Tuesday, October 23, 2007

Pelacuran Politik

Pelacuran secara generik memiliki konotasi negatif, bahkan bisa membuat kerut dahi dan dalam batas tertentu mendebarkan bongsoran dada dengan kejut freudian. Pelakunya secara otomatis, bagi masyarakat yang menjunjung teguh etika kehidupan yang beradab, akan menjadi mangsa pendefenisian maknawi sebagai pelaku lacur dan tak berbudaya luhur. Ia dicap negatif seperti muatan inheren kata pelacur itu sendiri. Pelacuran didefenisikan sebagai salah satu dosa besar, karena pertimbangan ideologis an sich, ataupun berdasarkan konklusi kesadaran yang lebih holistik, entah jejaring efek secara biologis, psikologis, ekonomis, sosial, budaya, dan lain-lain. Pelacuran adalah noda dan virus sekaligus yang sangat berbahaya dalam banyak entri kausalitasnya. Namun dalam nyatanya, pelacuran adalah fenomena kemanusiaan yang laten dan imanen. Bak rumput teki di tanah lapang, meski sudah dikeringkan dengan jilatan api, masih tetap mengerubuti permukaan tanah kembali ketika kesempatan yang baik datang dari limpahan derai kasih sayang awan hitam yang menggumpal di lapik terawangan nun putih. Ia menjadi problema kemanusiaan yang berkisruh dengan sisi humanitas yang konservatif. Ia adalah tabu. Pelacuran bisa memiliki banyak sebab. Namun kebanyakan adalah modus ekonomi yang membuat pelacuran berjingkrak dalam luapan metamorfosis bisnis gila-gilaan. Ia bersedia menghantam tembok moral masyarakat, baik secara sembunyi-sembunyi ataupun dengan cara yang vulgar namun bersembunyi di balik penyamaran dengan manipulasi prosedural.


Pelacuran sebagaiman di atas adalah pelacuran dalam bingkai seksualitas, atau dalam arti harfiah dan generiknya. Fenomena yang menyelubunginya sangat kompleks, namun senantiasa berkutat pada interes erotisme tubuh (masokisme, narsisme,) dan interes komersialisasi tubuh. Hal ini memiliki paralelitas dengan fenomena yang menyelimuti praktik perpolitikan yang bermesum di hadapan kita. Dunia praktik politik atau politik praktis adalah eksperimentasi yang menampak secara empirik di medan hitam putih percaturan kelompok-kelompok masyarakat. Dunia politik praktis adalah pengejawantahan bagaimana bidak-bidak catur melangkah. Selalu ada lawan yang teridentifikasi sebagai pemeran antagonis. Ada struktur yang hirarkis, lengkap dengan pemain dan sesepuhnya.

Secuil gambaran menarik yang bisa dikomparasikan dengan fenomena pelacuran politik ini adalah kisah Memoirs of Geisha yang ditulis oleh Arthur Golden. Memang ada yang menyimpulkan bahwa geisha bukanlah pelacur sebagaimana pelacur yang biasanya, namun gambaran aktivitas sang geisha dengan segala kedok tradisinya, bagi penulis adalah hanya persoalan perbedaan dalam taraf terminologi dan perspektif. Secara substansial tiada berbeda, meskipun ada perbedaan status elitisme diantara tokiya (semacam puri). Nah, seperti yang diceritakan dalam kisah para geisha itu, di sana terdapat para geisha, tentu geisha starter dan geisha magang, sebagai pion-pion yang posisi dan perannya sangat utama, di samping pemilik tokiya dan seluruh jajaran tenaga teknis yang mengurusi segala keperluan geisha, mulai dari merias wajah dengan bedak yang super tebal, menata ramput yang super rumit, mengikat obi (ikat pinggang yang lebar), soal koleksi kimono yang banyak, sampai dengan mengajarkan keterampilan memainkan shamisen dan menuangkan sake yang baik. Semua stakeholder tokiya bertanggung jawab terhadap keanggunan performa geisha yang dimilikinya. Itulah titik kunci yang menentukan survive-nya mereka. Perspektif komersil inilah yang tampaknya menonjol pada lakon tokiya.

Dalam praktik politik, di sana terdapat kata kunci yang relevan dengan kisah budaya negeri Jepang itu, yakni bagaimana mengelola permainan politik dengan segala bentuk intriknya (strategi-taktik) yang mirip dengan strategi internal tokiya dalam membesarkan geisha serta strategi eksternalnya yang menampak dalam rupa klik-klik strategis dengan pihak pengurus arbitrasi, serta teknik propagandanya terhadap tokiya-tokiya maupun geisha tandingan. Kadang dengan cara yang tidak fair pun berlaku dalam konteks perebutan konsumen tokiya. Dalam praktik politik, ada pemain-pemain politik (geisha) dan ada pemilik privilege yang pro status quo dan tiranik (pemilik tokiya). Berbagai rupa cara dibolehkan ditapaki demi pemeliharaan status quo atau dalam rangka bertarung demi membangun piramida kekuasaan yang baru. Banyak sekali jargon yang meruap merupa bait-bait indah yang menggugah hati melenturkan kesadaran dan memandulkan sikap kritis masyarakat. Rasa-rasanya anjing berganti rupa menjadi domba. Lolongan berganti kembikan, seragam militerisme dan tiranik bertukar jubah putih para bijak bestari. Itulah rupa praktik politik yang selalu saja hadir dalam siklus kebermasyarakatan kita.

Dalam jargonnya, kebaikan adalah wangi semerbak yang keluar dari bibir-bibir retorik. Idealitas menjadi titah yang menggelegarkan dinding langit rutinitas kerakyatan yang sedang runyam. Ia menggema dengan corong masjid, bel gereja, kelenteng, vihara dan simbol-simbol sakral rakyat. Begitu luar biasa. Ibarat janji itu misi antariksa, ia akan membuat bulan purnama muncul lima kali dalam sebulan. Fantastik dan munafik!!!


.

Baca Selengkapnya...