Monday, March 02, 2009

Globalisasi dan Sikap Kita

Globalisasi seperti kisah Sisipus dalam karyanya Albert Camus, seorang pemikir nihilisme dan sekaligus eksistensialis. Sisipus berusaha mendorong batu yang besar sekali dari bawah menuju puncak gunung. Berulang kali batu itu menjilati gunung menuju ke atas, selalu saja Sisipus gagal meraih puncak, karena kekuatannya tak sebanding daya berat batu itu. Akhirnya pekerjaan sebagai kutukan dewa baginya itu tak pernah tuntas (ini di luar konteks makna eksistensialismenya menurut tafsiran Camus).

Kisah sisipus di atas tidak jauh beda dengan globalisasi. Globalisasi, sederhananya adalah ketika realitas dunia sudah menjadi 'kampung global' seperti kata Marshal Mc Luhan. Tidak hanya ekonomi, bahkan globalisasi menghendaki integrasi secara global tatanan baru politik, sosial dan budaya masyarakat dunia.
Ekonomi dunia dipaksa berintegrasi kedalam agenda neoliberalisme, yang ditandai dengan liberalisasi perdagangan dunia, privatisasi aset-aset kekayaan negara-negara pro Neolib dan Restrukturisasi demi penyesuaian metodologis sesuai logika Neolib. Salah satu bentuk privatisasi yang dekat dengan kita adalah privatisasi pendidikan dengan diundangkannya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) pada 17 Desember 2008 kemarin, dimana pemberlakuan BHP mengarah pada komersialisasi dan privatisasi pendidikan sebagai satu langkah integrasi kedalam agenda neoliberalisme, AGENDA GLOBALISASI.

Demokrasi liberal sebagai payung politik agenda neoliberalisme saat ini sedang mengglobal pula. Dengan dalih utang luar negeri, kemerdekaan politik setiap negara dihantui momok politik global yang bernama demokrasi. Kita selalu ingat dengan standar ganda Amerika Serikat dan negara Barat (representasi Dewa penyelamat dunia) mengenai demokrasi dan politik (stick and carrot policy). Omong kosong bicara demokrasi untuk rakyat, globalisasi untuk rakyat, kalau negara-negara (yang diidentifikasikan) dunia ketiga masih tergantung secara ekonomi dan didikte secara politik.

Demokrasi (liberal) yang ada di negara kita pasca Reformasi '98 menghasilkan Oligarki dimana kekuasaan direpresentasikan bukan oleh kedaulatan rakyat yang sesungguhnya, akan tetapi oleh perselingkuhan elite penguasa dengan pemilik modal. Demokrasi tidak untuk rakyat, kata Eko Prasetyo.

Di dalam kampung global itu, arus informasi yang kencang mengangkangi batas negara, budaya dan etnik itu menciptakan masyarakat anonim yang eksistensinya ditawan semacam candu yang bernama HIPERREALISME (lihat Jean Baudrillard). Hiperrealisme ini sedang menikam budaya kita.

Lalu sikap kita sebagai kaum cendekiawan bagaimana? Apakah dengan menggandeng prestasi tinggi lalu masalahnya selesai? Apakah kita hanya memakai Nalar instrumental-Bertujuan (lihat Jurgen Habermas) dalam memaknai realitas? Kupikir realitas tak sesederhana juntaian daun pinus.
Apalagi dunia yang tengah diendus bangkai krisis ekonomi global ini disinyalir dihegemoni oleh segelintir Transnational Corporation (TnC) dan Multinational Corporation (MnC) dan forum Ekonomi Global yang merepresentasikan hegemoni Barat sebagai 'dewa global'. Kisah mitologi sisipus di atas bisa memberikan gambaran bagaimana negara-negara 'dunia ketiga', termasuk Indonesia, tengah dikutuk oleh oleh 'dewa global' untuk memaksa diri menjilati gunung global. Dewa-dewa global itu sudah menikmati istana megahnya di puncak gunung dengan kekuatan ekonomi dan politiknya, sementara sisipus tak berdaya menggulingkan batu pondasinya ke atas. Realitas yang tidak seimbang dalam globalisasi.

2 comments:

Anonymous said...

SEjarah Indonesia sejak awal adalah poercumbuan dengan globalisasi, dan sikap kita seharusnya jelas ... kalau mampu belajar dari sejarah

Anonymous said...

Simak terus up date diskusi antara mantan HT dengan aktifis HT di

http://mantanht.wordpress.com