bagaimana masyarakat yang mengalami nasib serupa. Perutku yang lapar telah memantulkan secuil kisah sosial, dimana kelaparan menjadi kisah perih hampir sepanjang usia manusia di muka bumi. Perih di rongga perutku menampar kepongahan ego diri yang tak mau berempati atas kelaparan saudara senasib manusia. Bagaimana mungkin merasakan empati atas derita orang lain yang lapar berhari-hari, bahkan tak berhitung hari, kalau perut kita sesak setiap saat? Apa bisa merasakan denyut lambung yang kekosongan dan pembuluh tubuh yang dehidrasi dengan berimajinasi? Bukankah kita selalu berlebihan dalam penggemukan perut, sementara di saat yang sama ada busung lapar? Bukankah kita telah berbuat ironi yang amat menyayat rasa? Bukankah di saat dahaga yang mencekik dan belum sekerat makananpun mengisi perut dari mereka yang dikorbankan dalam jejaring kemiskinan yang lebih diperas oleh tirani struktural ini, di sana terjadi akrobat nyata ketidakadilan manusia? Bukankah kita semua mempunyai rasa yang sama atas keperihan dan kemanisan hidup? Ooh sungguh ketakberdayaan sebagian insan yang dimalangkan oleh sesama anak cucu Qabil.

Aku terhenyuk membayangkan beta kredo tauhid dalam perisai Islam yang dikobarkan Rasulullah Saw di masanya dahulu menancap dalam relung kemanusiaan dengan kokoh setegar bebukitan Uhud dan keperkasaan padang pasir Badar, toh dalam proses kemenjadiannya yang gemilang bahkan tak termadahkan oleh jentengan kelaparan dan kemiskinan umat. Betapa sang teladan almustafa menyatu dalam perasaan ini. Rasulullah saw langsung menerjuni telaga kemiskinan rakyat Mekah, merasakannya dari dekat hingga membuatnya amat mencintai dan dicintai kaum fakir dan miskin yang gulana nasibnya diterjangi feodalitas dan sistem sosial kapitalis saat itu. Ataukah betapa sang karamallah wajhah, Imam Ali bin Abi Thalib ra dengan tegas menghunus bilah pedangnya dalam kredo sosialisnya ke sosok simbolis yang harus diperangi dalam prioritas mayor. Ialah kemiskinan yang memang kemiskinan itu sendiri dalam realitasnya yang empirik, bukan tumpukan teori kemiskinan yang dipajang tak berguna oleh tirani modal dan penguasa neolib yang gila itu.

Baca Selengkapnya...