Sunday, June 29, 2008

Teringat Kampung (3)

Sudah dua tahun tidak menjamah kampung, aku merasakan rindu yang cukup saja kulipat dalam benak. Kenangan mengenai keluarga, kerabat dekat dan lingkungan rumah menjadi scene hidup di batok memori. Kalau yang tadi sudah wajar dan jamak bagi setiap orang yang berpisah dengan keluarganya di rantau. Satu hal yang membayangi pikiranku yang sempat muncul hingga kupaksakan inisiatif jemariku membenamkannya kedalam cairan pengawet ide liar agar tak mudah muncret adalah pembiaran yang terabaikan, tak teracuhkan, tak tersentuh peduli, apatisme yang terbungkus kemalasan timur, dari ketiadaan budaya membaca dan menulis di kampungku.


Kata orang, banyak membaca berbuah banyak tahu. Membaca berarti mengembara cakrawala dunia yang maha luas. Jargon lain, buku jendela dunia. Buku gudang ilmu. Mengikat makna bisa lewat tulisan. Menulis berarti menyusun ubin peradaban. Karena kata adalah senjata. Karena peradaban harus ditulis. Masih banyak lagi semboyan mengenai pentingnya membaca dan menulis. Satu pertanyaan yang mengerubungi pikiranku adalah mengapa begitu apatisnya masyarakat di kampungku (desa Pelauw, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah) dalam hal pembiaran ketiadaan budaya membaca dan menulis ini. Padahal kampungku memiliki banyak sekali murid SD, siswa SMP, pelajar SMA, mahasiswa dan alumni mahasiswa serta kampungku sudah cukup untuk (menurutku) dikategorikan masyarakat yang melek sekolah dan buta hurup. Untuk prestasi (?) kekuasaan politik borokratis di Maluku, terhitung telah menjabat orang dari kampungku dua kali menjadi gubernur. Gubernur Maluku era awal 1990-an dijabat oleh Drs. M. Akib Latuconsina, selanjutnya Dr.Ir. M. Saleh Latuconsina, MSc setelahnya (1998-2003) hingga digantikan oleh Karel A. Ralahalu (2003-2008) yang mempunyai wakil gubernur juga dari kampungku, Drs. Mohammad Latuconsina. Sedangkan Wakil Walikota Ambon yang sementara berjalan ini juga dari kampungku, yakni Dra.Ny.Olivia Latuconsina serta Bupati Kabupaten Maluku Tengah dua periode berturut-turut (2002-2007 dan 2007-2012) dijabat oleh Ir.H.Abdullah Tuasikal, MSi yang juga dari kampungku. Untuk perhelatan Pilkada Gubernur Maluku periode 2008-2013 yang berlangsung pada Juli besok ini pun ada dua kandidat dari kampungku, yakni Drs Mohammad Latuconsina (incumbent Wakil Gubernur Maluku sekarang) dan Ir.H. Abdullah Tuasikal, MSi (Bupati Maluku Tengah sekarang). Masih banyak lagi prestasi (?) politis birokratis lulusan dari kampungku yang lain. Sementara untuk segmen mahasiswa, menurutku mahasiswa yang berasal dari kampungku-lah yang terbanyak di Maluku (sementara ini belum ada data inventarisasi khusus untuk itu, namun berdasarkan kalkulasi sekilas). Mereka kuliah di semua kampus di kota Ambon (kecuali kampus khusus Kristen) dengan jumlah yang cukup banyak. Belum lagi sebarannya di Makassar, Yogyakarta, Jakarta, Malang, Surabaya, Bandung, Ternate, Sorong dan luar negeri. Jumlah yang cukup banyak untuk tingkatan sebuah desa.

Namun dari fakta sosial kultural di atas itu (walau belum akurat) terjadi deviasi kultural yang 'mengenaskan'. Mengapa deviasi kultural dan mebgapa mengenaskan? Tulisan berikut kumaksudkan untuk mencoba menganalisisnya secara sederhana. Deviasi kultural terjadi sebagai gambaran proses anomali sosial, penyimpangan dari logika keniscayaan yang semestinya terjadi dalam sebuah hipotesis sosial berdasarkan logika kausalitas. Apa yang ada pada kampungku sebagai modal sosial kultural untuk bisa diharapkan berguna bagi sebuah graduasi sosial menuju tatanan sosial yang transformatik berkesejahteraan religius, tampak tak memiliki gapitan empirik yang bagus. Pendidikan sebagai modal sosial kultural masyarakat seharusnya membawa andil progresif bagi tercapainya pemenuhan inspirasi perjuangan insani mengonstruksi bangunan sosial kultural masyarakatnya demi terwujudnya desain kehidupan yang terbaik (sesuai ridho Allah swt). Masyarakat kampungku secara alamiah telah mempraktikkan etos pendidikan formal hingga jenjang 'ultim'. Juga telah menggulati dunia politik birokratis secara 'ultim' pula. Namun mengapa fakta sosial kultural yang ada (das sein) tidak menggambarkan keniscayaan kausalitas prediktif itu? Mengapa tidak ada goresan warna-warni perjuangan menuju cita-cita pembumian nilai ilahiah pada tataran praksis humanitas (das sollen) di sana sebagai bukti adanya modal sosial kultural kepemilikan insan-insan yang berilmu pengetahuan yang sedemikian banyak itu? Apakah kaum intelektual yang banyak itu bukanlah intelektual organik (Antonio Gramsci) tetapi mereka hanyalah kumpulan intelektual tradisional yang egois pengidap karirisme dan materialisme an sich? Rupanya Gramsci benar soal ini. Sungguh ada yang bermasalah pada kaum intelektual kita. Mereka hanya bergulat dengan dunianya sendiri. Ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki sama sekali terasing dari realitas sosial yang sengkarut tragik. Betapa banyaknya intelektual di kampungku namun kebanyakan dari mereka bodoh tak mengenal realitas diri dan lingkungan kehidupannya. Alih-alih mau diharapkan berbuat banyak bagi perubahan kehidupan ke arah yang diridhoi Allah swt, mereka malah tenggelam dalam kenikmatan pragmatisme, materialisme dan egoisme intelektual untuk memuji diri, keluarga dan seabreg privilege lainnya yang dipinjami Tuhan kepadanya.

tunggu daeng ...!!! lah mana tentang membaca dan menulis..?

Menurutku intelektual tradisional sebagaimana kata Gramsci di atas itu biasanya tak mau ambil pusing, tak mau terlalu repot dengan urusan sosial, urusan maslahat banyak orang. Dia hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Paling yang diurusi koneksi kerabat dan keluarganya untuk persoalan remeh-temeh perut dan materi duniawi. Soal-soal yang lebih tinggi, lebih luhur dan menyangkut hajat kemanusiaan yang lebih agung seperti pencerdasan, pencerahan dan pemanusiaan manusia, hanyalah dianggap momok mengerikan dan urusan yang tidak penting.

Walau banyaknya orang berilmu di kampungku, fakta ini tidak memberikan kontribusi signifikan bagi pencerdasan, pencerahan dan pemanusiaan manusia di sana. Malah sebaliknya yang terjadi adalah kaum intelektual (tradisional) di kampungku itu menjadi penyulut dan pelaku dekadensi kemanusiaan. Pesta pora, minuman keras, low culture, semuanya didalangi oleh mereka sendiri. Budaya instan sangat berpengaruh. Akhirnya budaya yang tidak instan seperti membaca dan menulis terlupakan. Banyak sarjana di sana namun kurang bermutu. Kurang adanya apresiasi terhadap sisi-sisi humaniora dan peradaban manusia oleh karena instanisme yang memengaruhi sedemikian akut menggersangkan benak dan meng-kakukan inteleksi para pembelajar. Padahal kampung itu memiliki warisan peninggalan budaya masa lampau. Budayanya hanya bisa dihargai dengan cara yang kurang beradab dan meniru model budaya-budaya rendahan peradaban Barat seperti joget-jogetan, nyanyian kurang menyastra, budaya jiplak sana-sini sampai kepada miskinnya penguasaan literatur budaya kuno berefek simplifikasi dan reduksi hakikat budaya itu sendiri. Masyarakatku yang telah tersedia cukup modal sosial kultural seperti di atas namun tak berfaedah pada tataran sosial humanitas akan melahirkan masyarakat yang berwatak iblis, oleh karena ia telah mengenakan jubah pragmatisme, bermahkotakan sekulerisme dan bertahtakan materialisme serta memiliki pedang antihumanisme yang egoistik paganistik. Inilah yang kumaksud dengan kondisi kehidupan masyarakat yang mengarah pada metamorfosis mengenaskan.

Bagaimanapun kampungku tetap akan kurindukan. Aku merindukan kampungku yang bertobat dari pemujaan diri yang lupa akan ilmu hakikat diri. Kampung yang tidak narsis menganggap diri paling, ter, sangat, very, maha dan kampung yang bebas dari segala syirik sosial dan syirik individu. Penghambaan hanyalah kepada Allah swt, Tuhan pemilik segala sesuatu termasuk kampungku dan segenap manusianya entah manusia pongah, manusia sombong, manusia angkuh, manusia arogan, manusia yang merasa dirinya paling benar, manusia yang mengklaim telah mencapai makrifat, manusia yang mengklaim tidak perlu repot-repot shalat, manusia yang takzim kepada leluhur, takzim kepada nenek moyang, mengambil wasilah roh-roh leluhur, nama-nama upu, nama-nama kapitang, nama-nama leluhur yang kebal pelor, kebal parang, kebal silet, kebal senjata, manusia yang patuh kepada aturan adat namun menolak patuh kepada syariat Muhammad saw, manusia yang terjebak dikotomi sesat pikir syariat vs makrifat, manusia yang buta dengan pikirannya menganggap syariat Islam hanya sebatas shalat vs islam makrifat yang berarti adat kampung, manusia yang menolak membuka diri membuka wawasan melihat dunia, sampai kepada manusia-manusia yang saleh, manusia yang rendah diri, manusia yang hanif (kalau ada, mudah-mudahan ada). Aku merindukan kampungku sehat kembali. Sehat oleh karena bebas dari penyakit berkehidupan yang tidak berjiwa syariat Rasulullah saw yang benar. Sehat karena hidupnya nilai-nilai Islam di sana. Semoga rinduku terwujud bak mimpi Yusuf as mengaktualita di imperium Mesir kuno. Aku merindu kampungku punya budaya membaca dan menulis.



Baca Selengkapnya...