Tuesday, February 27, 2007

politea

Pilkada 2007; Omong Kosong untuk Rakyat

Sebuah catatan pinggir saat mengikuti Training Hukum,
HAM dan Politik HMI MPO Cabang Makassar


Setiap manusia adalah pemimpi. Anak cucu Adam alaihissalam menebar benih-benih cinta dan membangun peradabannya di atas bebongkahan artefak hasrat yang menyejarah dalam setiap buncahan imajinasi dan kreasi mimpi. Mimpi menyimpan berjuta pesona dan kenikmatan khayali yang sangat potensial diaktualisasikan dalam bentuk inspirasi pemerkaya varian-varian motif peradaban. Mimpi yang menjadi pengalaman eksistensial manusia sebagaimana dilukiskan oleh Henry Bergson mengalir ibarat fluida dinamis dalam durasi yang melintasi aspek ruang dan waktu, mengakibatkan semua adegan yang merona di layar mimpi terasa funtastic dan bahkan menolak logika tempat tidur. Mimpi menjadi dirinya sendiri. Ia melengkingkan suaranya dalam kesenyapan yang dalam, membentangkan sayap hud-hud dan semakin menjauh dari kesadaran tapak kaki menuruti kafilah burung Attar. Bagai pungguk merindukan bulan. Begitulah guratan nasib yang dialami oleh berjuta rakyat kita. Harapan untuk mewujudkan kemerdekaan sejati hanyalah menuai buah simalakama. Hanyalah sekepal mimpi. Sekerat bunga tidur. Kemerdekaan menjadi idiom keramat tatkala bola mata kita menerawang nasib yang menggunung pahit. Mata hati teriris bak sembilu melaburi racunnya di saat ratapan kemiskinan sistematis itu semakin menggelegar, ditambah berjuta ironi keadilan dan paradoks kemanusiaan dipertontonkan oleh para pembajak kepentingan rakyat dengan dalih demokrasi. Kini semua adegan itu dilakonkan di hadapan mata kita yang nyaris memerah dan berdarah karena air mata tak tega mengering.

Untuk menelisik bentangan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yanag diperhelatkan di tahun 2007 ini, khususnya Sulawesi selatan, dibutuhkan konsistensi di dalam merajut benang-benang kusut yang saling berjalin ko-eksistensi dan ko-transformasi di dalam labirin problema ke-Indonesiaan, mulai dari pemahaman konstelasi perang kepentingan dan ketidakadilan global, struktur anatomi sistem ke-Indonesiaan dalam konteks ketidakadilan global (neoliberalisme), hingga fragmen-fragmen dinamika yang mengindikasikan proses dialektika teori strukturasi Anthony Giddens dalam setiap relung kemanusiaan. Mulai dari persoalan ideologi, ekonomi, sosial, budaya, politik dan lain-lain sebagai bercak-bercak historis Negara Kesatuan Republik Indonesia yang konon katanya sangat berlimpah ruah kekayaan alamnya dan manusianya sangat ramah kepada setiap bule yang mampir menikmati eksotisitas dunianya.

Tatanan global kontemporer (dari dulu juga), dalam terminologi hukum Islam, haram untuk diklaim berkeadilan dan berkeadaban, karena hal itu hanyalah omong kosong belaka ketika merunut kepada jargon-jargon para koboi dunia (Amerika Serikat beserta sekutunya plus lembaga-lembaga injektor kapitalisme-neoliberalisme). Mungkin ketidakadilan ini baru akan diperbarui atau dituntaskan di pengadilan Allah Swt ketika semua umat manusia dikumpulkan di hari kiamat. Pengadilan teradil.

Beralih kepada bagaimana para elite bangsa kita mengemudikan bahtera rakyatnya di segara yang penuh riak dan gelombang nafsu, penindasan, pemerasan, pembodohan, pemiskinan, penaklukan, perampokan dan seterusnya segala manifestasi kejahatan. Sudah menjadi rahasia umum bahwasanya negara (baca: elite eksekutif, elite yudikatif dan elite legislatif) telah terang-terangan tanpa rasa malu mengkhianati peran-peran kerakyatan dan nasionalismenya demi bersenyawa dengan kaum pemodal-cukong (kapitalis-korporatis), baik pemodal asing (via investasi, hibah dan lain-lain) maupun para kapitalis lokal yang menurut Revrizond Baswir (2001) bahwa piutang negara dari kapitalis lokal ini memakan bunga (riba) yang lebih besar daripada piutang asing. Manusia secara kodrati dianugerahi hasrat dan akal pikiran yang memanifestasikan kebebasan memilihnya. Kaum elite negara ini berhasil dalam mengoptimalkan potensi hasrat dan akal bulusnya untuk memenuhi tuntutan hasrat yang tak terbatas, seraya membukukan dan menghitamkan jiwa kemanusiaannya yang mestinya dioptimalkan juga sebagai pengimbang dan jendela spiritualitas.

Secara keseluruhan, bentangan anatomi ke-Indonesiaan kita hingga hari ini dipenuhi dengan tragedi kemanusiaan dan hanya menambah tegaknya pialang-pialang koruptor. Pembodohan rakyat berjalan sistematis. Kini borok-borok itu menempel pada batu nisan raksasa yang ditegakkan oleh anak-anak negeri ini yang sudah temaram jelaga, dipenuhi sekelebat hantu congkak dan serakah. Potret kelam itu mengada di setiap lekuk kerakyatan, mulai dari Sabang sampai Merauke dan dari tempo doeloe sampai hari ini.

Konteks demokrasi lokal sebagai sebuah solusi untuk merelaksasi sekian banyak ketegangan sosial dan kultural hingga politik dan ekonomi menemukan relevansinya untuk saat ini. Namun sebagai sebuah strategi atas pembacaan konteks, terkait dengan desentralisasi (Otonomi Daerah) yang dikuatkan sebagai solusi atas akar konflik dan penindasan yang berawal dari sentralisasi kehidupan kenegaraan, hal ini patut diberikan tanda tanya sebesar Gunung Bawakaraeng untuk selanjutnya direfleksikan secara kritis demi satu-satunya kepentingan, yakni keadilan kemanusiaan historis dan pasca historis (dun’yang hasanah wafil akhirati hasanah). . Kepentingan sangat berkorelasi dengan perjuangan yang dilandasi ideologi. Hal ini adalah penegasan demi transformasi yang akan diperhelatkan sebagaimana petuah Ali Syari’ati mengenai pentingnya keberpihakan setiap intelektual yang tercerahkan (raushanfikr).

Beranjak dari keberpihakan kepada kebenaran, dalam hal ini Islam adalah mata air alkautsar yang percikannya lugas dan tegas sejernih derasan salsabilah menyeruakkan kebenaran yang tidak menegasikan fitrah manusia serta berasal dari sumber rujukan yang mutlak dari segala eksistensi wujud di alam semesta ini. Penegasan mengenai keberpihakan yang diajarkan Islam ini meniscayakan dinamisasi historis sebagai upaya simultan meradikalisasi perubahan. Dalam konteks politik Indonesia, upaya pemihakan yang tersubordinasi hirarki sosial politik tiranik dan oppressed adalah bagian dari perjamuan mata air surgawi yang nikmat dan barakah itu—sebagai starting point pengawalan agenda transformasi sistem kehidupan yang penuh sengkarut hegemonik, dominatif dan rakus.

Negara tatkala memelototkan kekejamannya vis a vis rakyatnya, maka negara telah melakukan pelanggaran Hak asasi manusia (HAM) kategori berat sebagaimana diatur dalam Statuta Roma. Pelanggaran yang dilakukan, mulai dari pelanggaran atas hak-hak sipil, politik, hingga hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) rakyatnya. Hak-hak ekosob adalah yang terbanyak menyita derita batin dan fisik rakyat Indonesia dalam perjalanan hidupnya mengukir sejarah, merajut keluarga, membelai kekasih dan menyapa buah hati montok serta menanam padi dan seterusnya. Negara bermetamorfosis menjadi leviathan yang sangat kejam.Negara berwatak Hegelian. Ia bergelimang kemewahan, kesenangan dan kesombongan atas kediriannya yang sejatinya naïf. Di sisi lain, di bawah jurang yang penuh duri, rakyat terperangkap kedalam logika keserakahan akibat regulasi-regulasi yang ditelurkan negara. Rakyat dimandulkan untuk mengadakan resistensi. Alih-alih mau melawan, mereka harus berhadapan dengan mesin kekuasaan (polisi, tentara, jaksa, hakim dan penegak hukum lainnya termasuk satpol pamong praja) yang begitu mudah mementahkannya. Ironi, paradoks dan kejam! Fenomena sebagaimana di atas adalah potret rakyat Indonesia dalam ke-doeloean dan kekinian yang berurat berakar membentuk problema jaring laba-laba, mulai dari level nasional sampai lokal. Setiap hari, rakyat dipaksa menghirup ketengikan politik dan bau kentut para legislator mata duitan.

Hanya satu kata yang pas dengan kesemrawutan dan kebinalan perpolitikan kita yang telah lama terinjeksi libido politik bejat sehingga status quo ini tetap langgeng, yakni R.E.V.O.L.U.S.I. !!!!! Tentu dengan konsepsi revolusi yang berpihak kepada keadilan dan kebenaran sejati. Kesejatiannya itu adalah Islam. Kondisi empirik bangsa dan negara kita sudah memenuhi prasyarat keniscayaan revolusi sosial. Perubahan sebagaimana revolusi menginginkan tatanan sosial kehidupan bangsa dan negara kita adalah baru dan berkeadilan, berkeadaban atau istilah lain sebuah transformasi sosial profetik. Semua serba baru, mulai dari kultur, sistem dan substansi kehidupan bernegara. Sebaliknya akan mengenaskan bagi aspek keadilan dan rasa kemanusiaan tatkala yang dipilih adalah perubahan yang parsial dan lebih mementingkan aspek prosedural semata, maka yakinlah bahwa kita hanya akan menghabiskan energi historis kita berputar-putar di dalam lingkaran setan sistem ke-Indonesiaan kita yang hingga hari ini, akibat dari intervensi neokolonialisme modal, elite-elite negara --elite-elite negara memperkosa simbol-simbol negara dengan memanfaatkan jabatannya demi kepentingan dan privilege-nya--mengkhianati dan melupakan rakyatnya. Terbukti saat PP No.37 tahun 2006 dikeluarkan memanjakan para anggota dewan yang nyatanya malas, tukang tidur saat rapat, Mr.yes, Mr.hahaha dan tukang bolos rapat. Jurang diskriminasi sosial menganga lebar. Anggota dewan tambah mewah dan hidup serba wah, sementara sebagian rakyat terpaksa mengganjal perut dengan gaplek dan nasi aking. Keadilan macam apakah ini? Negara apakah yang menyia-nyiakan harapan rakyatnya? Begitu juga dengan privatisasi BUMN, pelanggaran UUD 1945 pasal 33 terkait dengan PT. Freeport, Blok Cepu dan lain-lain serta penggusuran, kekerasan fisik dan terror psikologis atas rakyat dan berbuih-buih dosa negara.

Olehnya itu omong kosong ketika berbicara mengenai pilkada sebagai solusi bagi bangkit dan tegaknya kedaulatan rakyat. Semuanya adalah busa yang akan lenyap terhempas gelombang. Politik jargon dan janji-janji lipstik Kita seharusnya tidak mengulangi kesalahan sejarah. Harus diingat bahwa kalau tidak dilakukan cut generation atas elite-elite busuk negara kita serta penggantian total sistem kenegaraan dan tentu saja kultur masyarakat diperkuat sehingga otonom dan mandiri dan sadar akan urgensi tauhid, maka pilkada hanyalah instrumen pelanggengan status quo ketidakadilan. Quo vadis transformasi? Memang harus disadari bahwa pilkada mau tidak mau, itu sudah ditetapkan oleh negara dan sudah dekat dengan mata rakyat. Karena itulah perlu adanya strategi jangka pendek untuk mentaktisi perhelatan “demokrasi” yang dipaksakan oleh negara dengan regulasi-regulasi yang intrakontradiksi serta melawan prinsip hukum lex superiore derogat lex inferiore seperti dalam UU No.32 tahun 2004 dan PP No.6 tahun 2005 tentang Pilkada ini. Tolak Pilkada!!!!!!Bentuk pemerintahan rakyat miskin yang berorientasi memandirikan rakyat serta merevitalisasi sektor-sektor riil rakyat seperti pertanian, perikanan, kehutanan rakyat, peternakan, perdagangan rakyat dan lain-lain mata pencaharian yang membawa maslahat serta mengeliminir ketergantungan donor. Tanah rakyat harus ditanami padi, umbi, jagung, sagu dst dan bukan ditanami besi, baja dan semen.

Barayyah, Januari 2007

Baca Selengkapnya...