Friday, March 30, 2007

HMI

Rakyat Menyolid Melibas Neolib

(Sekilas Gerakan Tamadduni)

Terdapat empat poin yang bisa dianalisis sebagai stand point aktualisasi semangat proyek perekayasaan sosial, yakni ‘Konsolidasi kebudayaan’, ‘masyarakay sipil’, ‘gerakan tamadduni’ serta ‘neoliberalisme’. Gerakan Tamadduni diarahkan kepada realitas rakyat atau kondisi sosial Indonesia dan sebagai sebuah diskursus peradaban yang menyangkut realitas masyarakat Asia Tenggara. Ketimpangan yang dialami dalam dinamika kehidupan historis masyarakat Indonesia memerlukan sebuah perbaikan dan perubahan yang mengakar secara keseluruhan (transformasi sistemik bangunan suprastruktur, struktur dan kultur kebangsaan). Hal ini akibat dari lapuk serta membusuknya kekuatan-kekuatan kebangsaan yang lunglai di sana sini. Makanya perlu diadakan tiga macam konsolidasi yang sekiranya berdampak positif bagi rekonstruksi kemanusiaan dan kebangsaan kita dalam kekinian. Konsolidasi ekonomi untuk kemandirian ekonomi; konsolidasi politik untuk kemerdekaan politik serta konsolidasi kebudayaan untuk pencapaian budaya adihulung.

Adalah sebuah keniscayaan ketika berbagai upaya penguatan atau konsolidasi yang dalam realitasnya berhadapan vis a vis kekuatan asing yang dominatif dan hegemonik, yang berwujud Transnational Corporation (TNc), Multinational Corporation (MNc), IMF, World bank dan lain-lain yang adalah manifestasi agen predator dalam bidang ekonomi. Badan-badan ini sangat kuat dan seperti gurita jaringan serta jeratan eksploitatifnya menyebar dalam sebaran negara yang banyak terutama negara-negara dunia ketiga. Negara dunia ketiga yang sebagian besar adalah negara—negara di benua Asia, Afrika dan Amerika Latin yang terkategorikan negara-negara miskin dan berkembang, salah satunya Indonesia.

Ketika peran asing yang terejawantah melalui lembaga-lembaga donor internasional serta korporasi-korporasi raksasa menanamkan kepentingannya dalam negeri maka timbullah kooptasi atas pemerintah yang berujung pada hegemoni dan kejahatan sistemik atas masyarakat sipil akibat dari keberalihan dan keberpihakan pemerintah kepada kaum pemilik modal (kapitalisme, korporasi-korporasi asing multi-transnasional). Pemerintah menjadi kehilangan independensi dan kemerdekaannya sebagai institusi pengemban legitimasi masyarakat sipil (masyarakat non pemerintah/ birokratis). Biasanya strategi yang dibuat sangat memukau dan membuat kita sebagai kaum inlander terpaksa gigit jari hingga tiada habisnya. Salah satu strategi neoliberalis adalah dengan menempatkan figur-figur bonekanya yang berperan dengan kemampuannya yang terpakai sebagai fungsionaris atau ahli-ahli pemerintah, misalnya kasus menteri keuangan, menteri perdagangan Republik Indonesia dan lain-lain.

Secara sederhana masyarakat dalam negara kita terbagi kedalam tiga entitas, yakni masyarakat negara/ pemerintah, masyarakat pemilik modal dan masyarakat umum mayoritas yang berada di luar kedua entitas tersebut. Karena posisinya inilah maka masyarakat sipil senantiasa berpeluang untuk menjadi korban perselingkuhan entitas negara/pemerintah dengan kaum kapitalis/pemilik modal. Sistem yang terbangun tidak bergerak ke arah keseimbangan dan harmonitas tatanan sosial, akan tetapi malah sistem yang mewujud adalah bersifat otoriter dan menghasilkan efek pelemahan terhadap masyarakat sipil. Neoliberalisme sebagai model kapitalisme baru yang mengglobal tidak hanya berdampak buruk atas eksploitasi ekonomis semata, namun berhasil meletakkan virus-virus melumpuhkannya pada wilayah politik, sosial budaya dan lainnya sistem kehidupan manusia. Dalam bidang kebudayaan, pelemahan sistemik mengakibatkan krisis eksistensial masyarakat sipil yang ditandai oleh terkikisnya nilai-nilai budaya.

Wilayah kebudayaan sangat strategis dan bisa dijadikan modal sosial untuk transformasi. Pelemahan terhadap kebudayaan berarti melumpuhkan modal sosial ini. Namun karakter yang potensial sebagai modal sosial dari keunikan dan budaya lokal mampu dikomodifikasikan oleh hantu neoliberalis dengan memanfaatkan piranti media massa dan sifat konsumeris dari tabiat dasar manusia.

Kontrol atas neolib biasanya dilakukan dan menjadi tanggung jawab masyarakat sipil. Salah satunya adalah Non Government Organization (NGO), meskipun ulasan mengenai NGO sangat dilematis terutama karena sumber pendanaannya sebagian besar dari agen-agen kapitalisme global hari ini. Telisik saja kasus kita di Indonesia. Kepentingan pragmatislah yang kadang-kadang menggila di antara tuntutan reformasi atau revolusi sistemik. Di satu sisi, keberadaan NGO adalah agen masyarakat untuk upaya transformasi, namun di sisi yang lain ia adalah agen neoliberalisme yang berkedok pemberdayaan masyarakat. Ironis memang. Hubungan-hubungan modal ini sudah kompleks cakupannya sehingga pilihan gerakan perlawanan yang ditempuh pun tidak bisa tidak harus kreatif dan pantang menyerah.

Pemerintah dapat memainkan peran yang signifikan dalam mengeliminir kuasa destruktif neoliberalisme ini dengan cara memperketat regulasi-regulasi yang mengatur tentang eksistensi dan peran neolib di dalam negeri. Dengan kebijakan proteksi kepentingan ekonomi, politik dan sosial-kultural masyarakat sipil, berarti permerintah memihak dan membela kepentingan rakyat serta menegasikan eksistensi neolib sebagai komprador gemuk yang wajib diusir. Namun harapan seperti itu sudah basi untuk dikunyah rezim pemerintah yang terpaksa harus melayani hajat neoliberalisme sembari menutup mata hatinya dari kemelaratan dan kemiskinan sistemik rakyat.

Gerakan masyarakat sipil (civil society) dalam membendung laju kuasa dan tekanan neoliberalisme kurang menggigit dan bahkan dalam kasus-kasus tertentu tidak efektif dan merugikan. Sebut saja NGO yang getol merancang agenda demokrasi, HAM, kebebasan dan seterusnya yang telah disadari merupakan anasir-anasir feodalisme Eropa. Proyek yang dusung guna pemberdayaan masyarakat sipil, katanya demi pencerahan masyarakat, namun ia terlalu berbau Eropa yang mana tersimpan jerat laten hegemoni paradigma. Apabila nilai-nilai ini sukses diterapkan di Indonesia maka dengan sendirinya meratakan aspal bagi bebasnya neolib menancapkan kuku eksploitasinya dan bebas menginjeksikan libido rakusnya yang tanpa batas itu. Sementara di sisi lain ruang-ruang civil society sekarang dihandle oleh negara, misalnya komisi-komisi yang dibentuk. Ada Komisi Nasional HAM, Komisi Yudisial dan Komisi Komisi Konstitusi dan lain-lain.

Dalam berkonsolidasi kebudayaan, potensi kultural bisa dijadikan modal sosial. Nilai-nilai ontologis budaya yang ditekankan dan bukan melulu prioritas nilai-nilai materil/bentuk. Selain itu masyarakat dapat bersatu dan mendefinisikan musuh bersama mereka (common enemy) adalah neoliberalisme, tentu saja dengan tidak melupakan aspek amar ma’ruf nahy munkar secara luas. Kritikan atas budaya lokal, karena selama ini senantiasa bersifat nasionalisme etnik yang mematahkan sayap hasrat mentransformasikan realitas. Konsolidasi kebudayaan perlu didukung oleh konsolidasi ekonomi dan politik.

No comments: