Tuesday, January 15, 2008

Bisik Betuah Ibu

Wajah dan rambut ikalku senasib. Kering. Pakaianku lusuh, jarang mandi sore dan puasa banyak kali dalam tiap pekan bukan demi menghidupkan sunnah, namun karena kere. Dompet hanya tinggal sisipan kartu anggota sebuah organisasi kemahasiswaan ternama di kota ini serta kartu mahasiswa yang tinggal sepotong saja melengket tak terurus bersama KTP. Uang habis. Memang sudah menjadi tradisi pemakaian uang kiriman dari kampung, tak lama saat kukeluarkan beberapa lembar pecahan uang kertas di ATM, aku bergegas ke toko buku dan kutumpahkan nafsu bacaku di sana dengan tanpa pikir panjang, kusetor bayaran beberapa buku dan aku bergegas menuju kamar kost. Biasanya lebih setengah jatah kirimanku ludes di toko buku. Aku kecanduan, tak bisa kutahan hasrat itu. Selalu kurasa puas kalau telah mendapatkan buku. Buku dan buku itulah targetku. Targetku membaca sebanyak mungkin buku di kota yang telah lama kuhirup udaranya. Daun pintu menderit, kubuka pintu kamarku lalu tubuh yang kehujanan saat pulang ini madah hingga terlelap di atas tikar pandan yang kubiarkan pasrah di lantai. Aku terkejut bangun saat seseorang mengetuk pintu, kebetulan tetangga sebelah yang mengingatkan kalau sudah magrib. Tanpa mandi, kubasuh muka dan menyikat gigi, kusempatkan berwudhu di kamar mandi lalu bergegas ke surau yang tak jauh. Aku berjamaah seperti telah rutin. Di luar surau rintik hujan meniris atap satu-satu. Saf jamaah lurus dan henyuk dalam zikir dan doa. Shalat maghrib usai. Aku merenung dan pikiranku melayang ke pendulum waktu enam tahun kemarin. Hayalku terpancing. imajinasi meliuk liar. Memoriku berusaha membalik lembaran hidupku yang tidak begitu istemewa, biasa-biasa saja seperti orang kebanyakan.


Rumah tua itu selalu hening di malam hari. Lampu balon kuning sekedar tak membuat penghuninya meraba bak gua hantu. Ala kadarnya. Rumah peninggalan kakek yang dibangun pada masa kolonial Belanda dahulu. Ruangan berlantai tanah liat yang dipadatkan dan memilki tiga kamar yang masing-masing dihijabi tirai pintu dari kain bermotif bunga persik, menjuntai lurus tak bergeming. Dapur yang mengandalkan kayu bakar untuk mengepul berukuran lebih besar sedikit dari ukuran kamar kostku sekarang. Aku tinggal saat itu bersama kedua orang tuaku yang paruh baya dan dua orang adik yang duduk di bangku SD. Kakak sulung laki-laki saat itu sedang di rantau. ia menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit di salah satu distrik di negeri jiran. Tinggallah kami berlima hidup dalam rutinitas yang biasa-biasa saja layaknya orang kebanyakan.

Pendaran sinar lampu philips tak harus memaksa mata ini melotot. Kududuk menghadap dinding bercat kuning gading sambil jemari kanan merekam pijar-pijar rasa dan rubungan pikir yang mengendap di batok apriori selama terawangan imaji lagi pulang kampung. Kuurai kembali benang kenang yang menyusut kusut di balik laci rindu. Aku menulis puisi lagi menemani malam hening sampai larut, seperti biasa sambil memamah rongsokan aksara di bebalik lembaran buku-buku. Di kamar ini kabut mimpi mulai kusekap satu-satu. Hayali mampir bersolek sapa beragam rupa kaya rasa memburam sepi. Aku masih duduk dan mengingat-ingat masa lalu. Kamar ini terasa dekat dengan masa lalu. Aku membalik halaman berikutnya bab setrusnya seperti biasa kunikmati padang aksara sarat makna. Kali ini rasa kantuk menyapa saat kulihat jam weker hampir bunyi di angka empat. Aku belum tidur juga. Namun yang lebih membuat tubuh kurus ini betah berlama-lama dalam pekur di malam hening dengan gurauan satu dua nyamuk ini adalah kenikmatan mengulangi dan mengulang kembali perlahan-lahan saat aku menemukan pita memori itu walau tak berdebu sarang laba-laba. Keping memori sederhana sebagai tutorial pedagogis yang amat berarti dalam peselancaran diri mencari jati diri identitas sebagai orang yang tak sekedar memilih mengada sebagaimana diwanti-wanti Martin Heidegger. Aku merasa begadang kali ini merefresh sebuah sketsa ulang makna hidup yang terlanjur susur dan luncur lalu liuk kiri kanan atas bawah dalam titik lalu koma dan tanda seru kemarin, ya, baru saja dan sudah lalu sampai saat aku melihatnya kembali. Ini soal bisikan. Ini bicara mengenai amanah. Ini tentang emban titah. Ini adalah bisikan yang bertuah. Bagi diriku sendiri karena aku tak mau memaksakan untuk siapapun, karena ini kasetku degup masa laluku. Apa yang aku rasakan adalah kenangan yang punya tuah atas pilihan sikap saat ini. Atas cara hidup. Atas prinsip menatap masa depan. Atas asas berikrar tetap pada keputusan untuk banyak pilihan untuk menawar. Sebuah prinsip yang tak relevan seandainya aku tak berada di sini. Kalau saja aku hanyalah ana-anak kebanyakan, pemuda awam yang konsumtif hedonis materialis dangkal wawasan picik pandangan sesat konservatif fanatik alias terkungkung dalam tempurung-tempurung fatalisme berkepribadian sempit. Kalau saja aku masih tinggal di sana di kampung yang nyaris bangkrut peradaban moral dan pendidikan akhlaknya itu. Kampung yang penuh paradoks ladang opium buta ilmu kebun syirik emoh ayat-ayat langit nan suci. Kalau saja aku masih saja menekuni hobi rutin sepak bola di sore hari setelah itu malam hari tak punya jadwal produktif bagi perenungan kemanusiaan dan amal baik. Malam yang hanya ada satu kata. Pesta. Malam yang jahat sungguh bejat meruntuhkan pelan bahkan dengan berang buas tak disadarai ataukah pembiaran saja dari semua yang berwenang itu, pembiaran remuk angkara meluluh runtuhkan dinding pondasi nilai diri manusia. Moralitas digasak tarian-tarian ala feodalis borjuis kapitalis lewat malam-malam tak berujung henti. Malam dengan pesta pora seperti binatang buas mencabik merobek titah dan harga diri nilai-nilai hati nurani. Dagelan malam diiringi denyut musik hingar-bingar ramai mampus penuh anak muda bernau mulut alkohol tipe pabrikan bermerek adakala cap pohon sagerru busuk. Muak, jijik, najis, kencing, taik kotor, jauh dari beradab apalagi Islami. Betul-betul edan. Jahiliyah di jaman majunya teknologi. Keseronokan yang diumbar-umbar dengan penuh bangga meluapkan pesona ala kampungku yang malang dirudung durjana kezaliman tak berelan vital amar makruf nahi munkar. Betul-betul jahannam. Najis ditelan dibilang biasa-biasa saja apalagi untuk modus relasi. Kalau saja aku masih di situ saat itu bahkan saat kini yang konon kabarnya aku mendengar informasi terakhir dari kampungku semakin tambah runyam parah naas. Moral menjadi comberan tak dipandang punya ujud yang dekat dengan diri paling hakiki. Moral telah jadi belulang. Kalau saja aku masih di sana, aku tak dapat duduk merenung sambil membaca dan merangkai kata-kataku meniru tradisi para jagoan kata di lembaran bacaan menuangkan gejolak, harapan, mimpi dan elan vitalnya berinteraksi mencumbu dunia.

Memang aku punya nasib sedikit lebih baik tapi bukan mentereng. Semenjak sekolah dulu tak ada lagi asa untuk melambung gunung meloncati samudera menuntut ilmu di seberang lautan seperti sekarang ini. Cita-cita kuurung demi realitas dan persembahan bagi kesadaran berkaca pada kemampuan ekonomi. Aku dulu mempelajari Adam Smith untuk tidak berhenti kerja keras namun aku tak menelan mentah bisikan bisu lewat tautan aksaranya untuk berwatak kapitalis merkantilis. Aku dulu meredam harapan itu karena orangtuaku masuk cover buku Eko Prasetyo, Orang Miskin dilarang sekolah. Hanya saja kesempatan itu pun datang bak mentari menyembul dengan sunggingan penuh ceria kepada banjir bah dan genangan berminggu-minggu di banyak tempat di negeri seribu musibah ini. Puji Tuhan alhamdulillah. Harapan mekar kembali saat aku bisa lanjut sekolah seperti kutemukan diriku saat aku bernostalgia. Kakakku dapat rejeki bekerja lalu gaji itu sebagian untuk seadanya biaya belajar di kota. Kebetulan perbedaan kurs mata uang yang membuat ukuran upah buruh kakak sedikit besar nominalnya dibanding gaji pegawai pemerintah kabupaten di kampungku juga yang untuk bekerja di sana terpaksa menyogok banyak untuk mendapat status sosial penyangga ekonomi prestise dan seterusnya. Pikiran berhembalang mengurai pita memori yang sedang berputar sedangkan tarhim subuh hampir usai. Satu hal yang sangat berpengaruh, yang menjadi elan vital dan spirit anakmudaisme adalah bisik betuah dari ibu kala itu. Ketika malam terakhir aku bersama beliau dengan bapak dan adik-adik. Ibu yang futuristik rupanya memperkaya bapak yang penyabar. Saat duduk di hadapan keluargaku di malam itu, ibu berpesan sedikit sepatah dua ucap saja setelah bapak memberi nasihat secukupnya. Kusebut itu bisik betuah ibu. Aku terkesima saat ini saat kukenang. Memang bisik betuah itu dulunya saat gendang telingaku merekamnya tak begitu kupikir penting malah biasa-biasa saja. Aku merasa saat ini perjalanan anak mudaku adalah penyingkapan makna dari misteri bisik betuah ibu. Hari demi hari berlalu, tahun berganti dan semester kuliahku makin bertambah dekat dengan penghujung akademik. Perjalanan proses pemenjadian yang sarat lika liku suka cita terjal curam indah buruk haru senang benci khawatir curiga bangga masygul kecewa hancur bangkit lagi dan seterusnya makin memperkaya batin si pencari. Aku menyingkap makni itu lewat ragam laku hidup dan penemuanku atas karakter dunia yang serba rumit beragam membingung tak lupa. Bisik betuah ibu kala ibu berpesan , pergilah belajar lebih dalam lebih luas lebih tinggi dan jangan lupa pecahkan tempurungmu. Tempurung diri yang mengungkung emansipasi kritis. Tempurung yang membangung dinasti tirani logosentrisme seperti kata Michel Foucoult. Tempurung yang mengisolasi diri dari meluaskan wawasan dan memperbanyak kawan saudara dan ukhuwah. Tempurung yang membuat diri jumud memmmbuat diri jatuh dari tangga malaikat menuju limit binatang yang dilaknat. Tempurungisme anak muda. Pecahkan tempurungmu nak.

Baca Selengkapnya...