Friday, December 28, 2007

Benazir Bhutto dibunuh..!!!






(foto:bbc.co.uk)


perempuan pemberani
telah syahid
pakistan hening
malam di Rawalphindi mencekam
rakyat berduka
innalillaahi wainnailaihi raaji'un
leher dan dadanya ditombak peluru
ketragisan disusul kebiadaban bom bunuh diri
lalu siapakah yang punya kepengecutan ini..?
benarlah apa kata sejarah
bahwa kanvas perjuangan selalu dicecari dengan darah
ya, darah yang siap mengucur demi ideal-ideal besar
demi rakyat kecil yang tertindas
demi proletar yang dikebiri borjuasi
demi kaum mustadhafin
demi kebaikan umat
demi kemaslahatan manusia
demi keadilan
pengorbanan darah, air mata dan harta benda
dan Bhutto hanyalah salah satu diantara mereka
mereka yang mengambil pilihan hidup keras
mereka yang berani lantang melawan tirani
mereka yang berani bersuara atas kezaliman
mereka yang teguh menendang bokong kebohongan
mereka yang berkobar dalam jihad
semoga perjuanganmu diridhoi Tuhan
semoga keperkasaanmu yang siap menerjang maut
semoga jiwa besarmu dalam berkonfrontasi dengan diktator
semoga ruh srikandimu
semoga kematianmu menampar tradisi kebengisan
menyumpal kebohongan
meretas perubahan yang memihak rakyatmu
semoga..!



.

Baca Selengkapnya...

Tuesday, December 25, 2007

Elegi Cinta dan Gerak

"Manusia yang merasa puas dan sukses
tak berdaya di mata iblis" -Naguib Mahfouz

Hilir mudik. Kencang tak mau berhenti. Panta rhei sebagaimana sabda Heraclitus. Keadaan begitu cepat berubah, mengaliri dan menghanyutkan apa saja yang mengonggok. Ia adalah tsunami yang mengobrak-abrik. Ialah aktor laten yang 'mengabadi' sepanjang sejarah manusia. Tak terbilang sudah berapa banyak puing peradaban yang digusur kemudian tergantikan yang baru. Ialah dinamika kehidupan itu sendiri. Ialah perubahan. Perubahan selalu ada di mana-mana. Ia adalah sunnatullah yang pasti. Setiap entitas yang sempat mengada pasti hanyut dan terhuyung dalam tarian jagat ini. Kecuali wajah-Nya yang tak serta, karena memang begitulah hukum Sang Sutradara. Mulai dari entitas kemaujudan yang paling kecil sub atmik sampai kepada wujud kosmikal, dari entitas kedirian personal sampai dengan realitas sosial yang serbaga jamak tak terhindarkan dari perubahan. Ia akan bergerak dan menuruti irama ekstase Rumi, kian bergerak hingga terhenyak dalam mabuk cinta. Karena hidup adalah gerak laksana laron yang merindukan cahaya, akan senantiasa mengarakkan kafilahnya menuju tambatan sumber cahaya perlambang cinta. Karena hidup adalah gerak.

Oleh karena cinta, semuanya bergerak. Bergerak dan terus bergerak menuju limit tak bertepi. Terbang menghampiri hingga hangus terbakar. Terbakar dalam kerinduan majelis burung-burung Fariduddin Athar. Meski harus menafikan kedirian yang fana. Diri Majnun yang merindukan Laila. Sebuah kenduri rasa yang menghempaskan nalar awam seperti pentas heroisme Karbala. Epik sayyidina Husain ra yang menerjangi terkaman buas medan tempur dengan memupuskan kegetira. Cinta melahirkan kerinduan. Kerinduan meniscayakan gerak. Cinta berawal dari ketertarikan hati. Ketertarikan sontak bukan karena tanpa sebab. Ia adalah kecenderungan fitriah, bawaan murni sebagai manusia yang merindu dan mencinta. Sementara ketertarikan menyengat batin kala objek cinta meruapkan pesona keindahan yang memijari relung batin. Ia berawal dari pengenalan. Pengenalan sebagai ma'rifat. Ma'rifat sama saja mengenal (Indonesia) atau know about (Inggris). Ma'rifat atau pengenalanlah yang menghantarkan kepada kerinduan (isk) dan cinta (hubb, mahabbah). Kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Mana mungkin cinta muncul tanpa pengenalan?

Sementara cinta pemeran lakon sejarah bumi terdiferensiasi atas orientasi cinta Eros (tingkatan rendah, hewaniah, jasadiah, jism, materialisme dan) dan orientasi cinta Platonik (tingkatan tinggi, posmaterial, al qalb). Cinta yang pertama memiliki keterbatasan untuk tingkatan dan daya improvisasi rasa ekspresif serta objek inspiratifnya, sebatas relung imajinatif dan ekspresi keindahan pleassure. Cinta yang terpenjara oleh tubuh, cinta materil yang memancarkan kekuatan insting freudian untuk aktualisasi. Sedangkan cinta jenis kedua tak pupus oleh kehimpitan bentuk dan kemempetan citarasa materi. Ia adalah cinta atas kemahamutlakan wujud, kerinduan atas energi cinta yang tak terkira. Cinta yang sumber inspirasinya tak berbatas ruang waktu, tak berawal dan berakhir, yang meliputi wujud materil dan gaib. Cinta kepada pemilik dan pencipta rasa, penguasa alam semesta dan diri beserta selubung misterinya yang menggelayuti daya imajinatif sang pencinta. Cinta kepada Tuhan Yang Maha Ahad. Misteri cinta yang menggelayuti diri Adam as beserta anak turunannya sebagai anugerah. Ia ada dalam diri manusia dan mengejawantah sebagai perang tak kunjung usai antara dua kekuatan maknawi yang terberi sebagai tonggak kemerdekaan, yakni jejak iblis dan tapak malaikat. Kehidupannya adalah pemeranan kebebasan menentukan pilihan bagi diri manusia. Perjuangan hebat (jihad akbar) diri manusia untuk memuluskan jiwa merajut sayap-sayap insaniahnya demi meluncur ke limit terawangan malaikat senantiasa berlangsung dan terus berlangsung sampai raga mengonggok mayat, ruh kembali ke asalnya yang suci, hingga perjamuan jiwa dengan malaikat maut. Sungguh perang yang besar karena ia sangat dekat dengan eksistensi keseharian, bahkan penentu eksistensi kemasadepanan. Kemenangan jalan iblis adalah sebuah tonggak pemberontakan atas kekuatan imperium jagat raya, Tuhan Yang Maha Akbar. Ia adalah langkah keberhasilan menjadi oposan dan saat 'kejatuhan dari sorga' sebagaimana Adam as dulu melakoninya.


Sekonyong hidup ini bagi manusia adalah perjuangan. Perjuangan dari potensi ketergelinciran 'jatuh' menuju pengepakan sayap malaikat. Hidup adalah bertarung dengan ego-ego yang menggelincirkan kepada tepi jurang 'kejatuhan'. Jurang yang penuh kegelapan dan bahaya. Seraya bersusah payah menyingkap tirai (hijab) yang selalu saja ada di setiap stasiun kesadaran jiwa kita. Tirai yang menghalangi pancaran sinar mentari pagi kala fajar menyingsing di bebalik gunung batu padang arafah. Tirai yang begitu tebal dan sangat tebal. Semakin tebal ego-ego dan kecenderungan jejak iblis menggelantung di sudut kalbu, maka tirai-tirainya pun sebanyak itu. Perjuangan diri untuk kesegaran mentari pagi adalah perjuangan menyingkap tirai-tirai. Iluminasi cinta akan memekat kala satu demi satu tirai diri tersingkap. Puncak ketersingkapan meroketkan diri menanjak dalam gradasi kemanusiaan yang mabuk cinta (isq) oleh sebab pancaran ma'rifat Allah swt semakin dekat. Ketersingkapan tirai yang ditandai oleh pencerahan spiritual dan intelektual diri yang melejit dari diri yang mendekati 'paripurna' (insan kamil) menegasikan segala anasir kegelapan jejak iblis, membawa kepada ekstase cinta. Ekstase cinta dari diri yang fana' dan tak berarti yang 'ingin bertemu' dengan kekasih sejati, Allah swt, Sang Pemilik cinta sejati. Cinta sejati berupa ma'rifatullah adalah kebenaran yang selain manusiawi (fitrah suci manusia) juga adalah eksperimen spiritual yang sungguh nyata, berdasarkan sejarahnya. Maukah kita ikut ke sana..? ataukah hanya berpuas diri dengan cinta eros.

Baca Selengkapnya...

Tuesday, December 18, 2007

Elitisme Gerakan Mahasiswa Maluku

Pergerakan mahasiswa dan pemuda beserta komponen masyarakat sipil di tanah air dalam alur kesejarahannya yang panjang memiliki varian konteks fenomenal yang terkadang endemik dan dalam batas tertentu mejadi sebuah anomali yang dibiarkan. Salah satu topik telaah pada kesempatan ini adalah menyangkut eksistensi pergerakan dari bumi Maluku. Hal menyangkut fenomena elitisme gerakan memang jamak hampir di setiap konteks gerakan dengan latar belakang serta anasir kepentingan konstruktifnya yang beragam. Hal ini adalah fakta dan terkadang dalam batas tertentu menjadi batu ujian bagi sebagian kalangan gerakan yang mengambil alur aktivisme yang antagonis dengannya. Elitisme secara sederhana penulis maksudkan sebagai sikap kompromistik yang oportunistik dari para agen gerakan serta berkecenderungan mengaktualisasikan watak feodalistik dalam aktivitas individu dan organisasi serta berkedok hajat rakyat untuk sebuah interes kekuasaan berikut privilegenya.


Pertama, pengaruh dominasi etos mobilitas vertikal untuk kekuasaan sebagai sebuah trend. Bertahun-tahun sebelum pecahnya kerusuhan di Maluku pada tahun 1999, kaum muda Maluku tidak begitu terkenal apalagi intens dalam pengadvokasian kasus-kasus yang berkaitan dengan represifitas pihak penguasa kepada masyarakat. Hal ini bisa disebabkan rendahnya eskalasi konflik penguasa (ABRI) vis a vis masyarakat sipil bila dibandingkan dengan eskalasi problem serupa di tempat-tempat yang mengandung kapasitas penyulut konflik tersebut, misalnya konflik tanah dan perburuhan yang gregatnya melambung di Pulau Jawa dan daerah-daerah lain. 'Ketidakterlibatan' elemen pemuda (mahasiswa dan elemen masyarakat sipil) di tanah Maluku dalam konteks perjuangan seperti inilah yang menyebabkan menguatnya kecenderungan aktivisme kaum muda menjadi 'nyaman' dan bergelimang kesentosaan yang berpotensi menjadi menjadi 'kaum bungkam' dan pro status quo. Bisa dibayangkan hal ini yang terjadi dan berlangsung dalam setiap organisasi elemen kaum muda di sana dalam waktu yang relatif lama bisa menyebabkan munculnya budaya aktivisme yang elitis. Kondisi seperti ini dalam konteks pada waktu itu sangat positif dan terasa konstruktif bagi pihak penguasa, namun di sisi lain adalah sebuah kemunduran besar bagi pergerakan kaum muda. Memang tidak ada salahnya memasuki kanal-kanal politik dan birokratis yang disediakan oleh iklim kehidupan politik pada saat itu. Namun dengan tanpa komitmen yang senantiasa harus dikuatkan untuk pengimplementasian peran-peran transformatik bagi pemenuhan hak-hak rakyat yang kala itu tergasak segenap hak sipil-politik serta EKOSOB-nya oleh penguasa secara sistemik, maka progresifitas kaum muda dalam kanal kanal yang have blessed menjadi tarian akrobat yang memalukan.

(bersambung)





Baca Selengkapnya...

Wednesday, November 14, 2007

Jong Molukken; Pemuda Sagu Pemuda Cengkeh-Pala

Jong Molukken (Belanda) atau the moluccas young (pemuda maluku) biasanya dilabelkan oleh masyarakatnya sendiri sebagai pemuda 'malas', biar seng ada uang yang penting bagaya dan performa luarnya tampak sebagai manusia 'keras ' karena rata-rata tekstur kulitnya gelap (hitam manis, istilah populer di tempatnya). Label 'malas' pada identitas pemuda maluku ini memang ada benarnya dalam kenyataan. Keadaan ini sangat mungkin dipengaruhi oleh kondisi alam (sumber produksi kebutuhan hidup) beserta faktor lingkungan sosial dan kesejarahan yang saling berhubungan secara kausalitas.


Yang pertama adalah faktor alam. Di tanah maluku, kecuali pulau Buru, masyarakat rata-rata memproduksi tanaman ubi-ubian (kasbi, kaladi, patatas dan lain-lain) dan sagu dengan berbagai varian kegunaannya sebagai bahan makanan pokok. Karena faktor geologi dan topografi tanah, di sana tidak cocok dijadikan sawah. Alih-alih mau menggarap sawah, masyarakat lebih mengusahakan tanaman perkebunan berusia tahunan, seperti cengkeh, pala, kelapa dan buah-buahan. Namun diantara tanaman yang terakhir itu, cengkeh dan pala-lah yang menjadi komoditi andalan dan terkenal. Bahkan kalau mau bernostalgia, dua komoditi inilah yang menjadi incaran ekspedisi dagang (gold, kapitalisme) yang ambisius (glory) dan disertai misi kristenisasi (gospel) bangsa Eropa berabad-abad lalu. Sebagai perbandingan, sawah adalah lahan berlumpur yang membutuhkan perhatian pengairan serta pemeliharaan dan pemupukan yang terus menerus, bahkan hampir setiap hari. Petani sawah harus menyesuaikan perilaku hidupnya dengan sifat pertumbuhan padi. Setiap pagi, bahkan saat fajar menyinsing, para petani biasanya sudah berangkat ke sawahnya. Bekerja sampai tengah hari, sesudah itu istirahan sebentar dan biasanya beraktivitas di sekitar sawahnya sampai petang tiba. Ini dilakukan dalam pola yang rutin. Mengolah sawah membutuhkan ketekunan, kerajinan dan kesabaran. Mungkin faktor inilah yang membentuk pribadi petani penggarap sawah menjadi pribadi yang sabar dan ulet. Hal ini tak dapat dipungkiri berimplikasi tehadap pola interaksi dan pola hidup di tengah keluarga dan masyarakat.

Kelompok tani atau masyarakat pertanian sawah ini adalah kumpulan dari individu petani penggarap sawah dengan integritas kediriannya yang telah berdialog dengan pola produksi sawahnya, dalam batas tertentu melahirkan konvensi kebermasyarakatan yang bernafaskan pola hidup dengan siklus produksi. Nilai, norma pranata dan budayanya akan terkonstruk secara alamiah di atas sendi siklus produksi pertanian sawah, melahirkan masyarakat pertanian yang secara makro berkarakter sama. Ketika peralihan zaman, masyarakat dengan sendirinya melakoni budayanya sebagai adat yang terus menari-nari secara rutin. Masyarakat berproduksi padi akan melahirkan budaya masyarakat padi, yakni keuletan, bekerja keras dan sabar. Sedangkan masyarakat maluku, karena hanya mengusahakan tanaman ubi-ubian dan sagu sebagai menu makanan pokok yang terwariskan oleh leluhur sampai kini, maka masyarakatnya akan mewariskan budaya sagu dan tanaman ubi-ubian, disamping budaya cengkeh dan pala. Kata petuah dulu, diri dan perilaku anak cucu Adam akan dipengaruhi oleh makanannaya. Mengenai budaya sagu __istilah budaya sagu, budaya padi dan budaya cengkeh-pala serta ubi-ubian sengaja penulis catut untuk membantu dalam menelaah meski terkesan simplistik__ di masayarakat Maluku, sangat terkait dengan budaya ubi-ubian dan budaya cengkeh-pala. Masyarakat menanam sagu yang masa kematangan berproduksinya menunggu waktu berpuluh tahun serta sifat reproduksi tanaman sagu yang vegetatif itu membentuk pola sikap masyarakat yang kurang aktif, karena menunggu dalam waktu yang sangat lama untuk panen __namun hampir setiap bulan ada yang dipanen, karena banyak sekali tanaman sagu yang telah masuk masa panen, pula karena regenerasinya secara vegetatif sangat banyak serta memiliki kelas umur yang kontinyu__tidak terlalu membutuhkan keuletan yang ekstra layaknya petani padi. Demikian juga dengan tanaman ubi-ubian yang meski membutuhkan pemeliharaan yang baik, namun tidak segencar pola pertanian sawah. Lahan bercocok tanam ubi-ubian pun tidak menetap selamanya untuk digarap seperti lahan sawah yang sampai berabad-abad pun masih ditanami padi. Ketidakberlanjutan dan ketidaklamaannya pola bercocok tanam di maluku dinilah rupa-rupanya yang turut membentuk karakteristik perilaku masyarakatnya, minimal dalam hal keuletan, kesabaran dan konsistensi ketabahan bertarung dengan dunia kehidupan. Dengan tidak mengurangi nilai konsistensi life fighting dari masyarakat Maluku, kita dapat melihat bahwa ternyata masyarakat maluku masih jauh semangat kerja keras serta keuletan dan kesabarannya bila dibandingkan dengan masyarakat lain yang memiliki pola budaya padi. Inilah yang penulis maksudkan, meski dengan sedikit berspekulasi, bahwa ciri ' kemalasan' yang dilekatkan pada pemuda Maluku bersinggungan dengan karakteristik lingkungan alamiahnya. Namun, menurut hemat penulis, hal itu berarti bukan secara inheren sifat kemalasan itu secara natural telah terwariskan dan taken for granted semenjak lahir, namun lebih disebabkan oleh konstruksi lingkungan. Seandainya saja sejak dahul di Maluku ada sawah, mungkin saja perilaku kemalasan itu tidak menjadi 'identitas' yang parokialistik. Parokialistik dalam arti bahwa defenisi sifat kemalasan yang dipandang dan didefenisikan oleh pengamat luar atau orang dalam dengan membuat perbandingan budaya maluku dengan pembanding lain yang memiliki karakter budaya yang berbeda.

Yang kedua adalah faktor sosial dan kesejarahan. Masyarakat Maluku ... (bersambung)

Tulisan di atas hanya mengulas secara sepintas berupa deskripsi imajinatik sederhana sebagai gambaran wawasan dan pengalaman sebagai pemuda yang dilahirkan dan dibesarkan di tengah kultur asli Maluku, tanpa merujuk secara langsung atas bahan-bahan telaah sejarah 'standar' ilmiah(literatur maluku).


Baca Selengkapnya...

Saturday, November 10, 2007

Sekolah dan Tirani Zaman

Sekolah-sekolah konvensional alias sekolah-sekolah tempat kita meniti karir pendidikan, mulai dari SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi, memang memberikan ruang belajar yang sangat banyak. Namun model pendidikan seperti ini tidak memberikan segalanya, terutama yang berkaitan dengan aspek-aspek pendidikan yang ‘mencerahkan’ dan ‘membebaskan’. Mencerahkan dan membebaskan dalam arti bahwa model pendidikan atempat kita menyinggahkan tiga masa eksistensi kita, mulai dari masa kanak-kanak, masa remaja dan kemudian dewasa, tak memberikan secara tuntas pengetahuan mengenai hakikat diri sebagai manusia, posisinya di hadapn alam semesta, di tengah masyarakat dan di hadapan Tuhan Sang Pencipta. Memang pengetahuan mengenai ini sudah diperoleh, namun tidak egitu kuat.




Pengetahuan mengenai entitas-entitas eksistensial atau wujud-wjud itu diajarkan, namun bukan menjadikan pelajar sebagai manusia yang bakal menuju jati diri paripurna, akan tetapi hanya berupa transfer pengetahuan dua arah yang serba procedural. Kurikulum belajar mengajar berlaku di lembaga pendidikan sesuai dengan konstruksi kuasa dan kepentingan pihak penguasa (Michel Foucoult), dalam hal ini pihak Departemen Pendidikan Nasional seagai yang lebih berkompeten


Pemerintah membutuhkan kerjasama dengan investor, baik local maupun asing untk pembiayaan pembangunan. Olehnya itu mau tidak mau, pemerintah harus menjalin kerjasama itu, dengan apa pun prinsip kerjasamanya. Suntikan dana pun mengalir dari lembaga-lembaga donor internasional, misla IMF, ADB, Paris Club dan lain-lain, mana hubungan tersebut tidaklah bebas kepentingan dan intervensi. Pemerintah kita mendapatkan dana meski dalam bentuk utang. Sebelumnya memang pemerintah telah mewarisi beban peninggalan zaman Orde Baru (ORBA) untuk segunung utang luar negeri. Dampaknya, mereka memikul beban laten utang lama, pada saat yang sama membuat utang baru.


Satu kesalahan besar yang dibuat oleh pemerintah, mulai dari Habibie, Gus Dur, Megawati dan saat ini (SBY) adalah ketika mereka semua gagal mengadili para koruptor besar serta menyita harta Negara yang raib itu, demi kenaikan kesejahteraan rakyat ataukah pembayaran utang luar negeri. Keterpurukan yang dialami oleh bangsa kita dalam bidang ekonomi membawa dampak banyak hal, salah satunya terjadi degradasi harga diri bangsa di mata kawan-kawan bangsa lain di dunia. Memang korupsi telah membutakan hati nurani sebagian para pemimpin bangsa bahkan telah menjadi virus yang membudaya di tengah perilaku warga negara.


Kembali ke masalah pendidikan kita. Akibat dari kebijakan pemerintah yang telah bekerja sama dengan pihak pemilik privilege dalam transformasi besar ekonomi global, yakni korporasi-koreporasi besar lintas Negara (Transntional Corporation/ Multinational Corporation) serta badan-badan donor yang semuanya berafilisai kepada agenda globalisasi perdagangan dan ekonomi yang meniscayakan lieralisasi secara massif di segala sector kehidupan (neoliberalisme), makasetali tiga uang kebijakan politik level elite tersebut pasti aan merambah secara pervasive banyak sektor kehidupan masyarakat, termasuk sector pendidikan. Makanya pemerintah harus menyesuaikan kurikulum pendidikan dengan kepentingan masa depan dunia baru, pasar bebas. Artinya, pemerintah akan mendidik anak-anak bangsanya menjadi bidak-bidak lapangan yang siap lebur dalam dunia pasar global yang serba terbuka, mondial dan bebas berdasarkan nilai-nilai hidup (ideology) kapitalisme. Dalam pasar bebas dunia ini, yang menjadi titik tekan adalah kebebasan memproduksi dan kebebasan persaingan perebutan pasar. Sesuai dengan sifat kapitalisme yang meniscayakan merkantilisme sebagai orde puncak, pasar bebas yang didorong para agen kapitalis dunia itu akan menjadikan lulusan-lulusan sekolah sebagai tenaga teknis atau sebagai pekerja-pekerja terampil sesuai dengan kualifikasinya. Dunia kerja telah disiapkan oleh agen-agen pemilik modal besar. Sekolah akan menyuplai tenaga kerja. Berarti hanya sekolah yang mengajarkan keterampilan sesuai keuthan pasar kerja (industri) saja yang bias dipakai. Bagi yang di luar kualifikasi it, cari sendiri tempat kerja lain. Interaksi dalam level global antara sekolah dngan pihak pemodal inilah yang kemudian membawa efek reduksi besar-besaran terhadap hakikat sekolah sebagai dunia pendidikan secara manusiawi. Partnership antara sekolah dengan pemilik modal ini menjadi hubungan yang tidak seimbang, menciptakan ketergantungan yang sungguh parah. Seolah-olah tak ada lagi alternative lain sebagai dunia kerja tanpa keluar dari logika pasar erja yang hegemonic ini. Ia menjadi taken for granted. Ada adagium popular di masyarakat kita, rupanya menjadi tren abadi yang melekat secara apriori, dalam rupa penganggap-remehan seseorang lulusan sekolah, lantaran belum memperoleh pekerjaan berdasarkan rujukan ‘baku’ dan ‘standar’ mereka.


Kapitalisme menawarkan, bahkan memaksakan kepentingannya melalui injeksi ideologis (kesadaran palsu) ke tengah masyarakat yang ter-massakan (Baudrillard). Ia menginvasi kesadaran secara filosofis, nalar instrumental yang ameniscayakan saintisasai dan teknologisasi kehidupan demi mengukuhkan kekuasaannya. Interaksi apapun yang dilakukan dalam spectrum variasi yang beragam baiasaya tidak steril dari bias kepentingannya yang merupakan fungsi ekspansif ideology keserakahan kapitalisme. Perkembangan ilmu dan teknologi sebagai hasil pergulatan sekolah pun kemudian mengarah kepada saintisme yang secara hegemoni memberi defenisi baku verifikasi keilmiahan serta memandang skeptis metode ilmiah alternative di luar stardar (metode ilmiah) tersebut. Arogansi inilah yang rupanya telah menggiring kepada penggunaan teknologi yang bebas nilai. Eliminasinya aspek nilai (moralitas, etika) inilah menyebabkan peradaban Barat menjulang tinggi dengan penh gemerlap dan kecanggihannya, namun sangat liar. Moralitas yang memang secara histories telah menjadi momok bagi spirit kebebasan (liberte) semenjak terkungkung dalam masa the Dark Age yang jumud. Pertadaban Barat sebagai produk sekolah dan muara dari arus besar Renaissance dan Aufklarung yang mendewakan rasionalitas, yang kemudian dalam perkembangannya mengarah kepada tren rasionalitas instrumental yang reduksionis dan hampa spiritualitas seperti tercetaknya manusia-manusia mesin (Herbert Marcuse).


Sekolah adalh tempat dimana kita belajar banyak hal. Sekolah biasanya tergantung kepada metode yang dipakai. Metode konvensional yang berorientasi pasar kerja, memang di satu sisi sangat baik untuk pelajarnya sebagai bekal keterampilan mendapatkan pekerjaan yang implikasina positif bagi kesejahtraan keluarga, namun kalkulasi globalnya adalah sangat merugikan secara sistematis bagi kita sebagai bangsa yang elum mapan dalam hal ekonomi, sebaliknya sangat menguntungkan pihak pemilik modal. Kondisi ini memang disadar sangat dilematis untuk tingkatan mikro atau pribadi sebagai manusia yang sedang bersekolah. Namun ini adalah kenyataan. Kenyataan yang timpang secara makro dan sistematis. Olehnya itu pemerintah haruslah mengambil tindakan yang berani demi melawan agenda-agenda kapitalisme ini. Agenda ini telah nyata sangat destruktif dan olehnya iu mnejadi biang ketidakadilan secara global, termasuk bagi Negara kita.


Karena sekolah yang berwatak pasar demikian, maka alternatifnya adalah tidak berhenti belajar di bawah kurikulum yang berorientasi pasar tersebut. Karena kalau hanya demikian, maka kita akan terjebak di tengah agenda kapitalime global yang tengah menyeret dunia sekolah kita ke sana, yang mengarah kepada program-program liberalisasi yang memiskinkan dan mnciptakan pengutang-pengutang abadi berserakan di muka bumi dalam tampang lusuh Negara-negara miskin dan berkembang. Sekolah haruslah yang tidak menggiring kepada ketidak adilan global. Sekolah haruslah menjadi salah satu benteng masyarakat dalam hal moralitas intelektual. Sekolah harus menjadi tempat belajar melawan ketidakadilan. Sekolah harus dapat mengemansipasi kondisi social yang muram. Sekolah haruslah menjadi tempat berbicara dengan hati nurani untuk berteriak dan siap menjadi martir atas sebuah cita-cita besar tetang kebenaran dan keadilan. Sekolah tidak boleh menjadi tempat mengajarkan sifat-sifat pengecut kepada anak bangsa di saat di depan mata terdapat tirani social. Marilah bersekolah di mana saja dan kapan saja, sebelum malaikat maut menghampiri kita. Selamat belajar.


Tamalanrea, 6 November 2007



Baca Selengkapnya...

Ceracau Pemimpin

Ada pernyataan yang terkenal mengenai manusia besar yang namanya selalu diucap bibir anak-anak zaman. Yakni sejarah adalah kisah para hero atau kisah para raja dengan dinasti atau kerajaannya. Walaupun pernyataan ini tidak semua orang menyetujuinya, namun dalam batas tertentu ada abenarnya dalam fakta atau lukisan sejarah. Cobalah tengok legenda kemasyhuran Alexander The Great yang memimpin sepertiga belahan dunia beserta kekayaan peradabannya dengan strategi ekspansi yang mencengangkan, pun dalam waktu yang relative masih muda. Tinta sejarah kemudian dibasahkan untuk menorehkan ketokohan Alexander beserta segenap karir kekuasaannya, seolah-olah imperium yang dibangun tersebut adalah manifestasi imajinasi serta representasi dari namanya. Alexander The Great adalah symbol dari sebuah imperium besar yang takluk di bawahnya, yang terbentang dari perairan Aegea di Yunani hingga semenanjung Afrika bagian utara di selatan serta babilonia dan India di timur. Sejarah imperiumnya adalah biografi kepemimpinannya. Hal yang sama dapat terjadi pada tokoh-tokoh dunia yang lain. Misalnya Soekarno, Hatta, Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, sampai Che Guevara dan Malcolm X. Mereka terlibat dalam dinamika sejarah, berani mengambil risiko dan bergulat memperjuangkan cita-cita untuk mengubah realitas sejarah kala itu.


Kedirian yang unik, dalam artian bersedia mengambil penyikapan alternative dan menyimpang dari kelaziman zaman demi tujuan hidup yang lebih baik itulah yang membuat mereka tidak rela dilupakan oleh sejarah. Sejarah menyukai tipikal manusia yang unik. Karena tipikal unik berbeda dari yang umum, memiliki identitas dan peran yang menggambarkan rasa kemanusiaan yang betul-betul baru. Keunikan pada saat keberanian menentang realitas tiranik, menolak takluk untuk menjilati kaki-kaki pemilik privilege yang pro status quo. Keunikan memiliki citra yang menarik. Ia akan dituturkan oleh penyuka bahasa lisan dengan pengkhidmatan yang proporsional dan kadang meresonansikan kerjapan sosok mitologis. Namun ia akan ditorehkan dengan tinta sejrah, agar kelak dapat diingat, bukan untuk disembah, namun sebagai tugu peringatan, bahwa spirit perjuangannya haruslah terus dinyalakan.

Banyak sekali manusia ‘besar’ di sepanjang usia bumi yang sempat dihuni manusia. Mereka menjadi terkenal karena integritas pribadinya dalam konsistensi memperjuangkan berubahnya das sein menuju das sollen dengan segenap kekuatan manusiawinya. Mereka berupaya memutar roda-roda kehidupan sebagaimana layaknya menuju keserasian hidup. Harapannya besar sebesar wawasan berpikirnya. Daya berpikirnya yang mendapat pencerahan mengenai hakikat kemanusiaan dan kehidupan, akan terdorong untuk membumikan ide-ide besar yang revolusioner. Pikiran-pikiran besar yang berhasil terartikulasikan dalam realitas kehidupan dan membawa perubahan yang besar menuju kebaikan kemanusiaan, selalu dicatat sebagai amal kebaikan dan orang akan selalu mengenangnya sebagai tokoh yang beramal saleh. Tindakan yang revolusioner haruslah berdasar kepada kemaslahatan kemanusiaan serta dalam bingkai kepasrahan total kepada Sang Pemilik alam semesta ini, sehingga nantinya sebuah revolusi atau perubahan-perubahan social tertentu tidak kembali melahirkan tirani social yang baru.



Baca Selengkapnya...

Tuesday, October 23, 2007

Pelacuran Politik

Pelacuran secara generik memiliki konotasi negatif, bahkan bisa membuat kerut dahi dan dalam batas tertentu mendebarkan bongsoran dada dengan kejut freudian. Pelakunya secara otomatis, bagi masyarakat yang menjunjung teguh etika kehidupan yang beradab, akan menjadi mangsa pendefenisian maknawi sebagai pelaku lacur dan tak berbudaya luhur. Ia dicap negatif seperti muatan inheren kata pelacur itu sendiri. Pelacuran didefenisikan sebagai salah satu dosa besar, karena pertimbangan ideologis an sich, ataupun berdasarkan konklusi kesadaran yang lebih holistik, entah jejaring efek secara biologis, psikologis, ekonomis, sosial, budaya, dan lain-lain. Pelacuran adalah noda dan virus sekaligus yang sangat berbahaya dalam banyak entri kausalitasnya. Namun dalam nyatanya, pelacuran adalah fenomena kemanusiaan yang laten dan imanen. Bak rumput teki di tanah lapang, meski sudah dikeringkan dengan jilatan api, masih tetap mengerubuti permukaan tanah kembali ketika kesempatan yang baik datang dari limpahan derai kasih sayang awan hitam yang menggumpal di lapik terawangan nun putih. Ia menjadi problema kemanusiaan yang berkisruh dengan sisi humanitas yang konservatif. Ia adalah tabu. Pelacuran bisa memiliki banyak sebab. Namun kebanyakan adalah modus ekonomi yang membuat pelacuran berjingkrak dalam luapan metamorfosis bisnis gila-gilaan. Ia bersedia menghantam tembok moral masyarakat, baik secara sembunyi-sembunyi ataupun dengan cara yang vulgar namun bersembunyi di balik penyamaran dengan manipulasi prosedural.


Pelacuran sebagaiman di atas adalah pelacuran dalam bingkai seksualitas, atau dalam arti harfiah dan generiknya. Fenomena yang menyelubunginya sangat kompleks, namun senantiasa berkutat pada interes erotisme tubuh (masokisme, narsisme,) dan interes komersialisasi tubuh. Hal ini memiliki paralelitas dengan fenomena yang menyelimuti praktik perpolitikan yang bermesum di hadapan kita. Dunia praktik politik atau politik praktis adalah eksperimentasi yang menampak secara empirik di medan hitam putih percaturan kelompok-kelompok masyarakat. Dunia politik praktis adalah pengejawantahan bagaimana bidak-bidak catur melangkah. Selalu ada lawan yang teridentifikasi sebagai pemeran antagonis. Ada struktur yang hirarkis, lengkap dengan pemain dan sesepuhnya.

Secuil gambaran menarik yang bisa dikomparasikan dengan fenomena pelacuran politik ini adalah kisah Memoirs of Geisha yang ditulis oleh Arthur Golden. Memang ada yang menyimpulkan bahwa geisha bukanlah pelacur sebagaimana pelacur yang biasanya, namun gambaran aktivitas sang geisha dengan segala kedok tradisinya, bagi penulis adalah hanya persoalan perbedaan dalam taraf terminologi dan perspektif. Secara substansial tiada berbeda, meskipun ada perbedaan status elitisme diantara tokiya (semacam puri). Nah, seperti yang diceritakan dalam kisah para geisha itu, di sana terdapat para geisha, tentu geisha starter dan geisha magang, sebagai pion-pion yang posisi dan perannya sangat utama, di samping pemilik tokiya dan seluruh jajaran tenaga teknis yang mengurusi segala keperluan geisha, mulai dari merias wajah dengan bedak yang super tebal, menata ramput yang super rumit, mengikat obi (ikat pinggang yang lebar), soal koleksi kimono yang banyak, sampai dengan mengajarkan keterampilan memainkan shamisen dan menuangkan sake yang baik. Semua stakeholder tokiya bertanggung jawab terhadap keanggunan performa geisha yang dimilikinya. Itulah titik kunci yang menentukan survive-nya mereka. Perspektif komersil inilah yang tampaknya menonjol pada lakon tokiya.

Dalam praktik politik, di sana terdapat kata kunci yang relevan dengan kisah budaya negeri Jepang itu, yakni bagaimana mengelola permainan politik dengan segala bentuk intriknya (strategi-taktik) yang mirip dengan strategi internal tokiya dalam membesarkan geisha serta strategi eksternalnya yang menampak dalam rupa klik-klik strategis dengan pihak pengurus arbitrasi, serta teknik propagandanya terhadap tokiya-tokiya maupun geisha tandingan. Kadang dengan cara yang tidak fair pun berlaku dalam konteks perebutan konsumen tokiya. Dalam praktik politik, ada pemain-pemain politik (geisha) dan ada pemilik privilege yang pro status quo dan tiranik (pemilik tokiya). Berbagai rupa cara dibolehkan ditapaki demi pemeliharaan status quo atau dalam rangka bertarung demi membangun piramida kekuasaan yang baru. Banyak sekali jargon yang meruap merupa bait-bait indah yang menggugah hati melenturkan kesadaran dan memandulkan sikap kritis masyarakat. Rasa-rasanya anjing berganti rupa menjadi domba. Lolongan berganti kembikan, seragam militerisme dan tiranik bertukar jubah putih para bijak bestari. Itulah rupa praktik politik yang selalu saja hadir dalam siklus kebermasyarakatan kita.

Dalam jargonnya, kebaikan adalah wangi semerbak yang keluar dari bibir-bibir retorik. Idealitas menjadi titah yang menggelegarkan dinding langit rutinitas kerakyatan yang sedang runyam. Ia menggema dengan corong masjid, bel gereja, kelenteng, vihara dan simbol-simbol sakral rakyat. Begitu luar biasa. Ibarat janji itu misi antariksa, ia akan membuat bulan purnama muncul lima kali dalam sebulan. Fantastik dan munafik!!!


.

Baca Selengkapnya...

Thursday, September 27, 2007

Adatku Sekarat


dulu...
duluu sekali
kata orangtua kita yang hidupnya lebih dulu
kala itu...

dulu...
memang waktu dulu
dunia masih hitam putih
meski tetanaman tetap menghijau
walau kembang-kembang tetap bermekaran warna warni
dan purnama tetap menyungging kuning gading di paras langit gulita

dulu...
masih yang dulu
kala sungai-sungai di kampung masih jernih dan berlimpah
cericit dan kicauan burung riang mengitari kediaman dan bantaran nun sejuk
kampung masih perawan
masih bersih dari tv
masih suci dari hasrat konsumeris
kala telapak-telapak kaki tak beralas karet dan limbah sintetik
rumah berdindingkan pelepah gaba-gaba beratapkan rumbia
bocah-bocah bermain riang di tengah alam yang ramah

dulu...
ibuku berkisah
tak ada fashion apalagi citra selebriti taik kucing
anak perawan tetap alami dari salon kuku dan rambut
tetap cantik walau tak berpoles gincu pabrik
tak ada dugem

dulu...
kakekku mendikte sejarah
kehidupan berjalan harmonis
mikrokosmos masih menghargai eksistensi makrokosmos
dunia tenteram
tak berhasrat dalam benak untuk mencabik-cabik
denaturalisasi, desakralisasi, dehumanisasi belum mewacana
sementara perilaku yang baik-baik mentradisi
turun temurun dan melekat menjadi identitas budaya
karena ia sebagai konvensi bersama kala itu hingga hari berganti,
masa bertukar warna
tradisi membentuk sistem tradisi menyesuaikan dengan masyarakat yang membentuk sistem kehidupannya
tradisi menelisik membentuk ideologi
tradisi bertukar logos dengan adat
adat menjadi permainan tanda yang menyejarah
dan adat akan melalui fase perjalanan sejarah yang sarat dialektika
kisah adat menjadi terbuka untuk dikaji sebagai konsekuensi historisitasnya

kini kisah adat telah berganti rupa bertukar watak
kisah hitam putih telah disikat opera warna-warni sebagai lokus eksistensinya di masa kekinian
adat dipaksa mereformasi watak dan mitologi
adat adalah sebuah tanda budaya
sementara dunia yang sarat dialektika sekarang menawarkan permainan tanda yang berseliweran buas
tanda menerkam tanda
tanda yang stagnan akan diterkam tanda agresif
itulah kekinian kita

kalau dulu...
itu sudah berlalu
sekarang tanda kehidupan berbalik arah
serba paradoks
adat kita telah bercengkerama dengan realitas kekinian
dan itu tak bisa dihindari
tak bisa ditolak
karena itu adalah keniscayaan sejarah

kini...
jangan heran ketika adat kehilangan elan vitalnya
adat kehilangan identitasnya yang supreme
adat menjadi sketsa lapuk dimakan usia
adat kehilangan konteks dan semangat zaman
adat menjadi ritual yang formalistik
hampa substansi
anak-anak adat tak kuasa berpuasa diri
tak tahan konsisten dengan dogma adat yang menjunjung tinggi etika kehidupan
karena ana-anak adat kini hidup dalam dunia yang menawarkan dimensi etika baru
etika global yang materialistik
etika materialistik yang kanibalistik dan hedonistik
akhirnya mencetak diri macheavilianistik dan kapitalistik
lipstik
etika yang menggerogoti ketahanan etika primordial
melahirkan alienasi besar-besaran
jiwa terpecah
mental hipokrit
candu...
anak-anak adat teralienasi diri
menjinjing identitas adat lama namun berperilaku adat baru
skizofrenia...
inilah penyakit zaman kita
adat lama yang anti dugem dan mengharamkan pesta pora ala binatang
kini anak-anak adat sendiri yang men-type-X sendiri aturan-aturan sakralnya
akhirnya adat lama hanya menjadi siulan penghibur penat di tengah hingar bingar kontestasi kampung global
ia dipajangkan sebagai hiasan
dalam musium peradaban kemanusiaan hari besok
karena anak-anaknya sendiri yang mendua dalam memapahnya

besok...
mungkinkah adat kita seindah dulu yang penuh nilai-nilai kebajikan?
ataukah metamorfosisnya yang dipaksakan zaman menjadi layak disimpan jadi abu?
jadikan itu sebagai pekerjaan rumah bersama kita

Baca Selengkapnya...

Saturday, May 12, 2007

Sentilan Kapitalisasi Tubuh


Kata orang, masa yang paling melelahkan adalah ketika seseorang belum melepaskana masa lajangnya. Entah berapa usia standar yang biasa dijadikan bahan mengelak bagi yang menjomblo untuk menampik lembut: Aku belum siap! Diperlukan kesabaran di atas nominal untuk sekedar melupakan semilir sapa yang menggugah hasrat. Mempersiapkan perisai hati agar tegar dan enjoy melupakan kembang-kembang peradaban yang tak henti mekar merampok suasana nyaman berjomblo.

ABG alias anak begitu gagah, anak bapak gaul, anak banyak gaya, anak baru gede dan seterusnya akronim yang merujuk kepada kalangan remaja yang belum menikah. Sebagai konsekuensi pencitraan yang buruk, ABG selalu diasosiasikan dengan generasi boleh coba semua, kenakalan yang enerjik dan citra negativ lainnyaز termasuk free sex, narkoba dan pangsa pasar kapitalis yang subur. Kecengengannya telah membuat para desainer produk kapitalis kreatif mengakomodirnya untuk memuaskan hasrat konsumeris serta menambah akumulasi keuntungan pada brankas-brankas kapitalis. Ia adalah bagian dari kehidupan kita, bahkan mungkin diri kita sendiri. Karena masa kini adalah masa coba-coba dan kecengengan sebagai senjata apologi yang ampuh untuk menekuk norma merobek titah, maka siapapun di dunia ini takkan mampu merintangi jemari mungilnya menjamah segala yang sorotan matanya sempat menyapanya. Dialah si ABG yang dalam kenyataan sosial sebagai kontestan yang paling besar jumlahnya memainkan peran yang sangat signifikan dalam bahtera umat. Masa depan umat akan berpindah secara estafet ke pundak-pundak mereka, karena itu pre-determined dalam mengawal dan membina spesimen umat ini menjadi tugas generasi non-ABG yang sangat berarti bagi deskripsi masa depan.

Memupuk Tauhid Sedari Hijau

Libido yang mengekang sebagai neuropatologis bagi setiap orang, khususnya ABG menjadikan pilihan-pilihan terapi psikologis dan mental menjadi pilihan altertnatif menjaga kesucian diri. Libido dapat membuncah menjadi energi yang destruktif atau dapat dijinakkan dan diarahkan kepada saluran-saluran yang potensial membakar dinamisasi dan progresivitas kreatif untuk tujuan-tujuan kampanye cinta dan ideologisasi pemaknaan cinta. Cinta yang dipilin energi spiritual mampu mengepakkan sayap Attar, berkontempelasi menguak tirai kefanaan, hingga sang Musthafa berkenan mengurai seloka Majnun yang berkubang dalam ketakberartian tubuh. Bukan cinta eros yang diidamkan sebagai sang pengemban titah luhur. Cinta yang picik.

Masokisme sebagai gejala psikologis Freudian yang menikmati suasana ketertindasan diri. Masokisme membawa sifat erotisme yang terpulaskan. Ia apatis atas setiap eksploitasi yang mampir. Sifat ini bisa dilacak pada sifat kekanak-anakan dan pemujaan tubuh oleh generasi ABG, tentu dengan tidak menjeneralisir persoalan. Masokisme bersetubuh dengan sifat narsisme yang mengidolakan keindahan dan kegagahan tubuh, baik gadis maupun perjaka, nona ataupun nyong. Centil, genit, seksi menjadi magnet ketika kenikmatan erotis menjadi candu dan memerlukan polesan-polesan bedak penanda ke-ABG-an. Sirnanya kesadaran diri tatkala memimpikan pendefenisian yang menggiring kepada dominasi makna eksistensial oleh si penikmat (tubuh) kepada pemilik tubuh. Didefenisikan dengan pengamatan berarti sirna nilai-nilai eksistensial kemanusiaannya.

Tutup auratmu, Aku Pria Normal

Tauhid sebagai pandangan hidup muslim senantiasa mengatur dan mengurusi serta menjelaskan tentang segala sesuatu yang melingkupi kehidupan manusia, mulai dari doktrin dan konsekuensi materil dan eskatologis syahadat, hingga problematika generasi muda seperti pacaran, trend berpakaian dan lain-lain cakupan secara universal. Mode berpakaian yang kini digandrungi sebagai kemenangan neoliberalisme mereformasi diri dalam pudaran kontestasi tanda yang sarat persaingan itu berefek, baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap kondisi umat Islam yang hidup dalam dunia yang penuh paradoks ini. Dari sisi tafsir ideologi Islam, hal ini membawa mudharat dan turut memperkeruh kesyirikan karena mengikatkan diri pada mode atau hasrat untuk memiliki sifat-sifat haywaniyah.

Zahra Rahnavard dalam bukunya Pesan Pemberontakan Hijab (2001) berusaha membangunkan ketiduran yang melenakkan bagi kaum muslimin, terutama kaum perempuan sebagai yang paling banyak jumlahnya. Dari ketidaksadaran bahwa ketidaksterilan interaksi antara kaum muslimin dengan budaya Barat, terutama komoditi ekonomi dan budaya produk kapitalisme menyebabkan terjadinya penyerobotan dan eksploitasi tanpa batas atas tubuh dan sensualitas perempuan. Ketika kaum perempuan memandang dengan penuh kekaguman dan menimbang bahwa kebangggaan memiliki tubuh yang indah dan sensual mesti mendapat apresiasi bebas bertubuh, kemudian tak ada batasan dan pengekangan atas kebebasan mengekspose dan menampakkan aura kemolekan dan kesuburan produksi tanda kecantikan yang mempesona, pada saat yang sama ada senyum tersembul dan gelak tawa penuh suka cita sambil terkekeh-kekeh dari pemilik merek-merek impor. Mereka sambil menyandarkan tubuh buncitnya di atas sofa empuk sambil menikmati tayangan layer kaca betapa bodoh dan mudah dijadikan sasaran produk kapitalis, masyarakat dunia ketiga. Perempuan direduksi maknanya menjadi sekedar sosok bertubuh indah dan mengandung potensi sensualitas yang laku untuk dikomodifikasikan.

Pesan yang disampaikan oleh Zahra Rahnavard kepada seluruh muslimah dengan retorikanya yang agitatif tentang peranan hijab dalam perjuangan melawan penghisapan dan penindasan kaum kapitalis-kafir, seakan menampik standar apriori yang menyudutkan posisi dan kelemahan kaum perempuan di tengah arus globalisasi yang semakin pervasive. Kaum perempuan (muslimah) harusnya menyembunyikan kemolekan dan keseksian tubuhnya yang pada dasarnya tidak halal menjadi konsumsi publik itu di balik hijab atau jilbab. Dengan proteksi semacam ini minimal segmentasi produk kapitalisme akan hengkang mencari celah yang lain dan bukan celah eksploitasi dan kapitalisasi tubuh, atau bahkan secara radikal menutup segala celah masuknya komprador kapitalis dalam dimensi social-kulturalnya dengan mekanisme proteksi yang baru.

Potensi sadisme yang intrinsik dalam kapitalisme modern membawa dampak yang menggila terhadap tatanan mikrokosmos (manusia) dan keteraturan makrokosmos (alam sejagat) baik secara langsung maupun sebagai efek domino secara holistik. Sadisme termasuk gejala nekrofilik Freudian yang bersorak-sorai kegirangan, mendendangkan genderang kepuasan tatkala menikmati parodi penindasan, eksploitasi, objektifikasi dan sebagainya yang sedang diratapi oleh orang lain sebagai objek sadisme. Kapitalisme ibarat sang kaisar yang menikmati penaklukan terhadap komunitas masyarakat yang anti takluk dan tekuk di bawah singgasananya. Ia akan meluap perasaan bahagianya ketika dijuluki sang penakluk yang berjiwa macan, sukses membunuh manusia-manusia yang 'bandel', tidak penurut. Semakin besar efek dan sasaran kerusakan yang timbul, semakin membuatnya berbahagia. Kapitalisme yang hegemonik dalam menguasai pangsa pasar ABG yang tersebar dalam jumlah yang sangat besar ini semakin membuatnya puas dan kepuasan yang pertama ini tidak akan mencukupi akibat hasratnya yang tak terbendung atas akumulasi modal.

Tauhid sebagai paradigma muslim dalam menggauli kehidupan adalah perisai luhur untuk mengadvokasi individu dan umat dari segala bentuk dan manifestasi kesyirikan. Kesyirikan mengejawantah dalam anasir dan manifestasi yang beragam. Termasuk kecentilan, keseksian atau pamer erotisme tubuh, masa muda masa coba-coba dan lain-lain yang menempatkan hawa nafsu sebagai tujuan utama atau tujuan sesaat menikmati usia muda sebagai ABG. Padahal sejatinya rel yang mesti digerbongi adalah sebagaimana petunjuk-petunjuk Ilahiah yang suci (al Qur'an dan al Hadits) yang telah memberikan titik terang batasan antara kebolehan berekspresi dan ketidakbolehan pacaran, berpakaian minim dan ekspresi lainnya.



Baca Selengkapnya...

Friday, March 30, 2007

HMI

Rakyat Menyolid Melibas Neolib

(Sekilas Gerakan Tamadduni)

Terdapat empat poin yang bisa dianalisis sebagai stand point aktualisasi semangat proyek perekayasaan sosial, yakni ‘Konsolidasi kebudayaan’, ‘masyarakay sipil’, ‘gerakan tamadduni’ serta ‘neoliberalisme’. Gerakan Tamadduni diarahkan kepada realitas rakyat atau kondisi sosial Indonesia dan sebagai sebuah diskursus peradaban yang menyangkut realitas masyarakat Asia Tenggara. Ketimpangan yang dialami dalam dinamika kehidupan historis masyarakat Indonesia memerlukan sebuah perbaikan dan perubahan yang mengakar secara keseluruhan (transformasi sistemik bangunan suprastruktur, struktur dan kultur kebangsaan). Hal ini akibat dari lapuk serta membusuknya kekuatan-kekuatan kebangsaan yang lunglai di sana sini. Makanya perlu diadakan tiga macam konsolidasi yang sekiranya berdampak positif bagi rekonstruksi kemanusiaan dan kebangsaan kita dalam kekinian. Konsolidasi ekonomi untuk kemandirian ekonomi; konsolidasi politik untuk kemerdekaan politik serta konsolidasi kebudayaan untuk pencapaian budaya adihulung.

Adalah sebuah keniscayaan ketika berbagai upaya penguatan atau konsolidasi yang dalam realitasnya berhadapan vis a vis kekuatan asing yang dominatif dan hegemonik, yang berwujud Transnational Corporation (TNc), Multinational Corporation (MNc), IMF, World bank dan lain-lain yang adalah manifestasi agen predator dalam bidang ekonomi. Badan-badan ini sangat kuat dan seperti gurita jaringan serta jeratan eksploitatifnya menyebar dalam sebaran negara yang banyak terutama negara-negara dunia ketiga. Negara dunia ketiga yang sebagian besar adalah negara—negara di benua Asia, Afrika dan Amerika Latin yang terkategorikan negara-negara miskin dan berkembang, salah satunya Indonesia.

Ketika peran asing yang terejawantah melalui lembaga-lembaga donor internasional serta korporasi-korporasi raksasa menanamkan kepentingannya dalam negeri maka timbullah kooptasi atas pemerintah yang berujung pada hegemoni dan kejahatan sistemik atas masyarakat sipil akibat dari keberalihan dan keberpihakan pemerintah kepada kaum pemilik modal (kapitalisme, korporasi-korporasi asing multi-transnasional). Pemerintah menjadi kehilangan independensi dan kemerdekaannya sebagai institusi pengemban legitimasi masyarakat sipil (masyarakat non pemerintah/ birokratis). Biasanya strategi yang dibuat sangat memukau dan membuat kita sebagai kaum inlander terpaksa gigit jari hingga tiada habisnya. Salah satu strategi neoliberalis adalah dengan menempatkan figur-figur bonekanya yang berperan dengan kemampuannya yang terpakai sebagai fungsionaris atau ahli-ahli pemerintah, misalnya kasus menteri keuangan, menteri perdagangan Republik Indonesia dan lain-lain.

Secara sederhana masyarakat dalam negara kita terbagi kedalam tiga entitas, yakni masyarakat negara/ pemerintah, masyarakat pemilik modal dan masyarakat umum mayoritas yang berada di luar kedua entitas tersebut. Karena posisinya inilah maka masyarakat sipil senantiasa berpeluang untuk menjadi korban perselingkuhan entitas negara/pemerintah dengan kaum kapitalis/pemilik modal. Sistem yang terbangun tidak bergerak ke arah keseimbangan dan harmonitas tatanan sosial, akan tetapi malah sistem yang mewujud adalah bersifat otoriter dan menghasilkan efek pelemahan terhadap masyarakat sipil. Neoliberalisme sebagai model kapitalisme baru yang mengglobal tidak hanya berdampak buruk atas eksploitasi ekonomis semata, namun berhasil meletakkan virus-virus melumpuhkannya pada wilayah politik, sosial budaya dan lainnya sistem kehidupan manusia. Dalam bidang kebudayaan, pelemahan sistemik mengakibatkan krisis eksistensial masyarakat sipil yang ditandai oleh terkikisnya nilai-nilai budaya.

Wilayah kebudayaan sangat strategis dan bisa dijadikan modal sosial untuk transformasi. Pelemahan terhadap kebudayaan berarti melumpuhkan modal sosial ini. Namun karakter yang potensial sebagai modal sosial dari keunikan dan budaya lokal mampu dikomodifikasikan oleh hantu neoliberalis dengan memanfaatkan piranti media massa dan sifat konsumeris dari tabiat dasar manusia.

Kontrol atas neolib biasanya dilakukan dan menjadi tanggung jawab masyarakat sipil. Salah satunya adalah Non Government Organization (NGO), meskipun ulasan mengenai NGO sangat dilematis terutama karena sumber pendanaannya sebagian besar dari agen-agen kapitalisme global hari ini. Telisik saja kasus kita di Indonesia. Kepentingan pragmatislah yang kadang-kadang menggila di antara tuntutan reformasi atau revolusi sistemik. Di satu sisi, keberadaan NGO adalah agen masyarakat untuk upaya transformasi, namun di sisi yang lain ia adalah agen neoliberalisme yang berkedok pemberdayaan masyarakat. Ironis memang. Hubungan-hubungan modal ini sudah kompleks cakupannya sehingga pilihan gerakan perlawanan yang ditempuh pun tidak bisa tidak harus kreatif dan pantang menyerah.

Pemerintah dapat memainkan peran yang signifikan dalam mengeliminir kuasa destruktif neoliberalisme ini dengan cara memperketat regulasi-regulasi yang mengatur tentang eksistensi dan peran neolib di dalam negeri. Dengan kebijakan proteksi kepentingan ekonomi, politik dan sosial-kultural masyarakat sipil, berarti permerintah memihak dan membela kepentingan rakyat serta menegasikan eksistensi neolib sebagai komprador gemuk yang wajib diusir. Namun harapan seperti itu sudah basi untuk dikunyah rezim pemerintah yang terpaksa harus melayani hajat neoliberalisme sembari menutup mata hatinya dari kemelaratan dan kemiskinan sistemik rakyat.

Gerakan masyarakat sipil (civil society) dalam membendung laju kuasa dan tekanan neoliberalisme kurang menggigit dan bahkan dalam kasus-kasus tertentu tidak efektif dan merugikan. Sebut saja NGO yang getol merancang agenda demokrasi, HAM, kebebasan dan seterusnya yang telah disadari merupakan anasir-anasir feodalisme Eropa. Proyek yang dusung guna pemberdayaan masyarakat sipil, katanya demi pencerahan masyarakat, namun ia terlalu berbau Eropa yang mana tersimpan jerat laten hegemoni paradigma. Apabila nilai-nilai ini sukses diterapkan di Indonesia maka dengan sendirinya meratakan aspal bagi bebasnya neolib menancapkan kuku eksploitasinya dan bebas menginjeksikan libido rakusnya yang tanpa batas itu. Sementara di sisi lain ruang-ruang civil society sekarang dihandle oleh negara, misalnya komisi-komisi yang dibentuk. Ada Komisi Nasional HAM, Komisi Yudisial dan Komisi Komisi Konstitusi dan lain-lain.

Dalam berkonsolidasi kebudayaan, potensi kultural bisa dijadikan modal sosial. Nilai-nilai ontologis budaya yang ditekankan dan bukan melulu prioritas nilai-nilai materil/bentuk. Selain itu masyarakat dapat bersatu dan mendefinisikan musuh bersama mereka (common enemy) adalah neoliberalisme, tentu saja dengan tidak melupakan aspek amar ma’ruf nahy munkar secara luas. Kritikan atas budaya lokal, karena selama ini senantiasa bersifat nasionalisme etnik yang mematahkan sayap hasrat mentransformasikan realitas. Konsolidasi kebudayaan perlu didukung oleh konsolidasi ekonomi dan politik.

Baca Selengkapnya...

Usamah bin Laden dan Pertarungan Ideologi

Adalah semacam komitmen eskatologis tatkala hati telah bertutur dalam kesunyian yang penuh keyakinan dan ketulusan dihiasi tatapan mata yang penuh optimis dan menyinarkan letupan asa yang membuncah lewat wirid-wirid kebajikan, mengobarkan perang terhadap setan-setan serakah yang tak pernah merasa pulas, leviathan, genderuwo, koruptor, kuntilanak hingga Ehud Olmert, Condoleeza Rice, Bush, Blair, Islam Karimov dan berjuta yang sejenis simbolisasi Fir’aun, Qorun, haman, Qabil dan seterusnya. Meminjam judul bukunya Eko Prasetyo, ‘Assalamu’alaikum, Islam agama Perlawanan’, pas rasanya ketika retak-retak imaji yang nyaris meluap ditelan hawa panas Bumi Indonesia menemukan koherensi makna dalam proklamasi sepi memburu cecak pengusik semadi yang selalu terjaga penuh was-was di setiap dinding warga sipil yang seolah tak merasa terusik, meski bukan karena warnanya yang mirip loreng marinir Amerika Serikat di kota baghdad.

Ajaran Islam menegaskan kewajiban melakukan amar ma’ruf nahy munkar, baik secara sendiriian maupun secara berjamaah/terorganisir. Bahkan selama keberadaan manusia dan sistem sosialnya belum musnah akibat hari kiamat. Sejauh nafas masih ada, tanggung jawab kesalehan pribadi dan sosial ini masih berlaku. Karena setan dan segala macam anasirnya senantiasa menumpangi bajaj umat manusia. Senjata perlawanan berupa keilmuan yang dimiliki umat Islam yang kemudian mendapatkan penekanan dalam mengupayakan terciptanya situasi tata dan hubungan sosial yang damai, aman, egaliter, terbuka dan sifat-sifat kebaikan lainnya yang menyelimuti masyarakat.

Ideologi yang adalah tafsir sosial, seperangkat nilai atau sistem kepercayaan yang digunakan untuk mendefenisikan realitas (defenisi George Lrran), tak pernah bebas nilai dan kepentingan. Ia bersifat ekspansif yang bekerja dalam perebutan makna, karena berkaitan dengan naluri primitif manusia serta kuasa di balik titah ideologi. Karena itu dalam pusaran kontestasi perebutan kuasa makna di setiap konteks kehidupan manusia akan ditemuykan adanya dialektika bauk yang bersifat elaboratif konstruktif serta sintetis maupun antagonistis destruktif. Perjalanan epos kemanusiaan selama ini senantaiasa tak lepas dari drama semacam ini. Ia ada pada setiap ruang kebudayaan manusia. Karena sifat dasrnya yang selalu berkaitan denfgan manusia sebagai makhluk simbolik. Proses persinggungan antar ideologi yang melahirkan kolaborasi sintetik akan bermanfaat bagi cita-cita ideologi tersebut. Contohnya ketika Ali Syari’ati mengelaborasikan pemikiran Marxisme yang diadaptasikan sebagai alat analisis revolusioner dengan tafsir atas ajaran-ajaran islam yang muatan teksnya senantaiasa runtut dalam logika kesempurnaan. Kolaborasi sintetik ini kemudian melahirkan tafsir Islam yang revolusioner-transformatif. Perjumpaan tanpa senyum antar ideologi yang berbeda melahirkan bencana peradaban, apabila ideologi yang mewakili simbol-simbol jahimiyah dan taghut yabng buas akan nilai-nilai kemanusiaan universal menjadi sang penakluk yang angkuh. Dunia akan dibuatnya menjadi arena penghisapan atau eksploitasi yang paradoks dengan cita-cita kemanusiaan tertinggi.

Sifat dasr ideologi yang ekspanmsif ini dapat mengakibatkan narsisme, sadisme dan masokisme yang menyuramkan sketsa perjuangan kehidupan manusia yang majemuk. Keyakinan akan supremasi ideologi menggiring manusia kepada sikap eksklusif dalam menerjemahkan pola keberadaan dan peta sosial. Ada cinta yang meluap dan berlebihan kepada subjektivitas serta menggali jurang yang menganga di hadapan the other yang dideskripsikan dan didefenisikan menuriut ukuran-ukuran the self. Wewenang atas kehidupan menjadi miliknya karena the other hanyalah sampah.

Kepuasan terasa nikmat tatkala menikmati penindasan atas the other. Sesuatu yang menyenangkan hati. Sifat dasar sadisme memperkosa hak-hak kemanusiaan dan ini sangat destruktif bagi tatanan sosial yang multikontestan ini. Sementara masokisme melemahkan bagi perjuangan melawan penindasan dalam arti yang luas akibat sifatnya yang apatis atas realitas yang membelenggu. Ia adalah situasi kemalasan eksistensial yang akut karena menikmati suatu kondisi yang timpang, ekstasi jiwa yang oportunis. Ketiga sifat dasar efek ideologis ini kadang kita temukan dalam kehidupan kita yang paling sederhana.

Lilin-lilin kecil memang tak bisa disandingkan dan dipertaruhkan sinarnya terhadap rembulan yang nurung di atas teluk. Namun tiada keputusan menyerah ketika membalikkan teropong menengadah ke sinar di balik awan pekat sambil mengeksekusi dengan keberanian bahwa sinar-sinar kecil di pucuk lilin akan mengalahkan sang rembulan yang nyaris sekarat ditutupi sayap-sayap malaikat. Kitalah pemenang itu. Sama halnya ketika kelompok masyarakat yang termarjinalkan oleh dominasi dan hegemoni nekrofilik kelompok lain yang powerfull mampu mendikte suapan hidup dan hajat objek sadismenya. Hanya dengan keyakinanlah batu sandungan itu bisa dijadikan pasir halus dan kerikil-kerikil indah sebagai mozaik peradabannya. Keyakinan bahwa di manapun tirani haruslah tumbang. Keyakinan inilah sebagai spirit untuk memperkuat usaha-usaha yang tertata kuat dalam upaya konsolidasi gerakan melakukan perlawanan atas parasit ideologi dalam tataran konseptual atau ide-ide dengan mengeliminasi dan memusnahkan virus sadisme, narsisme dan masokisme yang bersemayam pada substrat ideologi serta produk materil ideologi yang menyebabkan alienasi dan dekonstruksi kemanusiaan.

Simbolisasi Usama bin Laden dan Kuasa Ideologi

Lebat janggutnya, bersorban, menggenggam senapan AK-47 sembari telunjuknya mengutuk sesuatu, berjubah putih dengan balutan rompi militer khas gurun Afghanistas, di dekatnya ada moncong-moncong mortir siap lontar dan dari mulutnya meruap wirid-wirid pujian kepada sang Penguasa semesta dan kutukan kepada simbol-simbol setan berdasarkan tafsir anti kezaliman dalam Islam. Dialah sang fenomenal pada abad keduapuluh satu ini. Usamah bin Ladin. Sosok yang dariwajahnya tergurat aura yang tenang dan menampakkan kesedrhanaan serta kebijaksanaan lewat jubah putihnya. Ada nilai-nilai Islam yang diperjuangkan oleh orang ini. Itulah mungkin kesan yang membulir pada memori kaum muslim ketika menatapnya. Namun kesan yang buruk akan menyelonjor dari bibir orang lain yang cara pandangnya secara diametral berbeda dengan yang pertama. Sosok monster dan momok yang menghantui. Beliau diidentikkan dengna laku kekerasan, tokoh teroris dunia, Islam fundamentalis, Islam radikal-teroris, Islam agama yang menakutkan dan seterusnya akibat bias pencitraan yang buruk.

Simbol anti kapitalisme barat (Amerika serikat) sekaligus simbol teroris dunia. Sosoknya dilematis. Bagi kelompok masyarakat yang menghendaki pembalasan setimpal atas hegemoni Amerika Serikat beserta sekutu-sekutu kapitalisnya, sosok Usamah bin Laden akan dirujuk sebagai pahlawan dan memanfaatkan simbolitasnya dalam gerakan perlawanan melawan penjajahan global ini. Karena citra yang dibangun oleh media sudah luar biasa tentang simbolitas teroris seerta defenisi Bush-sentris tentang standar-standar kebenaran dan kejahatan semakin menggila dan pervasif menyebabkan kekacauan pemaknaan atas realitas yang muncul tenggelam pada permukaan riak peradaban global paradoksal ini. Dalam kondisi demikian terjadi perebutan makna dan ideologi yang menguasai piranti teknologilah yang muncul sebagai menggila dan pervasif menyebabkan kekacauan pemaknaan atas realitas yang muncul tenggelam pada permukaan riak peradaban global paradoksal ini. Dalam kondisi demikian terjadi perebutan makna dan ideologi yang menguasai piranti teknologilah yang muncul sebagai the winner. Teknologi informasi yang luar biasa saat ini mampu berperan signifikan dalam dagelan politik dunia, tidak ketinggalan komersialisasi dan kolonialisasi makna atas defenisi terorisme.

Terlepas dari kesahihan data intelijen dan vonis kontroversial George W. Bush atas pelaku teror 11 September 2001 yang kemudian memenjarakan kaum muslim dalam sel-sel peradaban global, penjara makna corong-corong media dan jurbnalisme tendensius, kini sosok Usamah bin Laden adalah sosok jahat sebagai simbol nilai-nilai Islam yang dipelintirkan media dengan kuasa di balik itu semua. Kekejaman pencitraan tidak kalah jahatnya dengan efek destruksi sebuah peristiwea teror. Hal ini karena akan berlangsung efek domino terhadap dimensi-dimensi yang lain dari kehidupan sosial pihak yang dicitrakan (dalam hal ini umat Islam).

Dialektika yang destruktif antara ideologi kapitalisme dengan simbolnya Amerika Serikat beserta sekutu-sekutunya dan Islam yang disimbolkan oleh media dengan ekstremitas dan radikalitas (istilah ini bias kuasa dan kepentingan hegemonik Bart) Usamah bin Laden dengna kelompok Al Qaedah-nya , Hizbullah di Lebanon, hamas di palestina, mahmoud ahmadinejad di Iran, Taliban, Laskar Checen di Chechnya, Muslim Moro dengan MILF-nya di Filipina selatan, hingga Ustadz Abubakar Ba’asyir di Indonesia, merupakan dialektika sengit mempertaruhkan dua pandangan hidup yang saling berlawanan secara vis a vis, sebagai manifestasi prinsip-prinsip ketauhidan yang mengejawantah dalam perjuangan menentang kezaliman serta menebarkan cinta dan pesan keadilan bagi pihak muslim. Sementara barat memperjuangkan pandangan hidup materialisme sekulernya secara prinsipil tidak akan ditolerir oleh kaum muslim. Wallahu a’lam bishowab.

Baca Selengkapnya...

Thursday, March 29, 2007

epistema

Sains dan Kehendak untuk Berkuasa

Knowledge is power
(Francis Bacon)

Sains modern telah memosisikan dirinya sebagai antagonis terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan kuno yang bertujuan untuk memperoleh kebijaksanaan dan memahami tata alam demi hidup dalam alam semesta secara selaras (harmoni). Carolyn Merchan dalam The Death of Nature1 mengeritik pandangan atau konsepsi ilmu pengetahuan tradisional (Baconian) yang menurutnya mengandung pandangan mekanistik tentang realitas serta berorientasi laki-laki (maskulinisme) dan dominasi yang ditunjukkan melalui pernyataannya yang terkenal, “knowledge is power”. Bacon sebagai tokoh utama disamping Descartes, Hobbes dan Newton) mengemukakan perlunya pendekatan empiris terhadap ilmu pengetahuan serta peran ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memahami hukum-hukum alam yang dapat dimanfaatkan untuk menguasai dan mendominasi alam. Merchan mengemukakan pandangan Bacon tentang keharusan ilmuwan untuk ‘mengejar dan mencecar’ alam agar dapat menguakkan rahasianya. Alam (she) harus dijadikan sebagai objek ‘pemenuhan kebutuhan manusia’, dijadikan sebagai ‘budak’ pemenuh kebutuhan (Merchan, lihat Capra, 258)2.

Akar-akar kehendak untuk berkuasa pada sains dapat kita telusuri jejaknya pada perjalanan dan kemajuan Dunia Barat semenjak Revolusi Industri di Inggris yang ditandai dengan munculnya pelbagai macam penemuan baru di bidang teknologi mekanik seperti mesin uap oleh James Watt. Penemuan-penemuan yang spektakuler untuk ukuran zaman itu telah memposisikan para saintis dan pemikir positivisme pada posisi keyakinan akan supremasi metodologinya untuk kemudian meruntuhkan dan mengeliminir sabda-sabda metafisika yang direpresentasikan oleh dogmatisme gereja dan para folosof platonis yang keras kepala dengan pandangan metafisikanya. Donny Gahral Adian3 menulis bahwa Aristoteles menolak idealisme Plato dengan mengatakan bahwa pengetahuan kita harus berangkat dari benda-benda konkrit yang terpersepsi indera untuk kemudian diabstraksikan menjadi pengetahuan akal budi yang bercirikan universal. Aristoteles berpegang teguh pada diktumnya, “nihil est in intellectu nisi cuod prius in sensu”. Yang artinya, tidak ada satu pun yang terdapat di akal budi yang tidak lebih dulu ada pada indera.

Sains yang merupakan anak kandung metode ilmiah telah menunjukkan dan mengartikulasikan potensi penguasaannya terhadap alam dan manusia. Dalam tataran praksis kehidupan kemanusiaan, sains terbukti dijadikan sebagai instrumen untuk mengeksploitasi sumberdaya alam tanpa pertimbangan ekologis yang selanjutnya berdampak pada masalah-masalah degradasi lingkungan. Karena alam dalam paradigma yang membangun sains (positivisme) berada dalam posisi objek yang terpisah (the other) serta nihilnya nilai-nilai metafisika pada setiap penampakan alam (desakralisasi) menyebabkan manusia yang mengendalikan sains beserta piranti teknologinya merasa yakin dengan kebebasannya untuk memperkaya pemilikan pribadi dengan semena-mena menguras kekayaan alam. Demikian halnya terhadap manusia, sains yang dikampanyekan bebas nilai itu menyebabkan manusia mengalami alienasi dari kediriannya sebagai manusia.

Ketergantungan dan kepercayaan yang berlebihan atas paradigma positivisme yang bervarian sains beserta teknologi modern menimbulkan bencana kemanusiaan yang langgeng hingga hari ini. Ketika metode ilmiah yang biasanya dipakai untuk mencandra objek ilmu alam diadopsi pada penelitian dan peneropongan atas realitas sosial kemanusiaan yang kemudian menghasilkan kesimpulan dan determinisme sosial yang gersang. Penerimaan atas keterberian standar pendefenisian sosial menyebabkan ketimpangan akibat kuasa dan kepentingan yang menelikung membuntuti setiap eksplorasi atas dunia sosial oleh peneliti yang berpikiran mekanik. Manusia terpolakan dalam kertas kerja sebagai objek fisikal yang oleh Herbert Marcuse tereduksi maknanya sebatas makhluk satu dimensi (one dimensional man).

Marcuse4 mengeritik rasionalitas formal (instrumental) dan teknologi modern yang disemangati jiwa kapitalisme. Teknologi modern menurut Marcuse tidak bersifat netral, akan tetapi telah digunakan untuk menguasai rakyat. Kemajuan sebagai teori dialektis, hanya dapat dipikirkan dan dianalisis dengan mengaitkannya dengan kemunduran yang ditimbulkannya. Karena kemajuan hanya terjadi jika ada sesuatu yang dihancurkan atau ditolak seperti menghancurkan rasionalitas mitis. Penghancuran ini dianggap membebaskan manusia dari kekuatan dan ketergantungan pada alam.

Dilihat dari suksesnya sains dan teknologi abad ke-20, orang mengira sains telah mencapai puncaknya. Teori-teori sudah mapan dan semuanya dapat diterangkan dengan teori-teori yang ada. Namun, sejarah mempunyai kisah yang lain. Asumsi-asumsi teoritis yang telah lama mempertahankan mapannya sains modern, satu per satu diruntuhkan oleh penemuan-penemuan terbaru yang tak kalah fantastiknya. Sebut saja teori fisika kuantum yang meruntuhkan asumsi-asumsi atomisme deterministik paradigma newtonian. Metode ilmiah sebagai kerangkeng pengetahuan memenjara manusia pada domain berpikir yang rigid, linier dan gersang (hilangnya nuansa estetika) hingga apatis atas ketimpangan status quo. Metode ilmiah sebagai password menuju kerajaan ilmiah.

Sains sebagai fenomena sosial dijadikan alat untuk menjajah. Pemaksaan metodologi serta simulasi tanda yang terlembagakan dalam institusi pendidikan mengantarkan sains pada posisi menara gading. Ketika invasi kultural ini meluas melalui mekanisme penaklukan atau kolonialisasi dalam waktu yang sangat lama, menyebar ke wilayah dengan corak kebudayaan yang beragam, dengan inkulturasi yang melelahkan antara keunikan lokal dengan kepongahan budaya Barat atau infiltrasi imperialisme. Peran sains dalam menggambarkan realitas sosial-kultural menjadi aktivitas paradoksal. Puncak peradaban positivisme ketika dipaksakan mentah-mentah atas kekhasanan lokalitas kemanusiaan di luar lokus kuasa dan legitimasi. Mereka tidak akan menimbulkan sintesis yang konstruktif, ketika kesenjangan metodologi dipaksakan. Dalam hal ini saintisme modern yang mengeksplorasi dinamika kemanusiaan.

Kerusakan yang terjadi disebabkan paradigma sains yang memandang dunia secara mekanis, berlawanan dengan paradigma holistik yang memandang dunia secara organis. Ketika Eropa atau Barat diposisikan berdasarkan cara pandang sains yang memetakan subjek dan objek dalam posisi yang tidak setara, maka legitimasi Barat untuk menguasai atau menjajah Dunia Timur termasuk Indonesia sebagai salah satu negara yang terkategorikan negara berkembang kalau bukan negara miskin, adalah sesuatu yang absah dan menjadi keniscayaan sejarah.

Barat dalam posisinya sebagai subjek yang rasional menjadikan alasan ke-irasionalan bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin untuk melegitimasi penjajahan atasnya. Padahal kriteria rasional yang diyakini oleh Barat sangat berbau kepentingan kuasa dan otoriatarianisme. Bangsa-bangsa yang dijajah oleh Barat dituding sarat dengan praktik-praktik yang tidak ilmiah. Mereka berkubang dalam telaga tahyul, bid’ah, khurafat, mistik dan lain-lain kekayaan budaya non-ilmiah. Karena rasional, maka Barat mengklaim diri sebagai yang modern, sementara Dunia Timur adalah tradisional.

Masyarakat yang masih tradisional selalu identik dengan masyarakat yang bodoh karena legitimasi keilmuannya tidak membutuhkan pengabsahan dari institusi pendidikan formal yang terlembagakan dengan nama sekolah. Sekolahlah yang memegang legitimasi atau memiliki otoritas mengeksekusi kebenaran pengetahuan, sehingga pengetahuan-pengetahuan lokal dan khasanah kearifannya dinyatakan tak bernilai apa-apa kalau bukan omong kosong yang harus ditinggalkan.

Barat yang modern dengan semangat saintismenya mengobarkan perlawanan terhadap kebodohan yang disebabkan oleh ketidakpedulian terhadap sekolah. Bagi Barat, masyarakat yang beradab adalah masyarakat yang menghargai pentingnya pendidikan ala Barat, sehingga verifikasi batas-batas keberadaban suatu kaum atau masyarakat diukur dari sejauh mana tingkat apresiasi dalam bentuk aktualisasi produk materil sains untuk kemaslahatan dan kemajuan masyarakat. Sehingga masyarakat yang tidak kooperatif dalam menanggapi sabda Barat ini dengan sendirinya akan termarjinalkan dan terdefenisikan sebagai masyarakat yang belum beradab.


Catatan kaki:

1. Akhyar Yusuf Lubis, dekonstruksi Epitempologi Modern, 2006, hal.92
2. Ibid, hal.93
3. Donny Gahral adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, 2002, hal.31
4. Akhyar, op.cit., hal.27

Baca Selengkapnya...

Tuesday, February 27, 2007

politea

Pilkada 2007; Omong Kosong untuk Rakyat

Sebuah catatan pinggir saat mengikuti Training Hukum,
HAM dan Politik HMI MPO Cabang Makassar


Setiap manusia adalah pemimpi. Anak cucu Adam alaihissalam menebar benih-benih cinta dan membangun peradabannya di atas bebongkahan artefak hasrat yang menyejarah dalam setiap buncahan imajinasi dan kreasi mimpi. Mimpi menyimpan berjuta pesona dan kenikmatan khayali yang sangat potensial diaktualisasikan dalam bentuk inspirasi pemerkaya varian-varian motif peradaban. Mimpi yang menjadi pengalaman eksistensial manusia sebagaimana dilukiskan oleh Henry Bergson mengalir ibarat fluida dinamis dalam durasi yang melintasi aspek ruang dan waktu, mengakibatkan semua adegan yang merona di layar mimpi terasa funtastic dan bahkan menolak logika tempat tidur. Mimpi menjadi dirinya sendiri. Ia melengkingkan suaranya dalam kesenyapan yang dalam, membentangkan sayap hud-hud dan semakin menjauh dari kesadaran tapak kaki menuruti kafilah burung Attar. Bagai pungguk merindukan bulan. Begitulah guratan nasib yang dialami oleh berjuta rakyat kita. Harapan untuk mewujudkan kemerdekaan sejati hanyalah menuai buah simalakama. Hanyalah sekepal mimpi. Sekerat bunga tidur. Kemerdekaan menjadi idiom keramat tatkala bola mata kita menerawang nasib yang menggunung pahit. Mata hati teriris bak sembilu melaburi racunnya di saat ratapan kemiskinan sistematis itu semakin menggelegar, ditambah berjuta ironi keadilan dan paradoks kemanusiaan dipertontonkan oleh para pembajak kepentingan rakyat dengan dalih demokrasi. Kini semua adegan itu dilakonkan di hadapan mata kita yang nyaris memerah dan berdarah karena air mata tak tega mengering.

Untuk menelisik bentangan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yanag diperhelatkan di tahun 2007 ini, khususnya Sulawesi selatan, dibutuhkan konsistensi di dalam merajut benang-benang kusut yang saling berjalin ko-eksistensi dan ko-transformasi di dalam labirin problema ke-Indonesiaan, mulai dari pemahaman konstelasi perang kepentingan dan ketidakadilan global, struktur anatomi sistem ke-Indonesiaan dalam konteks ketidakadilan global (neoliberalisme), hingga fragmen-fragmen dinamika yang mengindikasikan proses dialektika teori strukturasi Anthony Giddens dalam setiap relung kemanusiaan. Mulai dari persoalan ideologi, ekonomi, sosial, budaya, politik dan lain-lain sebagai bercak-bercak historis Negara Kesatuan Republik Indonesia yang konon katanya sangat berlimpah ruah kekayaan alamnya dan manusianya sangat ramah kepada setiap bule yang mampir menikmati eksotisitas dunianya.

Tatanan global kontemporer (dari dulu juga), dalam terminologi hukum Islam, haram untuk diklaim berkeadilan dan berkeadaban, karena hal itu hanyalah omong kosong belaka ketika merunut kepada jargon-jargon para koboi dunia (Amerika Serikat beserta sekutunya plus lembaga-lembaga injektor kapitalisme-neoliberalisme). Mungkin ketidakadilan ini baru akan diperbarui atau dituntaskan di pengadilan Allah Swt ketika semua umat manusia dikumpulkan di hari kiamat. Pengadilan teradil.

Beralih kepada bagaimana para elite bangsa kita mengemudikan bahtera rakyatnya di segara yang penuh riak dan gelombang nafsu, penindasan, pemerasan, pembodohan, pemiskinan, penaklukan, perampokan dan seterusnya segala manifestasi kejahatan. Sudah menjadi rahasia umum bahwasanya negara (baca: elite eksekutif, elite yudikatif dan elite legislatif) telah terang-terangan tanpa rasa malu mengkhianati peran-peran kerakyatan dan nasionalismenya demi bersenyawa dengan kaum pemodal-cukong (kapitalis-korporatis), baik pemodal asing (via investasi, hibah dan lain-lain) maupun para kapitalis lokal yang menurut Revrizond Baswir (2001) bahwa piutang negara dari kapitalis lokal ini memakan bunga (riba) yang lebih besar daripada piutang asing. Manusia secara kodrati dianugerahi hasrat dan akal pikiran yang memanifestasikan kebebasan memilihnya. Kaum elite negara ini berhasil dalam mengoptimalkan potensi hasrat dan akal bulusnya untuk memenuhi tuntutan hasrat yang tak terbatas, seraya membukukan dan menghitamkan jiwa kemanusiaannya yang mestinya dioptimalkan juga sebagai pengimbang dan jendela spiritualitas.

Secara keseluruhan, bentangan anatomi ke-Indonesiaan kita hingga hari ini dipenuhi dengan tragedi kemanusiaan dan hanya menambah tegaknya pialang-pialang koruptor. Pembodohan rakyat berjalan sistematis. Kini borok-borok itu menempel pada batu nisan raksasa yang ditegakkan oleh anak-anak negeri ini yang sudah temaram jelaga, dipenuhi sekelebat hantu congkak dan serakah. Potret kelam itu mengada di setiap lekuk kerakyatan, mulai dari Sabang sampai Merauke dan dari tempo doeloe sampai hari ini.

Konteks demokrasi lokal sebagai sebuah solusi untuk merelaksasi sekian banyak ketegangan sosial dan kultural hingga politik dan ekonomi menemukan relevansinya untuk saat ini. Namun sebagai sebuah strategi atas pembacaan konteks, terkait dengan desentralisasi (Otonomi Daerah) yang dikuatkan sebagai solusi atas akar konflik dan penindasan yang berawal dari sentralisasi kehidupan kenegaraan, hal ini patut diberikan tanda tanya sebesar Gunung Bawakaraeng untuk selanjutnya direfleksikan secara kritis demi satu-satunya kepentingan, yakni keadilan kemanusiaan historis dan pasca historis (dun’yang hasanah wafil akhirati hasanah). . Kepentingan sangat berkorelasi dengan perjuangan yang dilandasi ideologi. Hal ini adalah penegasan demi transformasi yang akan diperhelatkan sebagaimana petuah Ali Syari’ati mengenai pentingnya keberpihakan setiap intelektual yang tercerahkan (raushanfikr).

Beranjak dari keberpihakan kepada kebenaran, dalam hal ini Islam adalah mata air alkautsar yang percikannya lugas dan tegas sejernih derasan salsabilah menyeruakkan kebenaran yang tidak menegasikan fitrah manusia serta berasal dari sumber rujukan yang mutlak dari segala eksistensi wujud di alam semesta ini. Penegasan mengenai keberpihakan yang diajarkan Islam ini meniscayakan dinamisasi historis sebagai upaya simultan meradikalisasi perubahan. Dalam konteks politik Indonesia, upaya pemihakan yang tersubordinasi hirarki sosial politik tiranik dan oppressed adalah bagian dari perjamuan mata air surgawi yang nikmat dan barakah itu—sebagai starting point pengawalan agenda transformasi sistem kehidupan yang penuh sengkarut hegemonik, dominatif dan rakus.

Negara tatkala memelototkan kekejamannya vis a vis rakyatnya, maka negara telah melakukan pelanggaran Hak asasi manusia (HAM) kategori berat sebagaimana diatur dalam Statuta Roma. Pelanggaran yang dilakukan, mulai dari pelanggaran atas hak-hak sipil, politik, hingga hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) rakyatnya. Hak-hak ekosob adalah yang terbanyak menyita derita batin dan fisik rakyat Indonesia dalam perjalanan hidupnya mengukir sejarah, merajut keluarga, membelai kekasih dan menyapa buah hati montok serta menanam padi dan seterusnya. Negara bermetamorfosis menjadi leviathan yang sangat kejam.Negara berwatak Hegelian. Ia bergelimang kemewahan, kesenangan dan kesombongan atas kediriannya yang sejatinya naïf. Di sisi lain, di bawah jurang yang penuh duri, rakyat terperangkap kedalam logika keserakahan akibat regulasi-regulasi yang ditelurkan negara. Rakyat dimandulkan untuk mengadakan resistensi. Alih-alih mau melawan, mereka harus berhadapan dengan mesin kekuasaan (polisi, tentara, jaksa, hakim dan penegak hukum lainnya termasuk satpol pamong praja) yang begitu mudah mementahkannya. Ironi, paradoks dan kejam! Fenomena sebagaimana di atas adalah potret rakyat Indonesia dalam ke-doeloean dan kekinian yang berurat berakar membentuk problema jaring laba-laba, mulai dari level nasional sampai lokal. Setiap hari, rakyat dipaksa menghirup ketengikan politik dan bau kentut para legislator mata duitan.

Hanya satu kata yang pas dengan kesemrawutan dan kebinalan perpolitikan kita yang telah lama terinjeksi libido politik bejat sehingga status quo ini tetap langgeng, yakni R.E.V.O.L.U.S.I. !!!!! Tentu dengan konsepsi revolusi yang berpihak kepada keadilan dan kebenaran sejati. Kesejatiannya itu adalah Islam. Kondisi empirik bangsa dan negara kita sudah memenuhi prasyarat keniscayaan revolusi sosial. Perubahan sebagaimana revolusi menginginkan tatanan sosial kehidupan bangsa dan negara kita adalah baru dan berkeadilan, berkeadaban atau istilah lain sebuah transformasi sosial profetik. Semua serba baru, mulai dari kultur, sistem dan substansi kehidupan bernegara. Sebaliknya akan mengenaskan bagi aspek keadilan dan rasa kemanusiaan tatkala yang dipilih adalah perubahan yang parsial dan lebih mementingkan aspek prosedural semata, maka yakinlah bahwa kita hanya akan menghabiskan energi historis kita berputar-putar di dalam lingkaran setan sistem ke-Indonesiaan kita yang hingga hari ini, akibat dari intervensi neokolonialisme modal, elite-elite negara --elite-elite negara memperkosa simbol-simbol negara dengan memanfaatkan jabatannya demi kepentingan dan privilege-nya--mengkhianati dan melupakan rakyatnya. Terbukti saat PP No.37 tahun 2006 dikeluarkan memanjakan para anggota dewan yang nyatanya malas, tukang tidur saat rapat, Mr.yes, Mr.hahaha dan tukang bolos rapat. Jurang diskriminasi sosial menganga lebar. Anggota dewan tambah mewah dan hidup serba wah, sementara sebagian rakyat terpaksa mengganjal perut dengan gaplek dan nasi aking. Keadilan macam apakah ini? Negara apakah yang menyia-nyiakan harapan rakyatnya? Begitu juga dengan privatisasi BUMN, pelanggaran UUD 1945 pasal 33 terkait dengan PT. Freeport, Blok Cepu dan lain-lain serta penggusuran, kekerasan fisik dan terror psikologis atas rakyat dan berbuih-buih dosa negara.

Olehnya itu omong kosong ketika berbicara mengenai pilkada sebagai solusi bagi bangkit dan tegaknya kedaulatan rakyat. Semuanya adalah busa yang akan lenyap terhempas gelombang. Politik jargon dan janji-janji lipstik Kita seharusnya tidak mengulangi kesalahan sejarah. Harus diingat bahwa kalau tidak dilakukan cut generation atas elite-elite busuk negara kita serta penggantian total sistem kenegaraan dan tentu saja kultur masyarakat diperkuat sehingga otonom dan mandiri dan sadar akan urgensi tauhid, maka pilkada hanyalah instrumen pelanggengan status quo ketidakadilan. Quo vadis transformasi? Memang harus disadari bahwa pilkada mau tidak mau, itu sudah ditetapkan oleh negara dan sudah dekat dengan mata rakyat. Karena itulah perlu adanya strategi jangka pendek untuk mentaktisi perhelatan “demokrasi” yang dipaksakan oleh negara dengan regulasi-regulasi yang intrakontradiksi serta melawan prinsip hukum lex superiore derogat lex inferiore seperti dalam UU No.32 tahun 2004 dan PP No.6 tahun 2005 tentang Pilkada ini. Tolak Pilkada!!!!!!Bentuk pemerintahan rakyat miskin yang berorientasi memandirikan rakyat serta merevitalisasi sektor-sektor riil rakyat seperti pertanian, perikanan, kehutanan rakyat, peternakan, perdagangan rakyat dan lain-lain mata pencaharian yang membawa maslahat serta mengeliminir ketergantungan donor. Tanah rakyat harus ditanami padi, umbi, jagung, sagu dst dan bukan ditanami besi, baja dan semen.

Barayyah, Januari 2007

Baca Selengkapnya...

Wednesday, February 14, 2007

Tanpa Coklat, Tanpa Mawar; Memaknai Valentine Day

Lembayung senja merona menyelimuti petala-petala langit menebar isyarat romantik menantang tatapan yang menusuk merobek parasut lazuardi nun biru dari setiap insan yang menggeleparkan naluri cinta dan kerinduan dari lapik-lapik kerak bumi. Sang mentari tak memedulikan jam tangan di ruas-ruas lengan para pekerja kantoran, mahasiswa, pelajar, ibu rumah tangga, maupun siapapun yang celilikan menginterupsi aktivitas rutinnya mengembarai jagad semesta sebagai konsistensi jabariahy zikr dan ketundukkan kepada Sang Pemilik Cahaya Cinta, interupsi untuk mengerem peredarannya, karena tak rela kehilangan momen-momen historis yang terpahat dalam kenangan batin sebagai kepingan peradaban manusia yang telah dicatat pula di masa baheuila. Sore hari, petang yang beraneka warna ceria, memijit-mijit detak edar menyulam malam yang berkelebat gelap. Sunyi. Merayap hingga larut, menubruk detak jam tangan yang melongo mewiridkan pukul 24.00 sebagai batasnya. Indahnya hari perlahan memudar, berhembalang dalam ketiak malam yang menelisik menjemput deraian subuh , jatah si kokok melantuntan irama-irama tasbih, tahlil dan tahmid paginya.

Tak sepenggal itu, titah sejarah telah membaiat masa yang mengulum momen insani terajut sedari malam harinya. Malam tanggal 13 Februari hingga penghujung malam tanggal 14 Februari. Balon-balon kesyahduan mengembang dalam bilik penikmat momen-momen yang membisikkan sensasi keajaiban hidup sebagai insan yang bernaluri cinta. 14 Februari adalah momen kasih sayang bagi segenap penikmat cinta yang meyakininya, entah berkesadarn tak sadar ataupun ideologis. Ialah Valentine Day, hari kasih sayang yang telah lama dirayakan dan telah berpose di etalase budaya negeri kita. Eksapansi dan dialektika antar budaya di desa buana sebagai efek perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan trend globalisasi yang kemudian mengkristal menjadi ideologi neokolonialisme/neoliberalisme yang memasung kesadaran pemilik budaya yang disapa dalam persinggungan budaya lintas batas dan sekat geografis, etnis, bangsa dan ideologi ini. Valentine Day sebagai sebuah produk sejarah dari sebuah lokalitas geografis atau milik dari sebuah konteks ruang dan waktu yang pernah mengada di muka bumi ini pada tempo dulu. Sebagai hasil dialektika konteks lokalitasnya yang kemudian membuncahkannya kedalam prosesi simboliknya, Valentine Day akan menjadi wajah baru yang mengalergikan sensasi kultur lokalitas yang berpermanai penuh daya-daya kreatif unik dan endemik yang dalam batas-batas ekstrim prinsipil tertentu, dapat menyebabkan antagonitas, sikap reaktif dan perlawanan, terutama dengan argumen ideologis. Hal ini karena aspek ideologis senantiasa ditempatkan oleh masyarakat dalam hierarkhi suprastruktur, puncak piramid yang mengkonstruk nalar dan laku historisnya. Sikap perlawanan, dalam hal ini mesti ditempatkan sebagai hasil refleksi ideologis yang pada ghalibnya cenderung berwatak resisten, eksklusif serta berposisi antagonis ketika patner dialektika simbol-simbol budaya yang terbungkus ideologi tertentu itu terdefenisikan berpotensi patologis dan destruktif terhadap tatanan status quo kemasyarakatan yang dihabluri aura ideologis miliknya.

Nah, kalau pemaknaan Valentine Day pada konteks ini, tak berbeda jauh dengan eksplorasi wacana dan aksi sosial melawan hegemoni ideologi kapitalisme/neoliberalisme yang bersolek di balik jubah-jubah budaya eksentrik, fashion dan mode, televisi dan lain-lain sentuhan-sentuhan eksploitatif dengan jamahan soft dan santun, bahkan dengan jargon visi pro-sosial dan lingkungan hidup. Di samping itu adalah eksploitasi manusia dengan memanfaatkan sisi kelemahan atas pemenuhan hak-hak dasariah kemanusiaan, terutama kemiskinan, belum melek huruf, pengangguran, kelaparan dan lain-lain dengan strategi penggadaian bumi demi perut buncit dan mulut rakus atau meminjam istilah Sulhan Yusuf, inti masalahnya adalah perut dan di bawah perut. Keserakahan yang destruktif ini melembaga dalam bentuk badan-badan dagang dan keuangan serta bank transnasional dan multinasional. (TNc dan MNc) serta lembaga-lembaga internasional seperti World Bank, IMF, Paris Club dan lain-lain yang secara keseluruhan merupakan desain global penjajahan dan penindasan gaya baru. Makanya Valentine Day adalah anasir dari grand desain yang menyemburat dari sengkarutnya wajah dunia. Kalau pemaknaan biasa sebatas momen pengungkapan kasih sayang dan cinta eros antara dua sejoli yang sementara memadu kasih, merajut pualam keindahan, menukikkan kerinduan, menyibak tabu dan sungkan, alias cinta sebagai ekspresi buntalan puisi yang memendarkan rasa yang terdalam dari fitrah kemanusiaan yang termaknai sebagai sebuah anugerah terindah dan dahsyat. Cinta non platonik yang bisa merekomendasikan pegiatnya untuk menubruk tata etika dan nilai-nilai agung syariat langit yang dititahkan lewat bibir mulia dan laku pribadi suci Habib Allah Rasulullah Saw dan utusan-utusan Al Haq semenjak Adam as hingga mendiang yang terberkati di negeri surga, Isa alaihissalam, sang nabi yang membisikkan ajaran samawi dengan sentuhan cinta dan kasih. Menjadi musibah lagi ketika momen ini dimaknai sebagai prosesi berjamaah menginjeksikan emosi cinta dalam bentuk maksiat berjamaah. Bisa berpotensi sebagai momen perzinaan berjamaah dengan password coklat dan mawar. Ada potensi ke arah itu. Sampai di sini bisa disimpulkan bahwa setiap momen historis, yang menyeringai di pelupuk peraduan pagi kita, akan selalu ditashih oleh filter ideologis dalam jejaring dialektika ideologi yang terbalut simbolitas pernik dan praktik budaya. Filter itu adalah syariat Islam yang telah mendarah dan mendaging sebagai penghuni lekuk peradaban manusia di belahan Dunia Timur yang eksentrik, unik, endemik dan dalam sumur mistiknya. Setiap hari adalah momen kasih sayang. Nabi Cinta Saw telah meneladaninya dengan anjuran menebarkan salam ke setiap pelosok bumi. Semoga pendaran rasa yang memijari imajiku ini dapat dijadikan bahan refleksi bagi kita semua.

Baca Selengkapnya...