Wednesday, February 14, 2007

Tanpa Coklat, Tanpa Mawar; Memaknai Valentine Day

Lembayung senja merona menyelimuti petala-petala langit menebar isyarat romantik menantang tatapan yang menusuk merobek parasut lazuardi nun biru dari setiap insan yang menggeleparkan naluri cinta dan kerinduan dari lapik-lapik kerak bumi. Sang mentari tak memedulikan jam tangan di ruas-ruas lengan para pekerja kantoran, mahasiswa, pelajar, ibu rumah tangga, maupun siapapun yang celilikan menginterupsi aktivitas rutinnya mengembarai jagad semesta sebagai konsistensi jabariahy zikr dan ketundukkan kepada Sang Pemilik Cahaya Cinta, interupsi untuk mengerem peredarannya, karena tak rela kehilangan momen-momen historis yang terpahat dalam kenangan batin sebagai kepingan peradaban manusia yang telah dicatat pula di masa baheuila. Sore hari, petang yang beraneka warna ceria, memijit-mijit detak edar menyulam malam yang berkelebat gelap. Sunyi. Merayap hingga larut, menubruk detak jam tangan yang melongo mewiridkan pukul 24.00 sebagai batasnya. Indahnya hari perlahan memudar, berhembalang dalam ketiak malam yang menelisik menjemput deraian subuh , jatah si kokok melantuntan irama-irama tasbih, tahlil dan tahmid paginya.

Tak sepenggal itu, titah sejarah telah membaiat masa yang mengulum momen insani terajut sedari malam harinya. Malam tanggal 13 Februari hingga penghujung malam tanggal 14 Februari. Balon-balon kesyahduan mengembang dalam bilik penikmat momen-momen yang membisikkan sensasi keajaiban hidup sebagai insan yang bernaluri cinta. 14 Februari adalah momen kasih sayang bagi segenap penikmat cinta yang meyakininya, entah berkesadarn tak sadar ataupun ideologis. Ialah Valentine Day, hari kasih sayang yang telah lama dirayakan dan telah berpose di etalase budaya negeri kita. Eksapansi dan dialektika antar budaya di desa buana sebagai efek perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan trend globalisasi yang kemudian mengkristal menjadi ideologi neokolonialisme/neoliberalisme yang memasung kesadaran pemilik budaya yang disapa dalam persinggungan budaya lintas batas dan sekat geografis, etnis, bangsa dan ideologi ini. Valentine Day sebagai sebuah produk sejarah dari sebuah lokalitas geografis atau milik dari sebuah konteks ruang dan waktu yang pernah mengada di muka bumi ini pada tempo dulu. Sebagai hasil dialektika konteks lokalitasnya yang kemudian membuncahkannya kedalam prosesi simboliknya, Valentine Day akan menjadi wajah baru yang mengalergikan sensasi kultur lokalitas yang berpermanai penuh daya-daya kreatif unik dan endemik yang dalam batas-batas ekstrim prinsipil tertentu, dapat menyebabkan antagonitas, sikap reaktif dan perlawanan, terutama dengan argumen ideologis. Hal ini karena aspek ideologis senantiasa ditempatkan oleh masyarakat dalam hierarkhi suprastruktur, puncak piramid yang mengkonstruk nalar dan laku historisnya. Sikap perlawanan, dalam hal ini mesti ditempatkan sebagai hasil refleksi ideologis yang pada ghalibnya cenderung berwatak resisten, eksklusif serta berposisi antagonis ketika patner dialektika simbol-simbol budaya yang terbungkus ideologi tertentu itu terdefenisikan berpotensi patologis dan destruktif terhadap tatanan status quo kemasyarakatan yang dihabluri aura ideologis miliknya.

Nah, kalau pemaknaan Valentine Day pada konteks ini, tak berbeda jauh dengan eksplorasi wacana dan aksi sosial melawan hegemoni ideologi kapitalisme/neoliberalisme yang bersolek di balik jubah-jubah budaya eksentrik, fashion dan mode, televisi dan lain-lain sentuhan-sentuhan eksploitatif dengan jamahan soft dan santun, bahkan dengan jargon visi pro-sosial dan lingkungan hidup. Di samping itu adalah eksploitasi manusia dengan memanfaatkan sisi kelemahan atas pemenuhan hak-hak dasariah kemanusiaan, terutama kemiskinan, belum melek huruf, pengangguran, kelaparan dan lain-lain dengan strategi penggadaian bumi demi perut buncit dan mulut rakus atau meminjam istilah Sulhan Yusuf, inti masalahnya adalah perut dan di bawah perut. Keserakahan yang destruktif ini melembaga dalam bentuk badan-badan dagang dan keuangan serta bank transnasional dan multinasional. (TNc dan MNc) serta lembaga-lembaga internasional seperti World Bank, IMF, Paris Club dan lain-lain yang secara keseluruhan merupakan desain global penjajahan dan penindasan gaya baru. Makanya Valentine Day adalah anasir dari grand desain yang menyemburat dari sengkarutnya wajah dunia. Kalau pemaknaan biasa sebatas momen pengungkapan kasih sayang dan cinta eros antara dua sejoli yang sementara memadu kasih, merajut pualam keindahan, menukikkan kerinduan, menyibak tabu dan sungkan, alias cinta sebagai ekspresi buntalan puisi yang memendarkan rasa yang terdalam dari fitrah kemanusiaan yang termaknai sebagai sebuah anugerah terindah dan dahsyat. Cinta non platonik yang bisa merekomendasikan pegiatnya untuk menubruk tata etika dan nilai-nilai agung syariat langit yang dititahkan lewat bibir mulia dan laku pribadi suci Habib Allah Rasulullah Saw dan utusan-utusan Al Haq semenjak Adam as hingga mendiang yang terberkati di negeri surga, Isa alaihissalam, sang nabi yang membisikkan ajaran samawi dengan sentuhan cinta dan kasih. Menjadi musibah lagi ketika momen ini dimaknai sebagai prosesi berjamaah menginjeksikan emosi cinta dalam bentuk maksiat berjamaah. Bisa berpotensi sebagai momen perzinaan berjamaah dengan password coklat dan mawar. Ada potensi ke arah itu. Sampai di sini bisa disimpulkan bahwa setiap momen historis, yang menyeringai di pelupuk peraduan pagi kita, akan selalu ditashih oleh filter ideologis dalam jejaring dialektika ideologi yang terbalut simbolitas pernik dan praktik budaya. Filter itu adalah syariat Islam yang telah mendarah dan mendaging sebagai penghuni lekuk peradaban manusia di belahan Dunia Timur yang eksentrik, unik, endemik dan dalam sumur mistiknya. Setiap hari adalah momen kasih sayang. Nabi Cinta Saw telah meneladaninya dengan anjuran menebarkan salam ke setiap pelosok bumi. Semoga pendaran rasa yang memijari imajiku ini dapat dijadikan bahan refleksi bagi kita semua.

Baca Selengkapnya...